1.
Pengantar
Sosiologi sastra sebagai suatu
jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi
epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra
berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra
adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki
keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang
teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan
dalam menangani objek sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra
dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama
memperhatikan
hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan
ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang
ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya)
secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode
tertentu (Abrams, 1981:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan
orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra
merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3)
berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan
alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori
sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan
antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah
yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori
yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu
baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh
Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya
doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.
Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan
pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat
dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para
teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan
resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti
menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai
hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang
memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan
aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.
Pemikir-pemikir Neomarxis
memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek
ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis
mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi
tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.
Dalam pembuatan esai
yang saya buat, lebih menakankan kemungkinan terciptanya sebuah cerpen yang
berjudul “Bulan Desember” adalah karena
sebuah peristiwa yang bisa saja sudah terjadi, sedang terjadi dan mungkin akan
terjadi di suatu masyarakat, karena sastra merupakan bagian dari pengalaman,
pengamatan, dan pengimajinasian.
2. Aspek Sosial Dalam cerpen “Bulan Desember”
1. Tokoh Utama
Hubungan komunikasi dan kedekatan sosial yang terdapat dalam cerpen
tersebut adalah sebuah gambaran tentang kondisi kehidupan masyarakat yang ada
di dalamnya, bisa terlihat dari kutipan berikut.
Masalahnya banyak sekali yang berhubungan
dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya
satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa
menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.
Kutipan di atas
menggambarkan kehidupan tokoh utama, Bu Geni sebagai perias pengantin,
menafkahi kehidupan dari riasan, walaupun tidak secara terperinci menelursuri
kehidupan keluarga tokoh, namun dapat terlihat bahwa bu Geni adalah sosok yang
menjalani kehidupan dengan apa-adanya tanpa perlu memaksakan kehendak ataupun
menolok kehendak Tuhan, hal itu dapat terlihat dari kutipan berikut.
Kenapa dulu kawin dengan Pak Geni?
”Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain.”
Berarti tidak atas dasar cinta ketika menikah dengan Pak Geni?
”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima
sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya,
bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta
sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah
lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng,
datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh
saja.”
Mungkin itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia merias calon pengantin
yang akan menjadi istri kedua, atau ketiga. ”Biarlah orang merasakan
kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan,
sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan
menemukan kegembiraan yang lain.”
Apakah ada sosok yang seperi Bu
Geni dalam kehidupan sehari-hari?bisa saja tidak ada dan bisa juga ada, karena
karya merupakan rekayasa yang tentunya di luar logika manusiapun bisa terjadi.
2. Sosial Masyarakat
Kehidupan sosial yang dapat terlihat dari cerpen berjudul Bulan Desember, adalah mengisahkan kehidupan tukang perias, yaitu Bu Geni
dengan pemasalahan yang timbul saat-saat prosesi pernikahan,
Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu
mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga
benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah
menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini
disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias
pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya.
Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan
yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu,
dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon
pengantin ada di rumah. Bahkan setelah ditemukan, ibu calon pengantin masih
menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu bukan anak saya.”
”Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Baru kemudian ibu calon pengantin sadar, dan mengatakan: ”Bagaimana
mungkin anakku bisa secantik ini?”
Hal, biasa yang
sering terjadi pada kehidupan sosial masyarakat adalah adanya sebuah
mitos-mitos, ataupun suatu peristiwa atau kejadian yang dikaitkan dengan
sebab-sebab yang dapat berakibat pada kejadian-kejadian aneh.
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata:
”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat
resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah
dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. Yang
tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis terjun ke jurang. Menurut
perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa pembatalan, kemungkinan
besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang rencananya naik bis itu
pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak
menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini
saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.”
Dan suatu peritiwa dikaitkan
dengan kehidupan tokoh utama
Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak
mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31
Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun
esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang
mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang
selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga.
Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang
diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun
sebelumnya.
Dalam respon
masyarakat yang ditimbulkan karena sikap aneh Bu Geni, dapat menjadi kesimpulan
atas keadaan yang memang hal semacam itu bisa saja terjadi di kehidupan sosail
masyarakat Indonesia yang cenderung aneh kepada hal-hal yang ghoib.
Begitulah Bu Geni yang juru rias pengantin, telah merias semua
perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang tidak. Yang
terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal sebelum
menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang tidak
setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias. ”Ketakutan
terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat,
makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung
jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh
saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan
membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.”
Kutipan di atas,
memperlihatkan kondisi masyarakt yang masih tetap menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, dan berakibat kepada yang lain, halnya yang ada dikehidupan
sehari-hari, masyarakat cenderung cepat menrima jika yang menjadi pembicaraan
adalah tokoh yang memiliki nama besar, dan menjadi perbincangan hangat yang
sangat lama untuk bisa hilang dalam pemberitaan, kadang-kadang juga masyarakat
cenderung mencari-cari sebab ataupun akibat perbuatan dari tokoh tersebut
sehingga menjadi sesuatu yang terbaru dan dibarukan, untuk dinikmati oleh
masyarakat.
3. Mitos Dalam Masyarakat
Semua manusia percaya bahwa
dikehidupan dunia ini
ada makhluk yang hidupnya berada diluar kehidupan nyata; setan, iblis, jin dan
sebangsanya, yang menjadi perbincangan seru dalam kehidupan manusia. Dalam
pandangan yang lebih nyata berbicara dengan hal-hal yang mistis kadang
mengundang geli, tawa dan rasa yang begitu mendebarkan, antara percaya dan
tidak membuat penasaran, seolah melihat, merasakan dan bahkan berada dalam
kehidupan yang tidak nyata, tentunya masyarakat dalam negeri sudah terbiasa
dengan hal yang semacam itu, dan akan lain halnya jika seseorang yang memiliki keanehan dan kelebihan yang
tentunya akan menjadai perhatian yang lebih oleh masyarakat umum.
Tindakan-tindakan yang dilakukan
menjadi perhatian bahkan perbincangan yang jarang akan habis, ada saja yang
selalu masyarakat keluarkan untuk menambah kelebihan atau kekurangan seseorang
yang memiliki keanehan dan kelebihan, terutama masalah dan kejadian yang
menyangkut hal-hal mistis (ghoib). Cerpen “Bulan Desember” menceritakan
peristiwa yang memang menarik perhatian pembaca, karena yang ditampilkan adalah
sosok yang sepertinya biasa-biasa saja, akan tetapi menjadi pusat yang lebih
bagi penulis. Perias pengantin yang bertugas hanya membuat calon pengantin
lebih cantik dengan tambahan pemutih wajah, serta hiasan-hiasan kulit dengan
warna-warni yang memikat, jika hanya sekedar itu yang dibicarakan dalam cerpen
tersbut tentu akan sangat membosankan dan tidak akan menjadi cerpen yang enak
dibaca.
Kelihaian penulis menggambarkan
sosok perias yang sepertinya adalah sosok yang mengerikan, dapat terlihat dari
namanya Bu Geni, yang kalau dijadikan bahasa jawa maka namanya menjadi ‘api’
karena kata /geni/ (bahasa jawa) merupakan ‘api’, tentu hal semacam itu sangat
mengerikan, karena tidak menyangka yang dalam cerita tersebut bahwa wajah bu
Geni tidak berbeda, dari 20 tahun sebelum dan sesudahnya, adalah keanehan yang
sungguh meemikat pembaca untuk mendalami kehidupan tokoh utama.
Selain itu, penulis juga menampilkan
kepribadian tokoh utama yang cederung biasa saja menjalani kehidupan, tanpa merasa
terbebani, menikah ya tinggal menikah, berbcerai tinggal bercerai, dan tokoh
utama memiliki kepribadian yang cukup patuh pada prinsip kehidupanya yang hal
semacam inilah membuat pembaca bisa lebih mendalami kalimat-kalimat bijak yang
terdapat dalam kalimat tersebut.
Latar pengarang
jawa, identik budaya ghoib sepertinya meikat penulis
Pada akhir cerita, penulis
menggambarkan perasaan wanita, yang dalam keadaan sebenarnya terhadap lelaki
atau suami, yang dapat terlihat bagaimana respon tokoh utama saat ditanya
apakah ingin bercerai dengan suaminya, karena sudah menikah berulang-ulang
kali, dan jawaban yang lugas dan jelas.
Apakah Bu Geni pernah berpikir
bercerai dengan Pak Geni.
”Saya tak pernah memikirkan
bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Tentunya dengan keadaan yang seperti itu,
dapat terlihat bagaiman fitrah manusia yang memiliki perasaan lebih terhadap
pasanganya, yang tentunya tidak ingin diduakan, dan hal yang biasa juga akan
didapati dalam kehidupan masyarakat bahwa yang terbaik adalah yang benar-benar
menjadi terbaik, bukan hanya hiasan umum, untuk menarik perhatian. Dan kita
percaya bahwa semua yang terjadi di dunia ini semuanya adalah kepastian Tuhan
yang telah tertulis dalam kitabnya, dan akan menjadi pertanggung jawaban prib
adi ketika menhadapa Tuhan nanti.
Cerpen.
(sumber:Cerpen Pilihan Kompas)
BULAN DESEMBER
Bagi Bu Geni, semua bulan adalah
Desember. Bulan lalu, sekarang ini, atau bulan depan berarti Desember. Maka
kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal,
melainkan hari. Kalau mengundang bilang saja Jumat dua Jumat lagi. Kalau mengatakan
tanggal 17, bisa repot. Karena tanggal 17 belum tentu jatuh hari Jumat. Kalau
memesan tanggal 17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang sesuai hari yang dijanjikan.
Masalahnya banyak sekali yang
berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya,
pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin
lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan
tetap pada Bu Geni.
Menurut yang sudah-sudah, Bu
Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan
menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi.
Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon
pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit
tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama,
namun tak ada yang menyamai kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah
pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon
pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari
ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan setelah
ditemukan, ibu calon pengantin masih menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu bukan
anak saya.”
”Ya sudah kalau bukan anakmu,
berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Baru kemudian ibu calon
pengantin sadar, dan mengatakan: ”Bagaimana mungkin anakku bisa secantik ini?”
Padahal Bu Geni tidak selalu
menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas. ”Ini anak sudah
hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu
anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak
kamu sendiri.”
Kalau tak salah, kejadian itu
berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema,
jauh setelah peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris menggagalkan upacara
perkawinan hanya karena Bu Geni melihat wajah calon pengantin suram. Biasanya
dua atau tiga hari sebelumnya, Bu Geni memerlukan bertemu langsung dengan calon
pengantin perempuan. Kenapa bukan dengan calon pengantin laki-laki? ”Lho kan
nasib dia berasal dari sini.”
Sewaktu ketemu calon yang
dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.”
Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang
lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau
berakhir dengan pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis
terjun ke jurang. Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa
pembatalan, kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang
rencananya naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta
merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh
ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.”
Pada tanggal 17 Agustus kemarin,
warga sekitar kediamannya menunggu, apakah Bu Geni akan memasang bendera merah
putih di rumahnya. Karena dalam perhitungan Bu Geni itu sama dengan 17 Agustus.
Ternyata Bu Geni menyuruh pasang. ”Apa salah kalau mengibarkan bendera tanggal
17 Desember?”
Para pejabat di desa ikut
gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan
kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak
berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun
baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni
sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika
seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya
tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang diambil saat itu, dan 20
tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun sebelumnya.
”Perkawinan adalah upacara yang
paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan
hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan
itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi
wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu
diadakan. Begitulah perkawinan.” Agak aneh juga perkataan itu keluar dari Bu
Geni, yang hidupnya justru dari adanya upacara perkawinan. ”Ya memang aneh,
perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak
menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh.”
Pada kesempatan berbeda, Bu Geni
berkata: ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau hal
yang tak berani kita jawab. O, itu jodoh saya, biasanya orang bilang begitu.
Atau kalau gagal, o, itu bukan jodoh saya.” Lalu Bu Geni tertawa lama sekali.
”Memangnya jodoh saya Pak Geni? Karena saya menikah dengan Pak Geni, itu jadi
jodoh saya. Bukan karena jodoh saya Pak Geni kemudian saya menikah dengan dia.
Lain kalau saya tidak jadi menikah dengan Pak Geni dulunya. Itu bukan jodoh
saya.”
Kenapa dulu kawin dengan Pak
Geni?
”Ya karena sudah waktunya kawin,
seperti yang lain.”
Berarti tidak atas dasar cinta
ketika menikah dengan Pak Geni?
”Seperti halnya jodoh, begitu
kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau
mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah
yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan itu terlontar, karena
ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias
pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga
susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Mungkin itu sebabnya Bu Geni
tetap bersedia merias calon pengantin yang akan menjadi istri kedua, atau
ketiga. ”Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu
Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak
merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”
Menurut Bu Geni, tak ada
perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang
diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin.
Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”
Apakah Bu Geni pernah berpikir
bercerai dengan Pak Geni.
”Saya tak pernah memikirkan
bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Begitulah Bu Geni yang juru rias
pengantin, telah merias semua perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya
yang kawin dan yang tidak. Yang terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat
perempuan yang meninggal sebelum menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias
dengan komplet. Banyak yang tidak setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang
menjadi takut dirias. ”Ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu
bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada
perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk
memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut
dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.”
Meskipun mengatakan bahwa
penemuan manusia yang paling membelenggu dan menakutkan adalah perkawinan, Bu
Geni masih terus merias dengan mengepulkan asap rokok. Bagi seorang yang mampu
menciptakan waktu untuk diri sendiri—meskipun masih terikat pada bulan
Desember, Bu Geni bisa merias manusia, mayat, juga pernah merias patung
pengantin dan pepohonan juga kerbau. Bu Geni juga memberi sembaga, sama
seriusnya dengan berpuasa sebelum merias. ”Biarkan kerbau merasakan
kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa perkawinan adalah
kegembiraan.”
Semua ini, untunglah hanya
terjadi pada bulan Desember.
Bagikan
Sosiologi Sastra : Aspek Sosial Dalam cerpen “Bulan Desember”
4/
5
Oleh
ATLET.COM