Monday 6 January 2020

PROBLEMATIK PEMBELAJARAN KEBAHASAAN

Bab ini akan membahas mengenai hakikat berbicara, problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, serta upaya yang dilakukan dalam meningkatkan keterampilan tersebut.

2.1    Hakikat berbicara
Menulis dan membaca merupakan ragam bahasa yang berkaitan erat dengan bahasa tulis, sedangkan berbicara dan mendengarkan (menyimak) merupakan ragam bahasa lisan. Tidaklah sama antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Dalam bahasa tulis seorang penulis diikat oleh susunan dan kaidah-kaidah penulisan yang lainnya. Dalam bahasa lisan, seorang pembicara juga diikat oleh kaidah-kaidah seperti pelafalan, jeda, intonasi dan sebagainya.

Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama dengan manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan persaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.
Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.

Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.


Kemampuan berbicara merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang guru. Jika seorang guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan baik, maka guru harus memberi contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di samping menguasai teori berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata. Guru yang baik harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan.

2.1.1 Tujuan Berbicara
Seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan responsi atau reaksi. Responsi atau reaksi itu merupakan suatu hal yang menjadi harapan. Tujuan atau harapan pembicaraan sangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara. Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut:
1.     mendorong atau menstimulasi,
2.    meyakinkan,
3.    menggerakkan,
4.    menginformasikan, dan
5.    menghibur.

Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inpirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Tujuan suatu uraian disebut menggerakkan apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar. Misalnya, berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan suatu resolusi, mengada-kan aksi sosial. Dasar dari tindakan atau perbuatan itu adalah keyakinan yang men-dalam atau terbakarnya emosi.

Tujuan suatu uraian dikatakan menginformasikan apabila pembicara ingin memberi informasi tentang sesuatu agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya seorang guru menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter menyampaikan masalah kebersihan lingkungan, seorang polisi menyampaikan masalah tertib berlalu lintas, dan sebagainya. Tujuan suatu uraian dikatakan menghibur, apabila pembicara bermaksud menggembirakan atau menyenangkan para pendengarnya. Pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan dalam suatu resepsi, ulang tahun, pesta, atau pertemuan gembira lainnya.

Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta memiliki kegemaran berbicara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran keterampil-an berbicara yaitu siswa mampu mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat, secara lisan ataupun sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalam¬an hidup, ide, dan lain sebagainya.


2.1.2 Konsep Dasar Berbicara
Pemahaman konsep berbicara sangatlah dibutuhkan oleh seorang guru dalam mengajar keterampilan berbicara. Konsep dasar berbicara sebagai sarana ber¬komunikasi mencakup tujuh hal, yakni: (1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal; (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi; (3) berbicara adalah ekspresi kreatif; (4) berbicara adalah tingkah laku; (5) berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman; (6) berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala; dan (7) berbicara adalah pancaran pribadi (Iskandar wassid dan Dadang Sunendar, 2008: 286).
Konsep dasar berbicara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)    Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal berbicara dan menyimak
dalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak pasti didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan terpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab, interview, dan lain-lain. Dalam komunikasi lisan, pembicara dan penyimak berpadu dalam suatu kegiatan yang resiprokal berganti peran secara spontan, mudah, dan lancar dari pembicara menjadi penyimak, dari penyimak menjadi pembicara.
2) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi.
Ada kalanya berbicara digunakan sebagai alat komunikasi dengan linkungannya. Bila hal ini dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunkan sebagai sarana memperoleh pengetahuan mangadaptasi, mempelajari, dan mengontrol lingkungan¬nya. Seseorang menggunakan keterampilan berbicara sebagai alat mempengaruhi dan mengontrol lingkungannya dan pada gilirannya lingkungan itu pun mempengaruhi dirinya. Berbicara adalah salah satu alat komunikasi terpenting bagi manusia untuk dapat menyatakan diri sebagi anggota masyarakat.
3) Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara, manusia tidak hanya sekedar menyatakan ide tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Tingkat intelektual seseorang dapat dilihat dari cara seseorang berbicara. Berbicara tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan memformulasikan ide dan kreativitas baru.
4) Berbicara adalah tingkah laku
Melalui berbicara, pada dasarnya pembicara menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian pembicara. Dalam bahasa Indonesia dikenal peribahasa, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Makna peribahasa tersebut ialah cara seseorang berbahasa, berbicara, bertingkah laku menggambarkan kepribadian orang tersebut. Dalam kepribadian seseorang terselip tingkah lakunya, karena itu dapat dikatakan bahwa berbicara adalah tingkah laku.
5) Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Seorang pembicara yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman akan berbicara dengan baik dan lancar. Begitu pula sebaliknya, pembicara yang kurang memiliki pengalaman akan mengalami hambatan dalam menyampaikan ide dan gagasanya. Hal yang sama terjadi juga pada anak-anak. Semakin banyak pengalaman anak, semakin lancar pula anak berbicara.
6) Berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala
Selain untuk mengeksprsikan ide, perasaan, dan imajinasi, berbicara juga dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman. Melalui berbicara wawasan seseorang akan bertambah karena ia akan mendapat umpan balik dari orang lain.


7) Berbicara adalah pancaran pribadi
Gambaran pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dengan berbagai cara, salah satunya dari cara seseorang berbicara. Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, misalnya pikiran, perasaan, keinginan, ide, dan lain-lain. Kualitas suara, tinggi suara, nada, dan kecepatan suara dalam berbicara merupakan indikator keadaan emosi seseorang. Dengan demikian melalui cara bicaranya, kepribadian seseorang dapat diketahui.

2.1.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Kita dapat melihat faktor-faktor yang menentukan keefektifan berbicara, yaitu pembicara, pendengar dan pokok pembicaraan yang dipilih. Ketiga faktor ini sangat menentukan berhasil tidaknya kegiatan berbicara. Selain itu faktor bahasa tentu juga sangat menentukan. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 31-32) memberikan rambu-rambu agar seseorang mampu berbicara dengan baik seorang pembicara harus, di antaranya: (1) menguasai masalah yang dibicarakan; (2) mulai berbicara jika situasi sudah mengizinkan; (3) pengarahan yang tepat dan memancing perhatian pendengar; (4) berbicara harus jelas dan tidak terlalu cepat;(5) pandangan mata dan gerak-gerik yang membantu; (6) pembicara sopan, hormat dan melihatkan rasa persaudaraan; (7) dalam komunikasi dua arah, mulai berbicara jika sudah dipersila¬kan; (8) kenyaringan suara; dan (9) pendengar akan lebih terkesan kalau ia menyaksi¬kan pembicara sepenuhnya. Sementara itu Hassan Nur (2008: 2) menjelaskan bahwa setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki oleh seorang pembicara jika ingin berhasil dalam berbicara, yaitu: (1) percaya diri; (2) kejelasan suara; (3) ekspresi/ gerak mimik; dan (4) kelancaran komunikasi.
Lebih lanjut, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 87) menjelaskan bahwa keefektifan berbicara ditunjang oleh dua faktor yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi: (1) ketepatan ucapan; (2) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; (3) pilihan kata (diksi); dan (4) ketepatan sasaran pembicaraan. Adapun faktor nonkebahasaan meliputi: (1) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku; (2) mimik dan gerak badan atau pandangan; (3) penampilan; (4) menghargai pendapat orang lain; (4) kenyaringan suara; (5) kelancaran; (6) penalaran; dan (7) penguasaan topik.
2.1.4  Merencanakan Pembicaraan
Keterampilan berbicara di depan khayalak ramai, atau yang dikenal dengan istilah public speaking, tidak akan muncul begitu saja pada diri seseorang. Keterampilan itu diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktik penggunaannya. Bertolak dari masalah itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbicara.
Ehninger (dalam Munawaroh, 2008: 27) mengajukan tujuh langkah yang harus dilalui dalam mempersiapkan suatu pembicaraan. Ketujuh langkah tersebut ialah: (1) menyeleksi dan memusatkan pokok pembicaraan; (2) menentukan tujuan khusus pembicaraan; (3) menganalisis pendengar dan situasi; (4) mengumpulkan materi; (5) menyusun ragangan/kerangka dasar (outline); (6) mengembangkan ragangan/ kerangka dasar; dan (7) menyajikan pembicaraan.Wainringht (dalam Munawaroh, 2008: 28) menyarankan enam langkah yang harus dilalui dan dikuasai oleh seseorang agar tepat menjadi pembicara yang baik.
Langkah-langkah yang disarankan oleh Wainright tersebut adalah: (1) memilih topik; (2) memahami dan menguji topik; (3) memahami latar belakang pendengar dan situasi; (4) menyusun kerangka pembicaraan; (5) mengujicobakan; dan (6) menyaji¬kan.
Gorys Keraf (1980: 316-318) mengusulkan tiga langkah pokok dalam merencanakan suatu pembicaraan. Ketiga langkah pokok itu ialah: (1) meneliti masalah; (2) menyusun uraian; dan (3) mengadakan latihan. Langkah pokok yang masih bersifat umum itu dapat dikembangkan menjadi langkah-langkah yang spesifik. Hasil pengembangan langkah yang bersifat umum menjadi langkah bersifat khusus adalah sebagai berikut: (1) menentukan maksud; (2) menganalisis pendengar dan situasi; (3) memilih dan menyempitkan topik; (4) mengumpulkan bahan; (5) membuat kerangka uraian; (6) menguraikan secara mendetail; dan (7) melatih dengan suara nyaring.

2.1.5  Ciri Pembicara yang Baik
Setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan normal memiliki potensi terampil berbicara. Potensi tersebut akan menjadi kenyataan bila dipupuk, dibina, dan dikembangkan melalui latihan yang sistematis, terarah, dan berkesinambungan. Tanpa latihan potensi tersebut tetap berupa potensi. Kenyataan ini sudah disadari oleh para ahli pengajaran bahasa sehingga ada kecenderungan menggalakkan pengajaran berbicara di sekolah. Berikut ini disajikan sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara.
Menurut Munawaroh (2008: 24) ciri-ciri pembicara yang baik antara lain: (1) memilih topik tepat; (2) menguasai materi; (3) memahami latar belakang pendengar; (4) mengetahui situasi; (5) tujuan jelas; (6) kontak dengan pendengar; (7) kemampuan linguistiknya tinggi; (8) mengusai pendengar; (9) memanfaatkan alat bantu; dan(10) berencana. Apabila cirri-ciri tersebut dimiliki siswa saat praktik berbicara maka dapat dikatakan pembelajaran keterampilan berbicara telah berjalan dan berhasil dengan baik.
Berdasarkan paparan di atas maka berbicara dapat diartikan sebagai suatu aktivitas komunikasi manusia antara sesama untuk menyampaikan pendapat, maksud, pesan, pikiran, gagasan, perasaan dan keinginan. Untuk itu keterampilan berbicara perlu dikuasai, dipahami, dipersiapkan dan direncanakan agar tercipta komunikasi yang baik.

2.1.5  Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara
Berbicara terdiri atas berbicara formal dan berbicara informal. Berbicara dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, bergantung pada landasan dalam peng-klasifikasiannya. Ada diskusi, percakapan, pidato menghibur, ceramah, bertelepon, dan sebagainya. Menurut Parera (1991: 184), untuk jenis berbicara khusus diskusi saja dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (1) diskusi terbatas: konferensi, komisi, wawancara, brain storming; dan (2) diskusi terbuka/ umum: debat, forum, seminar, panel, simposium, ceramah, kelompok, mimbar (wawancara televisi dan radio).
Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi dan informal atau tak resmi. Setiap situasi itu menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi formal permbicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi tak formal, pembicara harus berbicara secara tak formal pula.
Logan (dalam Munawaroh, 2008: 13) menyebutkan jenis-jenis (kegiatan) berbicara informal di antaranya adalah tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan berita, menyampaikan pengumuman, bertelpon, dan memberi petunjuk. Adapun jenis-jenis (kegiatan) berbicara formal di antaranya adalah ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, dan bercerita.

2.1.6  Metode Berbicara
Ada empat unsur yang harus dikuasai oleh seorang  pembicara, yaitu unsur psikologis, linguistik, situasi atau konteks, dan pemahaman ide yang akan diujarkan. Unsur psikologis berkaitan dengan kondisi batin pembicara (keberanian). Unsur linguistik berkaitan dengan penguasaan bahasa yang dikuasi pembicara. Unsur situasi atau konteks berkaitan dengan keadaan yang ada disekitar pembicara. Unsur pemahaman ide berkaitan dengan penguasaan bahan pembicaraan oleh pemateri.
Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk mengemukakan pendapat di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide, kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru, kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa percaya diri pada siswa, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik, sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuang-kan ide kreatifnya.
Seperti yang diungkapkan Tarigan, ada empat cara atau teknik yang dapat atau biasa digunakan orang dalam me¬nyampai¬kan pembicaraan yakni:
1.    Metode Impromptu ‘Serta Merta’
Dalam hal ini pembicara tidak melakukakan persiapan lebih dulu sebelum berbicara, tetapi secara serta merta atau mendadak berbicara berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.Pembicara menyampaikan pengetahuannya yang ada, dihubungkan dengan situasi dan kepentingan saat itu.
2.   Metode Menghafal
Pembicara sebelum melakukan kegiatannya melakukan persiapan secara tertulis, kemudian dihafal kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dalam penyampaiannya pembicara tidak membaca naskah. Ada kecenderungan pembicara berbicara tanpa menghayati maknanya, berbicara terlalu cepat. Hal itu dapat menjemukan, tidak menarik perhatian pendengar. Mungkin juga ada pembicara yang berhasil dengan metode ini. Metode ini biasanya digunakan oleh pembicara pemula atau yang masih belum biasa berbicara di depan orang banyak.
3.    Metode Naskah
Pada metode ini pembicara sebelum berbicara terlebih dulu menyiapkan naskah. Pembicara membacakan naskah itu di depan para pendengarnya. Hal ini dapat kita perhatikan pada pidato resmi Presiden di depan anggota DPR/ MPR, pidato pejabat pada upacara resmi. Pembicara harus memiliki kemampuan menempatkan tekanan, nada, intonasi, dan ritme. Cara ini sering kurang komunikatif dengan pendengarnya karena mata dan perhatian pembicara selalu ditujukan ke naskah. Oleh karena itu, apabila akan menggunakan metode harus melakukan latihan yang intensif.
4.    Metode Ekstemporan
Dalam hal ini pembicara sebelum melakukan kegiatan berbicara terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cermat dan membuat catatan penting. Catatan itu digunakan sebagai pedoman pembicara dalam melakukan pembicaraannya. Dengan pedoman itu pembicara dapat mengembangkannya secara bebas.

2.2    Problematika Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Dalam setiap pembelajaran bidang studi apapun pasti memiliki masalah, baik masalah yang dihadapi guru maupun masalah yang berasal dari peserta didik. Dalam hal ini, permasalah yang dimaksud terkait dengan keterampilan berbicara siswa, meskipun tetap berpegang kepada hubungan interaktif proses pembelajaran antara guru dan peserta didik.
Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggung¬jawab¬¬kan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.

Pembelajaran berbicara membutuhkan keterampilan dan metode khusus agar keterampilan berbicara tersebut mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan penelitian Mauli, 2013 dengan judul “keefektifan metode tongkat berestafet dalam menceritakan tokoh idola pada pembelajaran berbicara”, kenyataanya di lapangan menunjukan banyak pendidik kurang memahami metode pembelajaran berbicara yang sangkil-mangkus, sehingga keterampilan berbicara siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Adapun  masalah-masalah yang berhubungan dengan keterampilan berbicara siswa tersebut adalah siswa kurang percaya diri dalam mengemukakan pendapat, kurang menguaai topik atau informasi yang akan disampaikan, kualitas pembicaraan yang kurang bagus, pembicaraan kurang terkonsep dengan baik.
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu kemampuan siswa dalam berbicara. Secara umum faktor-faktor tersebut yaitu guru, peserta didik, kondisi lingkungan, dan metode pembelajaran. Faktor tersebut berkontribusi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang tidak disenangi dan membosankan.
Faktor-faktor penyebab problematika siswa dalam pembelajaran berbicara ada dua, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal yang dihadapai siswa, yakni;
1.    Siswa tidak bersemangat atau tidak berminat dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi pasif, siswa mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia terkesan tidak ada niat, tidak ada gairah dan keseriusan.
2.    Penempatan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme. Kemampuan siswa berbicara dalam penguasaan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme masih rendah. Siswa belum terlalu mengerti dimana menempatkan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme dalam berbicara.
3.    Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, kongkret, dan bervariasi. Siswa dalam berbicara belum terlalu bisa memilih ungkapan yang baik, kongkret dan bervariasi. Hal tersebut terlihat pada siswa yang kurang menggunakan ragam bahasa indonesia dalam berbicara.
4.    Merasa malu. Rasa malu pada siswa terlihat pada siswa yang menundukkan kepalanya dan berbicara dengan tersendat-sendat.
5.    Rasa takut. Rasa takut ini terlihat pada siswa yang disuruh berbicara di depan kelas oleh guru terlihat takut untuk berbicara. Rasa takut ini bisa berarti takut ditertawakan oleh teman-teman, takut salah, ataupun pun takut bila salah mengucapkan kata.
6.    Rasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini terlihat pada siswa yang disuruh maju ke depan kelas untuk berbicara, tetapi siswa tersebut sepertinya enggan untuk maju ke depan. Ketika siswa tersebut sudah berada di depan pun, siswa tidak juga memulai berbicara tetapi hanya diam.
Hambatan eksternal yang dihadapi siswa biasanya:
1.    Suara atau bunyi. Suara atau bunyi bisa mempengaruhi konsentrasi dalam berbicara. Hal ini terlihat pada ada beberapa siswa yang terlihat kehilangan konsentrasi dalam berbicara ketika suasana di luar kelas ribut.
2.    Media, tidak dipergunakannya media sebagai alat bantu dalam pembelajaranmenyebabkan siswa belum sepenuhnya termotivasi dalam belajar. Masih ada beberapa siswa yang kurang bersemangat dalam belajar.
Permasalahan yang muncul lainnya, yaitu siswa kurang terampil dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Khususnya saat pembelajaran Bahasa Indonesia, masih banyak siswa yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Kebanyak-an guru terutama di sekolah sekolah di kampung menggunakan  metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/ tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.



2.3     Solusi dalam meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Berbagai upaya yang menurut kami baik untuk dilakukan berkaitan dengan problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah sebagai berikut.
1.    Guru perlu merancang kembali pembelajaran yang lebih menarik, membangkitkan rasa ingin tahu pada diri peserta didik, mendorong anak menjadi lebih aktif, meningkatkan kreativitas anak dan lain-lain. Guru juga dapat menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan sesuai dengan karakteristik anak. Untuk mendukung hal tersebut guru perlu memperdalam/ menambah pengetahuannya dan memperluas wawasannya baik tentang profesi keguruan maupun tentang pengetahuan lainnya.
2.    Meningkatkan minat dan semangat siswa, guru perlu menggunakan media sebagai alat bantu dalam pembelajaran. Media dapat mengkonkritkan sesuatu yang abstrak.
3.    Membuat suasana kelas yang dapat mendorong anak aktif dalam pembelajaran adalah suasana kelas yang hangat, dalam arti harmonis dan penuh kekeluargaan, sehingga anak merasa nyaman dalam pembelajaran, tidak ada perasaan takut dan tegang terhadap guru, untuk itu guru perlu bersikap ramah dan bijaksana. Guru harus menciptakan komunikasi tiga arah yaitu guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa agar semua siswa turut aktif dalam pembelajaran.
4.    Untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu diberi banyak latihan, misalnya diberi kesempatan bertanya, lebih sering disuruh maju ke depan kelas untuk membaca puisi, bermain drama dan lain-lain. Hal tersebut dimaksudkan melatih mental para siswa agar berani tampil di depan kelas. Kalau mental siswa sudah bagus tinggal membimbing dan membina kemampuan dan keterampilan siswa dalam berbicara. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan sehingga siswa dapat berbicara dengan baik. Kegiatan pembelajaran dalam bentuk diskusi juga turut membantu melatih latihan siswa untuk mengemukakan pendapatnya, sanggahan, alasan dan argumentasi secara lisan.
5.    Kebiasaan siswa menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari masih terbawa kedalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi hal tersebut, siswa perlu dibiasakan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat pembelajaran. Selain itu untuk melatih kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia, guru sebaiknya mengingatkan siswa banyak mendengarkan berita-berita dan pidato-pidato berbahasa Indonesia sehingga telinga anak terbiasa mendengar lafal-lafal yang tepat dalam Bahasa Indonesia.
6.    Guru menyiasati agar di setiap proses pembelajaran terjadi diskusi, hal ini baik dalam menstimulus keterampilan siswa dalam meningkatkan keterampilan berbicara.
Baca selengkapnya

Saturday 19 November 2016

Revisi Penilaian Kurikulum 2013 edisi Revisi

Revisi PENILAIAN:

Revisi Penilaian Kurikulum 2013 edisi Revisi
Revisi Kurikulum 2013 telah usai, beberapa point penting dalam revisi Kurikulum 2013 yang sudah diimplementasikan pada tahun 2016 ini secara signifikan perlu kita perhatikan beberapa revisi Kurikulum 2013 setelah pengehentian sementara dan kini Kurikulum 2013 secara bertahap akan diterapkan secara Nasional dalam istilah Kurikulum Nasional atau Kurikulum 2013 yang dilaksanakan secara Nasional.
Sistem Penilaian dalam Kurikulum 2013 akan mengalami perubahan kembali, dari sistem satuan (1 – 4) dikembalikan menjadi puluhan (0 – 100) seperti pada sistem sebelumnya. Ini disebabkan karena banyaknya aduan dari Orang Tua Wali murid yang sulit mengerti dengan sistem Penilaian yang dilakukan seperti di Perguruan Tinggi.
Beberapa Perubahan Penilaian dalam Kurikulum2013 yang akan diterapkan dalam tahun ini antara lain :
1. Penilaian Sikap
2. Ketuntasan Belajar
3. Mekanisme dan Prosedur
4.Pengolahan
5. Laporan Hasil Belajar

KONSEP PENILAIAN
Tujuan penilaian:
Formatif(membentuk karakter dan perilaku, menjadikan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat); diagnostic (melihat perkembangan peserta didik dan feedback-koreksi pembelajaran), dan mengukur achievement/capaian agar dapat dilakukan evaluasi hasil pembelajaran
Ranah yang Dinilai:
a. Pengetahuan
b. Keterampilan dan
c. Sikap dan perilaku (attitude and behavior pembiasaan dan pembudayaan)
Proses penilaian: lebih sederhana, terjangkau untuk dilakukan, tidak menjadi beban bagi guru/siswa, tetapi tetap mengutamakan prinsip dan kaidah penilaian
Penilaian yang dilakukan tidak hanya penilaian atas pembelajaran (assessment of learning), melainkan juga penilaian untuk pembelajaran (assessmet for learning) dan penilaian sebagai pembelajaran (assessment as learning).

PENILAIAN UNTUK, SEBAGAI DAN ATAS PEMBELAJARAN
Pengertian Penilaian Autentik
Penilaian Autentik adalah bentuk penilaian yang menghendaki peserta didik menampilkan sikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pembelajaran dalam melakukan tugas pada situasi yang sesungguhnya
Tujuan Penilaian Authentic
1. Menjadikan siswa pembelajar yang berhasil menguasai pengetahuan
2. Melatih ketrampilan siswa menggunakan pengetahuannya dalam konteks kehidupannya
3.Memberi kesempatan siswa menyelesaikan masalah nyata
4. Prinsip Penilaian
5. Mendorong siswa berpikir krirtis dan menerapkan pengetahuan
6.Mengukur capaian kompetensi siswa
7. Penilaian berdasar kriteria (criterion-referenced)
8. Berkelanjutan, untuk perbaikan dan peningkatan
9.Analisa untuk tindak lanjut pembelajaran
10.Sesuai pengalaman belajar siswa
11. Prinsip Khusus Penilaian Authentic
12. Materi penilaian dikembangkan dari kurikulum.
13. Bersifat lintas muatan atau mata pelajaran.
14. Berkaitan dengan kemampuan peserta didik.
15. Berbasis kinerja peserta didik.
16. Memotivasi belajar peserta didik.
17. Menekankan pada kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik.
18. Memberi kebebasan peserta didik untuk mengkonstruksi responnya.
19. Menekankan keterpaduan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
20. Mengembangkan kemampuan berpikir divergen.
21. Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran.
22. Menghendaki balikan yang segera dan terus menerus.
23. Menekankan konteks yang mencerminkan dunia nyata.
24. Terkait dengan dunia kerja.
25. Menggunakan data yang diperoleh langsung dari dunia nyata.
26. Menggunakan berbagai cara dan instrumen.
27. Tujuan Penilaian
28. Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik bertujuan untuk:
Formatif (membentuk karakter dan perilaku, menjadikan pembelajar sepanjang hayat – to drive learning, terampil),
Diagnostik (melihat perkembangan siswa dan feedback-koreksi pembelajaran), serta Achievement (mengukur capaian agar dapat dilakukan evaluasi hasil pembelajaran
Prinsip-prinsip Penilaian
Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dilakukan terhadap penguasaan tingkat KOMPETENSI sebagai capaian pembelajaran. Jadi bukan KOMPETISI
Penilaian kompetensi merupakan penilaian DISKRIT bukan KONTINU
Penilaian DISKRIT pada skala 0 – 100
Penilaian dalam bentuk deskripsi dengan klasisfikasi: tidak/atau kurang kompeten, cukup kompeten, kompeten, sangat kompeten

KRITERIA KETUNTASAN
Penilaian berdasarkan Acuan Kriteria: penilaian kemajuan peserta didik dibandingkan dengan kriteria capaian kompetensi yang ditetapkan.
Ketuntasan kompetensi sikap dalam bentuk deskripsi minimal Baik.
Skor rerata untuk ketuntasan kompetensi pengetahuan ditetapkan minimal 60.
Capaian optimum untuk ketuntasan kompetensi keterampilan ditetapkan minimal 60.
Sekolah dapat menentukan batas ketuntasan diatas standar dengan mempertimbangkan aspek-aspek tertentu sesuai dengan karakteristik dan potensi sekolah
Nilai pengetahuan dan keterampilan menggunakan angka 0 – 100. (tanpa dilengkapi dengan predikat D-A )
Penyempurnaan pada Penilaian Kelas
Penilaian sikap dilakukan dengan menggunakan observasi yang dituangkan dalam catatan guru mata pelajaran, guru Bimbingan Konseling (BK), dan wali kelas yang berupa catatan anekdot (anecdotal record), catatan kejadian tertentu (incidental record), dan informasi lain yang valid dan relevan.
Dalam pelaksanaan penilaian sikap diasumsikan setiap peserta didik memiliki perilaku yang baik, sehingga jika tidak dijumpai perilaku yang sangat baik atau kurang baik maka nilai sikap peserta didik tersebut dianggap sesuai dengan indikator yang diharapkan.
Penilaian diri dan penilaian antar teman dapat dilakukan dalam rangka pembinaan dan pembentukan karakter siswa, sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu alat konfirmasi dari hasil penilaian sikap oleh pendidik.

PENILAIAN SIKAP
Penilaian Sikap adalah penilaian terhadap perilaku peserta didik dalam proses pembelajaran, di dalam kelas, dan di luar kelas untuk menumbuhkembangkan sikap, perilaku dan karakter setiap peserta didik.
Penilaian sikap Spiritual dilakukan dalam rangka membentuk sikap siswa agar mampu menghargai, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
Penilaian sikap Sosial dilakukan utk membentuk sikap sosial siswa yang mampu menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, dan percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam dimana mereka berada
Alur Penilaian Sikap
Langkah-langkah Membuat Rekapitulasi Penilaian Kompetensi Sikap Selama Satu Semester:
a. Guru MP, wali kls, dan BK melakukan penilaian sikap selama pembelajaran melalui pengamatan dengan mencatat setiap kejadian yang menonjol
b. Catatan hasil pengamatan sikap yang dilakukan oleh guru MP , wali kls, dan BK serta hasil catatan penilaian diri dan antar teman dikelompokkan ke dalam kompetensi sikap spiritual dan kompetensi sikap sosial.
c. Buat deskripsi pada kompetensi sikap spiritual dan kompetensi sikap sosial yang sesuai dengan pencapaian peserta didik berdasarkan catatan observasi.
d. Deskripsi pada kompetensi sikap ditulis dengan kalimat positif berdasarkan kumpulan hasil observasi (catatan) aspek yang menonjol.
e. Deskripsi kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial yang belum mencapai kriteria (indikator) dideskripsikan sebagai aspek yang perlu pembimbingan.
f. Deskripsi sikap setiap siswa oleh guru MP diserahkan ke wali kelas
g. Wali kelas mengolah deskripsi setiap siswa asuhnya untuk menjadi deskripsi sikap akhir
h. Wali kelas menulis deskripsi sikap setiap siswa pada rapor

Revisi dari Buku Teks:
Revisi buku-buku teks tersebut merupakan dampak dari revisi dan sinkronisasi dari Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran, karena berdasarkan hasil evaluasi, ada KI dan KD-KD yang janggal dan kurang sinkron. Selain itu, terdapat juga ketidaksinkronan antara KD yang tertera pada pada silabus dengan KD yang tertera pada Buku Guru (BG) dan Buku Siswa (BS) sehingga membingungkan guru.Selanjutnya, ada susunan atau sistematika materi pelajaran yang kurang sesuai dengan sesuai dengan sintaksnya sehingga perlu ditata ulang.Diklat implementasi K-13 hasil revisi tentunya disertai dengan struktur program yang telah disiapkan dan wajib diikuti oleh peserta kegiatan. Menurut Penulis, ada beberapa elemen mendasar yang perlu dipertegas pada kegiatan tersebut. Antara lain, pertama, perubahan atau perbaikan pada KI dan KD pada mapel beserta analisisnya terhadap Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Kedua, perubahan materi dan urutan materi pada buku Guru (BG) dan Buku Siswa (BS) disertai dengan keterkaitan antar KD dengan KI pada BG dan BS. Pada bagian analisis BG dan BS perlu diperlihatkan, aspek-aspek saja yang berubah, mana uraian atau urutan materi pada BG dan BS versi lama, dan mana uraian atau urutan materi pada BG dan BS hasil revisi supaya dapat diketahui dan dibandingkan perubahan atau perbaikannya.

Ketiga, perlu ada penegasan dalam implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran.Pendekatan saintifik yang terdiri dari 5M (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan) bukan hanya diajarkan atau dijelaskan tetapi perlu dipraktekkan kepada siswa.Tujuannya agar siswa memiliki pengalaman belajar. Selain itu, perlu dipertegas bahwa 5M tidak perlu dimunculkan semua pada setiap pertemuan, tetapi disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran dan waktu yang tersedia, karena dalam prakteknya selama ini, ada anggapan bahwa 5M harus dimunculkan semuanya dalam satu kali pertemuan, sehingga guru-guru merasa dikejar-dikejar waktu dan terlalu memaksakan penerapan 5M. Akibatnya guru-guru kurang fokus dalam melaksanakan pembelajaran.

Keempat, model-model pembelajaran pada K-13 bukan hanya dibatasi pada tiga model saja yang selama ini diperkenalkan, yaitu pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), dan pembelajaran penemuan (discovery/inquiry), tetapi guru perlu diberikan kebebasan dalam memilih dan menerapkan model-model pembelajaran lainnya yang disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran, kebutuhan, situasi, dan kondisi.

Kelima, penilaian otentik pada aspek sikap pada KI-I dan KI-II yang selama ini dikeluhkan guru perlu disederhanakan.Pada dasarnya menilai adalah kewajiban setiap guru, tetapi dengan banyaknya format penilaian, guru terjebak melaksanakan tugas-tugas administratif, dan kurang optimal dalam melaksanakan pembelajaran.Semoga revisi K-13 berdampak baik dalam menambah semangat guru-guru untuk menerapkannya dalam rangka berikhtiar mencapai tujuan pendidikan nasional.



Baca selengkapnya

problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah

Bab ini akan membahas mengenai hakikat berbicara, problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, serta upaya yang dilakukan dalam meningkatkan keterampilan tersebut.
berbicara
2.1    Hakikat berbicara
Menulis dan membaca merupakan ragam bahasa yang berkaitan erat dengan bahasa tulis, sedangkan berbicara dan mendengarkan (menyimak) merupakan ragam bahasa lisan. Tidaklah sama antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Dalam bahasa tulis seorang penulis diikat oleh susunan dan kaidah-kaidah penulisan yang lainnya. Dalam bahasa lisan, seorang pembicara juga diikat oleh kaidah-kaidah seperti pelafalan, jeda, intonasi dan sebagainya.
Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama dengan manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan persaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.
Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.
Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.
Kemampuan berbicara merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang guru. Jika seorang guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan baik, maka guru harus memberi contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di samping menguasai teori berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata. Guru yang baik harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan.

2.1.1 Tujuan Berbicara
Seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan responsi atau reaksi. Responsi atau reaksi itu merupakan suatu hal yang menjadi harapan. Tujuan atau harapan pembicaraan sangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara. Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut:
1.     mendorong atau menstimulasi,
2.    meyakinkan,
3.    menggerakkan,
4.    menginformasikan, dan
5.    menghibur.
Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inpirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Tujuan suatu uraian disebut menggerakkan apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar. Misalnya, berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan suatu resolusi, mengada-kan aksi sosial. Dasar dari tindakan atau perbuatan itu adalah keyakinan yang men-dalam atau terbakarnya emosi.
Tujuan suatu uraian dikatakan menginformasikan apabila pembicara ingin memberi informasi tentang sesuatu agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya seorang guru menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter menyampaikan masalah kebersihan lingkungan, seorang polisi menyampaikan masalah tertib berlalu lintas, dan sebagainya. Tujuan suatu uraian dikatakan menghibur, apabila pembicara bermaksud menggembirakan atau menyenangkan para pendengarnya. Pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan dalam suatu resepsi, ulang tahun, pesta, atau pertemuan gembira lainnya.
Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta memiliki kegemaran berbicara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran keterampil-an berbicara yaitu siswa mampu mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat, secara lisan ataupun sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalam¬an hidup, ide, dan lain sebagainya.


2.1.2 Konsep Dasar Berbicara
Pemahaman konsep berbicara sangatlah dibutuhkan oleh seorang guru dalam mengajar keterampilan berbicara. Konsep dasar berbicara sebagai sarana ber¬komunikasi mencakup tujuh hal, yakni: (1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal; (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi; (3) berbicara adalah ekspresi kreatif; (4) berbicara adalah tingkah laku; (5) berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman; (6) berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala; dan (7) berbicara adalah pancaran pribadi (Iskandar wassid dan Dadang Sunendar, 2008: 286).
Konsep dasar berbicara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)    Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal berbicara dan menyimak
dalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak pasti didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan terpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab, interview, dan lain-lain. Dalam komunikasi lisan, pembicara dan penyimak berpadu dalam suatu kegiatan yang resiprokal berganti peran secara spontan, mudah, dan lancar dari pembicara menjadi penyimak, dari penyimak menjadi pembicara.
2) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi.
Ada kalanya berbicara digunakan sebagai alat komunikasi dengan linkungannya. Bila hal ini dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunkan sebagai sarana memperoleh pengetahuan mangadaptasi, mempelajari, dan mengontrol lingkungan¬nya. Seseorang menggunakan keterampilan berbicara sebagai alat mempengaruhi dan mengontrol lingkungannya dan pada gilirannya lingkungan itu pun mempengaruhi dirinya. Berbicara adalah salah satu alat komunikasi terpenting bagi manusia untuk dapat menyatakan diri sebagi anggota masyarakat.
3) Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara, manusia tidak hanya sekedar menyatakan ide tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Tingkat intelektual seseorang dapat dilihat dari cara seseorang berbicara. Berbicara tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan memformulasikan ide dan kreativitas baru.
4) Berbicara adalah tingkah laku
Melalui berbicara, pada dasarnya pembicara menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian pembicara. Dalam bahasa Indonesia dikenal peribahasa, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Makna peribahasa tersebut ialah cara seseorang berbahasa, berbicara, bertingkah laku menggambarkan kepribadian orang tersebut. Dalam kepribadian seseorang terselip tingkah lakunya, karena itu dapat dikatakan bahwa berbicara adalah tingkah laku.
5) Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Seorang pembicara yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman akan berbicara dengan baik dan lancar. Begitu pula sebaliknya, pembicara yang kurang memiliki pengalaman akan mengalami hambatan dalam menyampaikan ide dan gagasanya. Hal yang sama terjadi juga pada anak-anak. Semakin banyak pengalaman anak, semakin lancar pula anak berbicara.
6) Berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala
Selain untuk mengeksprsikan ide, perasaan, dan imajinasi, berbicara juga dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman. Melalui berbicara wawasan seseorang akan bertambah karena ia akan mendapat umpan balik dari orang lain.


7) Berbicara adalah pancaran pribadi
Gambaran pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dengan berbagai cara, salah satunya dari cara seseorang berbicara. Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, misalnya pikiran, perasaan, keinginan, ide, dan lain-lain. Kualitas suara, tinggi suara, nada, dan kecepatan suara dalam berbicara merupakan indikator keadaan emosi seseorang. Dengan demikian melalui cara bicaranya, kepribadian seseorang dapat diketahui.

2.1.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Kita dapat melihat faktor-faktor yang menentukan keefektifan berbicara, yaitu pembicara, pendengar dan pokok pembicaraan yang dipilih. Ketiga faktor ini sangat menentukan berhasil tidaknya kegiatan berbicara. Selain itu faktor bahasa tentu juga sangat menentukan. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 31-32) memberikan rambu-rambu agar seseorang mampu berbicara dengan baik seorang pembicara harus, di antaranya: (1) menguasai masalah yang dibicarakan; (2) mulai berbicara jika situasi sudah mengizinkan; (3) pengarahan yang tepat dan memancing perhatian pendengar; (4) berbicara harus jelas dan tidak terlalu cepat;(5) pandangan mata dan gerak-gerik yang membantu; (6) pembicara sopan, hormat dan melihatkan rasa persaudaraan; (7) dalam komunikasi dua arah, mulai berbicara jika sudah dipersila¬kan; (8) kenyaringan suara; dan (9) pendengar akan lebih terkesan kalau ia menyaksi¬kan pembicara sepenuhnya. Sementara itu Hassan Nur (2008: 2) menjelaskan bahwa setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki oleh seorang pembicara jika ingin berhasil dalam berbicara, yaitu: (1) percaya diri; (2) kejelasan suara; (3) ekspresi/ gerak mimik; dan (4) kelancaran komunikasi.
Lebih lanjut, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 87) menjelaskan bahwa keefektifan berbicara ditunjang oleh dua faktor yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi: (1) ketepatan ucapan; (2) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; (3) pilihan kata (diksi); dan (4) ketepatan sasaran pembicaraan. Adapun faktor nonkebahasaan meliputi: (1) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku; (2) mimik dan gerak badan atau pandangan; (3) penampilan; (4) menghargai pendapat orang lain; (4) kenyaringan suara; (5) kelancaran; (6) penalaran; dan (7) penguasaan topik.
2.1.4  Merencanakan Pembicaraan
Keterampilan berbicara di depan khayalak ramai, atau yang dikenal dengan istilah public speaking, tidak akan muncul begitu saja pada diri seseorang. Keterampilan itu diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktik penggunaannya. Bertolak dari masalah itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbicara.
Ehninger (dalam Munawaroh, 2008: 27) mengajukan tujuh langkah yang harus dilalui dalam mempersiapkan suatu pembicaraan. Ketujuh langkah tersebut ialah: (1) menyeleksi dan memusatkan pokok pembicaraan; (2) menentukan tujuan khusus pembicaraan; (3) menganalisis pendengar dan situasi; (4) mengumpulkan materi; (5) menyusun ragangan/kerangka dasar (outline); (6) mengembangkan ragangan/ kerangka dasar; dan (7) menyajikan pembicaraan.Wainringht (dalam Munawaroh, 2008: 28) menyarankan enam langkah yang harus dilalui dan dikuasai oleh seseorang agar tepat menjadi pembicara yang baik.
Langkah-langkah yang disarankan oleh Wainright tersebut adalah: (1) memilih topik; (2) memahami dan menguji topik; (3) memahami latar belakang pendengar dan situasi; (4) menyusun kerangka pembicaraan; (5) mengujicobakan; dan (6) menyaji¬kan.
Gorys Keraf (1980: 316-318) mengusulkan tiga langkah pokok dalam merencanakan suatu pembicaraan. Ketiga langkah pokok itu ialah: (1) meneliti masalah; (2) menyusun uraian; dan (3) mengadakan latihan. Langkah pokok yang masih bersifat umum itu dapat dikembangkan menjadi langkah-langkah yang spesifik. Hasil pengembangan langkah yang bersifat umum menjadi langkah bersifat khusus adalah sebagai berikut: (1) menentukan maksud; (2) menganalisis pendengar dan situasi; (3) memilih dan menyempitkan topik; (4) mengumpulkan bahan; (5) membuat kerangka uraian; (6) menguraikan secara mendetail; dan (7) melatih dengan suara nyaring.

2.1.5  Ciri Pembicara yang Baik
Setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan normal memiliki potensi terampil berbicara. Potensi tersebut akan menjadi kenyataan bila dipupuk, dibina, dan dikembangkan melalui latihan yang sistematis, terarah, dan berkesinambungan. Tanpa latihan potensi tersebut tetap berupa potensi. Kenyataan ini sudah disadari oleh para ahli pengajaran bahasa sehingga ada kecenderungan menggalakkan pengajaran berbicara di sekolah. Berikut ini disajikan sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara.
Menurut Munawaroh (2008: 24) ciri-ciri pembicara yang baik antara lain: (1) memilih topik tepat; (2) menguasai materi; (3) memahami latar belakang pendengar; (4) mengetahui situasi; (5) tujuan jelas; (6) kontak dengan pendengar; (7) kemampuan linguistiknya tinggi; (8) mengusai pendengar; (9) memanfaatkan alat bantu; dan(10) berencana. Apabila cirri-ciri tersebut dimiliki siswa saat praktik berbicara maka dapat dikatakan pembelajaran keterampilan berbicara telah berjalan dan berhasil dengan baik.
Berdasarkan paparan di atas maka berbicara dapat diartikan sebagai suatu aktivitas komunikasi manusia antara sesama untuk menyampaikan pendapat, maksud, pesan, pikiran, gagasan, perasaan dan keinginan. Untuk itu keterampilan berbicara perlu dikuasai, dipahami, dipersiapkan dan direncanakan agar tercipta komunikasi yang baik.

2.1.5  Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara
Berbicara terdiri atas berbicara formal dan berbicara informal. Berbicara dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, bergantung pada landasan dalam peng-klasifikasiannya. Ada diskusi, percakapan, pidato menghibur, ceramah, bertelepon, dan sebagainya. Menurut Parera (1991: 184), untuk jenis berbicara khusus diskusi saja dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (1) diskusi terbatas: konferensi, komisi, wawancara, brain storming; dan (2) diskusi terbuka/ umum: debat, forum, seminar, panel, simposium, ceramah, kelompok, mimbar (wawancara televisi dan radio).
Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi dan informal atau tak resmi. Setiap situasi itu menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi formal permbicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi tak formal, pembicara harus berbicara secara tak formal pula.
Logan (dalam Munawaroh, 2008: 13) menyebutkan jenis-jenis (kegiatan) berbicara informal di antaranya adalah tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan berita, menyampaikan pengumuman, bertelpon, dan memberi petunjuk. Adapun jenis-jenis (kegiatan) berbicara formal di antaranya adalah ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, dan bercerita.

2.1.6  Metode Berbicara
Ada empat unsur yang harus dikuasai oleh seorang  pembicara, yaitu unsur psikologis, linguistik, situasi atau konteks, dan pemahaman ide yang akan diujarkan. Unsur psikologis berkaitan dengan kondisi batin pembicara (keberanian). Unsur linguistik berkaitan dengan penguasaan bahasa yang dikuasi pembicara. Unsur situasi atau konteks berkaitan dengan keadaan yang ada disekitar pembicara. Unsur pemahaman ide berkaitan dengan penguasaan bahan pembicaraan oleh pemateri.
Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk mengemukakan pendapat di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide, kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru, kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa percaya diri pada siswa, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik, sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuang-kan ide kreatifnya.
Seperti yang diungkapkan Tarigan, ada empat cara atau teknik yang dapat atau biasa digunakan orang dalam me¬nyampai¬kan pembicaraan yakni:
1.    Metode Impromptu ‘Serta Merta’
Dalam hal ini pembicara tidak melakukakan persiapan lebih dulu sebelum berbicara, tetapi secara serta merta atau mendadak berbicara berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.Pembicara menyampaikan pengetahuannya yang ada, dihubungkan dengan situasi dan kepentingan saat itu.
2.   Metode Menghafal
Pembicara sebelum melakukan kegiatannya melakukan persiapan secara tertulis, kemudian dihafal kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dalam penyampaiannya pembicara tidak membaca naskah. Ada kecenderungan pembicara berbicara tanpa menghayati maknanya, berbicara terlalu cepat. Hal itu dapat menjemukan, tidak menarik perhatian pendengar. Mungkin juga ada pembicara yang berhasil dengan metode ini. Metode ini biasanya digunakan oleh pembicara pemula atau yang masih belum biasa berbicara di depan orang banyak.
3.    Metode Naskah
Pada metode ini pembicara sebelum berbicara terlebih dulu menyiapkan naskah. Pembicara membacakan naskah itu di depan para pendengarnya. Hal ini dapat kita perhatikan pada pidato resmi Presiden di depan anggota DPR/ MPR, pidato pejabat pada upacara resmi. Pembicara harus memiliki kemampuan menempatkan tekanan, nada, intonasi, dan ritme. Cara ini sering kurang komunikatif dengan pendengarnya karena mata dan perhatian pembicara selalu ditujukan ke naskah. Oleh karena itu, apabila akan menggunakan metode harus melakukan latihan yang intensif.
4.    Metode Ekstemporan
Dalam hal ini pembicara sebelum melakukan kegiatan berbicara terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cermat dan membuat catatan penting. Catatan itu digunakan sebagai pedoman pembicara dalam melakukan pembicaraannya. Dengan pedoman itu pembicara dapat mengembangkannya secara bebas.

2.2    Problematika Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Dalam setiap pembelajaran bidang studi apapun pasti memiliki masalah, baik masalah yang dihadapi guru maupun masalah yang berasal dari peserta didik. Dalam hal ini, permasalah yang dimaksud terkait dengan keterampilan berbicara siswa, meskipun tetap berpegang kepada hubungan interaktif proses pembelajaran antara guru dan peserta didik.
Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggung¬jawab¬¬kan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.

Pembelajaran berbicara membutuhkan keterampilan dan metode khusus agar keterampilan berbicara tersebut mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan penelitian Mauli, 2013 dengan judul “keefektifan metode tongkat berestafet dalam menceritakan tokoh idola pada pembelajaran berbicara”, kenyataanya di lapangan menunjukan banyak pendidik kurang memahami metode pembelajaran berbicara yang sangkil-mangkus, sehingga keterampilan berbicara siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Adapun  masalah-masalah yang berhubungan dengan keterampilan berbicara siswa tersebut adalah siswa kurang percaya diri dalam mengemukakan pendapat, kurang menguaai topik atau informasi yang akan disampaikan, kualitas pembicaraan yang kurang bagus, pembicaraan kurang terkonsep dengan baik.
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu kemampuan siswa dalam berbicara. Secara umum faktor-faktor tersebut yaitu guru, peserta didik, kondisi lingkungan, dan metode pembelajaran. Faktor tersebut berkontribusi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang tidak disenangi dan membosankan.
Faktor-faktor penyebab problematika siswa dalam pembelajaran berbicara ada dua, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal yang dihadapai siswa, yakni;
1.    Siswa tidak bersemangat atau tidak berminat dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi pasif, siswa mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia terkesan tidak ada niat, tidak ada gairah dan keseriusan.
2.    Penempatan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme. Kemampuan siswa berbicara dalam penguasaan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme masih rendah. Siswa belum terlalu mengerti dimana menempatkan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme dalam berbicara.
3.    Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, kongkret, dan bervariasi. Siswa dalam berbicara belum terlalu bisa memilih ungkapan yang baik, kongkret dan bervariasi. Hal tersebut terlihat pada siswa yang kurang menggunakan ragam bahasa indonesia dalam berbicara.
4.    Merasa malu. Rasa malu pada siswa terlihat pada siswa yang menundukkan kepalanya dan berbicara dengan tersendat-sendat.
5.    Rasa takut. Rasa takut ini terlihat pada siswa yang disuruh berbicara di depan kelas oleh guru terlihat takut untuk berbicara. Rasa takut ini bisa berarti takut ditertawakan oleh teman-teman, takut salah, ataupun pun takut bila salah mengucapkan kata.
6.    Rasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini terlihat pada siswa yang disuruh maju ke depan kelas untuk berbicara, tetapi siswa tersebut sepertinya enggan untuk maju ke depan. Ketika siswa tersebut sudah berada di depan pun, siswa tidak juga memulai berbicara tetapi hanya diam.
Hambatan eksternal yang dihadapi siswa biasanya:
1.    Suara atau bunyi. Suara atau bunyi bisa mempengaruhi konsentrasi dalam berbicara. Hal ini terlihat pada ada beberapa siswa yang terlihat kehilangan konsentrasi dalam berbicara ketika suasana di luar kelas ribut.
2.    Media, tidak dipergunakannya media sebagai alat bantu dalam pembelajaranmenyebabkan siswa belum sepenuhnya termotivasi dalam belajar. Masih ada beberapa siswa yang kurang bersemangat dalam belajar.
Permasalahan yang muncul lainnya, yaitu siswa kurang terampil dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Khususnya saat pembelajaran Bahasa Indonesia, masih banyak siswa yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Kebanyak-an guru terutama di sekolah sekolah di kampung menggunakan  metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/ tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.



2.3     Solusi dalam meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Berbagai upaya yang menurut kami baik untuk dilakukan berkaitan dengan problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah sebagai berikut.
1.    Guru perlu merancang kembali pembelajaran yang lebih menarik, membangkitkan rasa ingin tahu pada diri peserta didik, mendorong anak menjadi lebih aktif, meningkatkan kreativitas anak dan lain-lain. Guru juga dapat menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan sesuai dengan karakteristik anak. Untuk mendukung hal tersebut guru perlu memperdalam/ menambah pengetahuannya dan memperluas wawasannya baik tentang profesi keguruan maupun tentang pengetahuan lainnya.
2.    Meningkatkan minat dan semangat siswa, guru perlu menggunakan media sebagai alat bantu dalam pembelajaran. Media dapat mengkonkritkan sesuatu yang abstrak.
3.    Membuat suasana kelas yang dapat mendorong anak aktif dalam pembelajaran adalah suasana kelas yang hangat, dalam arti harmonis dan penuh kekeluargaan, sehingga anak merasa nyaman dalam pembelajaran, tidak ada perasaan takut dan tegang terhadap guru, untuk itu guru perlu bersikap ramah dan bijaksana. Guru harus menciptakan komunikasi tiga arah yaitu guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa agar semua siswa turut aktif dalam pembelajaran.
4.    Untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu diberi banyak latihan, misalnya diberi kesempatan bertanya, lebih sering disuruh maju ke depan kelas untuk membaca puisi, bermain drama dan lain-lain. Hal tersebut dimaksudkan melatih mental para siswa agar berani tampil di depan kelas. Kalau mental siswa sudah bagus tinggal membimbing dan membina kemampuan dan keterampilan siswa dalam berbicara. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan sehingga siswa dapat berbicara dengan baik. Kegiatan pembelajaran dalam bentuk diskusi juga turut membantu melatih latihan siswa untuk mengemukakan pendapatnya, sanggahan, alasan dan argumentasi secara lisan.
5.    Kebiasaan siswa menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari masih terbawa kedalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi hal tersebut, siswa perlu dibiasakan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat pembelajaran. Selain itu untuk melatih kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia, guru sebaiknya mengingatkan siswa banyak mendengarkan berita-berita dan pidato-pidato berbahasa Indonesia sehingga telinga anak terbiasa mendengar lafal-lafal yang tepat dalam Bahasa Indonesia.
6.    Guru menyiasati agar di setiap proses pembelajaran terjadi diskusi, hal ini baik dalam menstimulus keterampilan siswa dalam meningkatkan keterampilan berbicara.
Baca selengkapnya

Tuesday 25 October 2016

TINDAK TUTUR MEMINTA DENGAN BERBAGAI MODUS ANAK USIA 4 TAHUN DALAM BERKOMUNIKASI DI LINGKUNGAN RUMAH





TINDAK TUTUR MEMINTA DENGAN BERBAGAI MODUS        
ANAK USIA 4 TAHUN DALAM BERKOMUNIKASI
DI LINGKUNGAN RUMAH
 



ABSTRACT
 
 

This paper is to describe a kind of speech act in asking with various modus for 4 years old child to communicate in home environment. Data of this research is in oral speech to ask 4-year-old child with various modus. The method and technique of collecting data use listening method, field observation, and field notes. The data obtained is analyzed which based on pragmatic analysis.The result of this research shows indirect kinds of speech asking to child can be applied with various modus that 4-year-old child uses speech act to ask with questioning, appraising, expressing fact, pessimistic expressing, and involving the third person.

Key words: speech act, communication, speech modus. 

A.    PENDAHULUAN

Salah satu produk nyata berbahasa adalah peristiwa tindak tutur. Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yakni cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari segi makna dan konteks yang melatari peristiwa tutur. Tindak tutur menurut Searle (2001) adalah teori yang mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu (Austin: 1962).
Dalam sebuah peristiwa tutur, pada kenyataannya, penutur tidak selalu mengatakan apa yang dimaksudkannya secara langsung. Untuk menyampaikan maksud tertentu, penutur sering juga menggunakan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang bermakna kontekstual dan situasional (Djajasudarma: 1994). Bahasa yang digunakan anak-anak dalam bertutur untuk mengajukan permintaan kepada mitra tutur, selain bahasa isyarat yang menggunakan gerak anggota tubuh dan mimik wajah juga menggunakan permintaan langsung dengan bentuk direktif maupun permintaan tidak langsung dengan menggunakan bentuk-bentuk lain (Rusminto: 2010). Bentuk-bentuk tuturan tidak langsung meminta pada anak dapat diaplikasikan dengan berbagai modus. Modus tuturan tidak langsung meminta pada anak antara lain tindak tutur tidak langsung dengan  modus bertanya, memuji, menyatakan fakta, menyindir, nglulu, pesimis, melibatkan orang ketiga, menyatakaan keluhan, dan pengandaian.
Berdasarkan uraikan di atas, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur meminta anak usia 4 tahun dengan berbagai modus dalam berkomunikasi di lingkungan rumah. Sumber data berupa percakapan atau dialog antara penutur dalam hal ini anak usia 4 tahun dengan mitra tutur dalam hal ini seluruh anggota keluarga atau kerabat di lingkungan rumah. Metode dan teknik pengumpulan data menggunakan metode simak, pengamataan lapangan, catatan lapangan. Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan analisis pragmatik.

B.     HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      Tindak Tutur
Austin (dalam Rusminto, 2015: 66) pertama kali mengemukakan istilah tindak tutur (speech act) dalam bukunya yang berjudul How to Do Things with Word yang menyatakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Searle (dalam Rusminto, 2015: 66) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah teori yang mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya.  Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana utama komunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, atau permintaan.

2.      Tuturan Meminta dengan Berbagai Modus
Dalam mengajukan permintaan, anak-anak melakukannya dengan meng-gunakan dua macam bentuk tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tidak langsung. Makalah ini memfokuskan pada tindak tutur tidak langsung dengan berbagai modus tuturan. Tindak tutur tidak langsung yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah tindak tutur yang digunakan oleh anak-anak untuk mengaju-kan permintaan dengan menggunakan bentuk tutur yang makna performansi-nya berbeda dengan maksud ilokusinya. Tindak tutur tersebut diklasifikasikan dalam 9 klasifikasi dengan berbagai modus, yakni tindak tutur tidak langsung dengan  modus bertanya (TLMT), memuji (TLMP), menyatakan fakta (TLMF), menyindir (TLMS), nglulu (TLML), pesimis (TLMPs), melibatkan orang ketiga (TLMO), menyatakan keluhan (TLMK), dan pengandaian (TLMA). Sembilan klasifikasi tersebut dilakukan oleh anak dalam tuturan meminta (Rusminto. 2010: 76-101)

3.      Bentuk-bentuk Tuturan Meminta dengan Berbagai Modus
Bentuk-bentuk turturan meminta yang ditemukan oleh peneliti sebagai berikut.
a.       Tindak Tutur Tidak Langsung dengan Modus Bertanya (TLMT)
TLMT adalah tindak tutur yang digunakan untuk mengajukan permintaan dengan menggunakan kalimat tanya. Pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan tentang sesuatu yang dimintanya, atau berupa pertanyaan tentang kondisi pendukung yang melatari sesuatu yang diminta tersebut.




(1)   Bunga        : Yuk, itu maenan puter-puteran ayuk yang bisa bunyi itu
ya? (Sambil memerhatikan dengan mata berbinar dan menunjuk ke arah mainan di dalam lemari kaca).
Ayuk         : Iya dek.
Bunga        : Bisa muter-muter kan yuk kalo dipencet?
Ayuk         : Iya, tapi baterainya habis jadi engga bisa muter lagi.
Bunga        : Yaah, beliin geh yuk. (Wajah kecewa dan penuh harap
                    akan segera membeli baterai).
Pertanyaan tentang “Yuk, itu maenan puter-puteran ayuk yang bisa bunyi itu ya?” yang dilakukan anak sambil memerhatikan dengan wajah berbinar dan menunjuk mengisyaratkan kepada mitra tutur bahwa anak ingin diambilkan dan dihidupkan mainan yang ia tunjuk. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan adanya kebiasaan anak menghidupkan mainan tersebut ketika berkunjung ke rumah ayuk sepupunya.

b.      Tindak Tutur Tidak Langsung dengan Modus Memuji (TLMP)
TLMP adalah tindak tutur yang digunakan untuk mengajukan permintaan dengan dua cara, yaitu mengemukakan hal-hal positif berkenaan dengan mitra tutur atau sesuatu yang menjadi sasaran tindak tutur atau sesuatu yang diminta.
(2)   Bunga        : Ayuk Ncik, kuncitan Hello Kitty Ayuk Encik bagus loh
  warna pink. Adek Bunga juga ada, tapi kecil. (Sambil
  memegang-megang kuncitan yang tergeletak di meja
  belajar)
Ayuk Ncik            : Sini rambut Adek Bunga, Ayuk Ncik kuncit pake kuncitan
  itu. (Mengambil kuncitan dan menguncit rambut)
Bunga        : Bagus kan Ayuk Ncik (Sambil bercermin dan tersenyum
  senyum)
Ayuk Ncik            : Ya udah, buat Adek Bunga aja.
Untuk menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung permintaannya, penutur mengemukakan pernyataan berisi pujian terhadap sesuatu yang diminta yakni kuncitan Hello Kitty yang berwarna pink yang dipuji bagus. Penutur melakukan dengan memegang-megang penuh harap mitra tutur memahami maksud tuturan agar kuncit tersebut diberikan kepadanya.

c.       Tindak Tutur Tidak Langsung dengan Modus Menyatakan Fakta (TLMF)
TLMF adalah permintaan yang diajukan dengan menyatakan fakta-fakta yang dihadapi anak kepada mitra tuturnya.
(3)   Bunga        : Papa, liat crayon Adek pa. Pendek-pendek kan abis
  dipinjem Abang, patah semua. (Menunjukan isi crayonnya
  sambil memasang wajah cemberut)
Papa          : Kan masih bisa dipake Adek.
Bunga        : Tapi Adek pegangnya susah Pa. Ni, ni (Sambil memegang
  crayon dan mencoba mewarnai di kertas dan menunjuk-
  kannya)
Papa          : Nanti beli yang baru sama mama ya.


Pernyataan Bunga dimaksudkan untuk menyampaikan permintaan dengan mengutarakan fakta tentang ketidaklayakan crayon yang dimilikinya agar dibelikan yang baru untuk mengganti miliknya yang sudah tidak layak pakai karena sudah pendek dan sulit dipegang tersebut.

d.      Tindak Tutur Tidak Langsung dengan Modus Menyatakan Rasa Pesimis (TLMPs)
TLMPs digunakan untuk mengajukan permintaan yang mencerminkan ketidakberdayaan berkaitan dengan situasi dan kondisi anak yang tidak mendukung permintaan tersebut.
(4)   Bunga        : Adek gak boleh minum es kiko ya ma? (menatap mama)
Mama        : Iya gak boleh. Kan Adek lagi pilek.
Bunga        : Dikiiiiit aja Ma. Potongan sama Abang. (Sambil
  memasang wajah memelas)
Mama        : Kalo Adek udah sembuh baru boleh.
Peristiwa tutur tersebut terjadi ketika penutur melihat sang kakak sedang minum es kiko. Karena menyadari dirinya sedang terkena flu, anak merasa kemungkinan dikabulkan permintaannya untuk minum es sangat kecil, maka anak menyampaikan permintaan dengan rasa pesimis.

e.       Tindak Tutur Tidak Langsung dengan Modus Melibatkan Orang Ketiga (TLMO)
TLMO digunakan untuk mengajukan permintaan dengan cara menyebut orang lain sebagai pihak yang berkepentingan dalam pengajuan perminta-an, menyebut orang lain untuk menunjukkan kepada mitra tutur adanya dukungan terhadap permintaannya, dan memanfaatkan kehadiran orang lain dalam peristiwa tutur yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan maksud menghindari terjadinya konfrontasi secara langsung dan mengurangi beban psikologis ketika mengajukan permintaannya.
(5)   Bunga        : Ma, Abang mau naek itu katanya. (Sambil menunjuk ke
  arah komedi putar)
Abang       : Ih kan Adek tadi yang bisikin Abang pengen naek.
Bunga        : Tapi Abang kan juga mau. Weeeek.
Mama        : Yaudah tunggu, Mama beli tiket dulu.
            Peristiwa tutur tersebut terjadi ketika penutur bersama keluarganya sedang berada di pasar malam. Bunga melihat komedi putar dan ia ingin menaiki-nya, karena dalam situasi tersebut ada sang kakak, maka Bunga menggunakan tindak tutur dengan modus melibatkan orang ketiga yakni Abang yang dirasa juga memiliki keinginan yang sama agar menjadi pendukung atas permintaannya.

C.      SIMPULAN

Tindak tutur meminta dengan berbagai modus sering terjadi dalam komunikasi sehari-hari pada tuturan anak. Anak-anak khususnya anak usia 4 tahun sering mengemas bahasa permintaannya agar diberi atau mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dengan berbagai modus tuturan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia 4 tahun menggunakan tindak tutur meminta dengan modus bertanya, memuji, menyatakan fakta, menyatakan rasa pesimis dan melibatkan orang ketiga.


DAFTAR PUSTAKA





Baca selengkapnya