Thursday, 13 October 2016

Sosiologi Sastra : Aspek Sosial Dalam cerpen “Bulan Desember”









SOSIOLOGI SASTRA

1. Pengantar
              Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
              Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
              Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
              Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.
              Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.
              Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.
              Dalam pembuatan esai yang saya buat, lebih menakankan kemungkinan terciptanya sebuah cerpen yang berjudul “Bulan Desember”  adalah karena sebuah peristiwa yang bisa saja sudah terjadi, sedang terjadi dan mungkin akan terjadi di suatu masyarakat, karena sastra merupakan bagian dari pengalaman, pengamatan, dan pengimajinasian.


2. Aspek  Sosial Dalam cerpen “Bulan Desember”

1.      Tokoh Utama
Hubungan komunikasi dan kedekatan sosial yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah sebuah gambaran tentang kondisi kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya, bisa terlihat dari kutipan berikut.
Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan tokoh utama, Bu Geni sebagai perias pengantin, menafkahi kehidupan dari riasan, walaupun tidak secara terperinci menelursuri kehidupan keluarga tokoh, namun dapat terlihat bahwa bu Geni adalah sosok yang menjalani kehidupan dengan apa-adanya tanpa perlu memaksakan kehendak ataupun menolok kehendak Tuhan, hal itu dapat terlihat dari kutipan berikut.

Kenapa dulu kawin dengan Pak Geni?
”Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain.”
Berarti tidak atas dasar cinta ketika menikah dengan Pak Geni?
”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Mungkin itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia merias calon pengantin yang akan menjadi istri kedua, atau ketiga. ”Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”
Apakah ada sosok yang seperi Bu Geni dalam kehidupan sehari-hari?bisa saja tidak ada dan bisa juga ada, karena karya merupakan rekayasa yang tentunya di luar logika manusiapun bisa terjadi.

2.      Sosial Masyarakat

Kehidupan sosial yang dapat terlihat dari cerpen berjudul Bulan Desember, adalah mengisahkan kehidupan tukang perias, yaitu Bu Geni dengan pemasalahan yang timbul saat-saat prosesi pernikahan,
Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan setelah ditemukan, ibu calon pengantin masih menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu bukan anak saya.”
”Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Baru kemudian ibu calon pengantin sadar, dan mengatakan: ”Bagaimana mungkin anakku bisa secantik ini?”
Hal, biasa yang sering terjadi pada kehidupan sosial masyarakat adalah adanya sebuah mitos-mitos, ataupun suatu peristiwa atau kejadian yang dikaitkan dengan sebab-sebab yang dapat berakibat pada kejadian-kejadian aneh.
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis terjun ke jurang. Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa pembatalan, kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang rencananya naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.”
Dan suatu peritiwa dikaitkan dengan kehidupan tokoh utama
Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun sebelumnya.
Dalam respon masyarakat yang ditimbulkan karena sikap aneh Bu Geni, dapat menjadi kesimpulan atas keadaan yang memang hal semacam itu bisa saja terjadi di kehidupan sosail masyarakat Indonesia yang cenderung aneh kepada hal-hal yang ghoib.
Begitulah Bu Geni yang juru rias pengantin, telah merias semua perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang tidak. Yang terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal sebelum menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang tidak setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias. ”Ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.”
Kutipan di atas, memperlihatkan kondisi masyarakt yang masih tetap menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan berakibat kepada yang lain, halnya yang ada dikehidupan sehari-hari, masyarakat cenderung cepat menrima jika yang menjadi pembicaraan adalah tokoh yang memiliki nama besar, dan menjadi perbincangan hangat yang sangat lama untuk bisa hilang dalam pemberitaan, kadang-kadang juga masyarakat cenderung mencari-cari sebab ataupun akibat perbuatan dari tokoh tersebut sehingga menjadi sesuatu yang terbaru dan dibarukan, untuk dinikmati oleh masyarakat.


3. Mitos Dalam Masyarakat

Semua manusia percaya bahwa dikehidupan dunia ini ada makhluk yang hidupnya berada diluar kehidupan nyata; setan, iblis, jin dan sebangsanya, yang menjadi perbincangan seru dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan yang lebih nyata berbicara dengan hal-hal yang mistis kadang mengundang geli, tawa dan rasa yang begitu mendebarkan, antara percaya dan tidak membuat penasaran, seolah melihat, merasakan dan bahkan berada dalam kehidupan yang tidak nyata, tentunya masyarakat dalam negeri sudah terbiasa dengan hal yang semacam itu, dan akan lain halnya jika seseorang  yang memiliki keanehan dan kelebihan yang tentunya akan menjadai perhatian yang lebih oleh masyarakat umum.
Tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi perhatian bahkan perbincangan yang jarang akan habis, ada saja yang selalu masyarakat keluarkan untuk menambah kelebihan atau kekurangan seseorang yang memiliki keanehan dan kelebihan, terutama masalah dan kejadian yang menyangkut hal-hal mistis (ghoib). Cerpen “Bulan Desember” menceritakan peristiwa yang memang menarik perhatian pembaca, karena yang ditampilkan adalah sosok yang sepertinya biasa-biasa saja, akan tetapi menjadi pusat yang lebih bagi penulis. Perias pengantin yang bertugas hanya membuat calon pengantin lebih cantik dengan tambahan pemutih wajah, serta hiasan-hiasan kulit dengan warna-warni yang memikat, jika hanya sekedar itu yang dibicarakan dalam cerpen tersbut tentu akan sangat membosankan dan tidak akan menjadi cerpen yang enak dibaca.
Kelihaian penulis menggambarkan sosok perias yang sepertinya adalah sosok yang mengerikan, dapat terlihat dari namanya Bu Geni, yang kalau dijadikan bahasa jawa maka namanya menjadi ‘api’ karena kata /geni/ (bahasa jawa) merupakan ‘api’, tentu hal semacam itu sangat mengerikan, karena tidak menyangka yang dalam cerita tersebut bahwa wajah bu Geni tidak berbeda, dari 20 tahun sebelum dan sesudahnya, adalah keanehan yang sungguh meemikat pembaca untuk mendalami kehidupan tokoh utama.
Selain itu, penulis juga menampilkan kepribadian tokoh utama yang cederung biasa saja menjalani kehidupan, tanpa merasa terbebani, menikah ya tinggal menikah, berbcerai tinggal bercerai, dan tokoh utama memiliki kepribadian yang cukup patuh pada prinsip kehidupanya yang hal semacam inilah membuat pembaca bisa lebih mendalami kalimat-kalimat bijak yang terdapat dalam kalimat tersebut.
Latar pengarang jawa, identik budaya ghoib sepertinya meikat penulis
Pada akhir cerita, penulis menggambarkan perasaan wanita, yang dalam keadaan sebenarnya terhadap lelaki atau suami, yang dapat terlihat bagaimana respon tokoh utama saat ditanya apakah ingin bercerai dengan suaminya, karena sudah menikah berulang-ulang kali, dan jawaban yang lugas dan jelas.
Apakah Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan Pak Geni.
”Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Tentunya dengan keadaan yang seperti itu, dapat terlihat bagaiman fitrah manusia yang memiliki perasaan lebih terhadap pasanganya, yang tentunya tidak ingin diduakan, dan hal yang biasa juga akan didapati dalam kehidupan masyarakat bahwa yang terbaik adalah yang benar-benar menjadi terbaik, bukan hanya hiasan umum, untuk menarik perhatian. Dan kita percaya bahwa semua yang terjadi di dunia ini semuanya adalah kepastian Tuhan yang telah tertulis dalam kitabnya, dan akan menjadi pertanggung jawaban prib adi ketika menhadapa Tuhan nanti.




Cerpen.
 (sumber:Cerpen Pilihan Kompas)
BULAN DESEMBER
Bagi Bu Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan lalu, sekarang ini, atau bulan depan berarti Desember. Maka kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal, melainkan hari. Kalau mengundang bilang saja Jumat dua Jumat lagi. Kalau mengatakan tanggal 17, bisa repot. Karena tanggal 17 belum tentu jatuh hari Jumat. Kalau memesan tanggal 17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang sesuai hari yang dijanjikan.
Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.
Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan setelah ditemukan, ibu calon pengantin masih menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu bukan anak saya.”
”Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Baru kemudian ibu calon pengantin sadar, dan mengatakan: ”Bagaimana mungkin anakku bisa secantik ini?”
Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas. ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris menggagalkan upacara perkawinan hanya karena Bu Geni melihat wajah calon pengantin suram. Biasanya dua atau tiga hari sebelumnya, Bu Geni memerlukan bertemu langsung dengan calon pengantin perempuan. Kenapa bukan dengan calon pengantin laki-laki? ”Lho kan nasib dia berasal dari sini.”
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis terjun ke jurang. Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa pembatalan, kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang rencananya naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.”
Pada tanggal 17 Agustus kemarin, warga sekitar kediamannya menunggu, apakah Bu Geni akan memasang bendera merah putih di rumahnya. Karena dalam perhitungan Bu Geni itu sama dengan 17 Agustus. Ternyata Bu Geni menyuruh pasang. ”Apa salah kalau mengibarkan bendera tanggal 17 Desember?”
Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun sebelumnya.
”Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan.” Agak aneh juga perkataan itu keluar dari Bu Geni, yang hidupnya justru dari adanya upacara perkawinan. ”Ya memang aneh, perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh.”
Pada kesempatan berbeda, Bu Geni berkata: ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau hal yang tak berani kita jawab. O, itu jodoh saya, biasanya orang bilang begitu. Atau kalau gagal, o, itu bukan jodoh saya.” Lalu Bu Geni tertawa lama sekali. ”Memangnya jodoh saya Pak Geni? Karena saya menikah dengan Pak Geni, itu jadi jodoh saya. Bukan karena jodoh saya Pak Geni kemudian saya menikah dengan dia. Lain kalau saya tidak jadi menikah dengan Pak Geni dulunya. Itu bukan jodoh saya.”
Kenapa dulu kawin dengan Pak Geni?
”Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain.”
Berarti tidak atas dasar cinta ketika menikah dengan Pak Geni?
”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Mungkin itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia merias calon pengantin yang akan menjadi istri kedua, atau ketiga. ”Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”
Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”
Apakah Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan Pak Geni.
”Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Begitulah Bu Geni yang juru rias pengantin, telah merias semua perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang tidak. Yang terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal sebelum menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang tidak setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias. ”Ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.”
Meskipun mengatakan bahwa penemuan manusia yang paling membelenggu dan menakutkan adalah perkawinan, Bu Geni masih terus merias dengan mengepulkan asap rokok. Bagi seorang yang mampu menciptakan waktu untuk diri sendiri—meskipun masih terikat pada bulan Desember, Bu Geni bisa merias manusia, mayat, juga pernah merias patung pengantin dan pepohonan juga kerbau. Bu Geni juga memberi sembaga, sama seriusnya dengan berpuasa sebelum merias. ”Biarkan kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa perkawinan adalah kegembiraan.”
Semua ini, untunglah hanya terjadi pada bulan Desember.




Bagikan

Jangan lewatkan

Sosiologi Sastra : Aspek Sosial Dalam cerpen “Bulan Desember”
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.