Teori-teori
Kebenaran
1. Teori
Kebenaran Korespondensi
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth)
memandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu
dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia
adalah Jakarta”. Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory
of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui,
diterima dan diakui sebagai benar.
Teori Korespondensi (Correspondence
Theory of Truth) Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan
bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta
atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu
proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan
apa adanya.
Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris
pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling
awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori korespondensi adalah:
a.
Teori
korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana
mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu
pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang
benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
b.
Teori
korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita
harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
c.
Kelemahan
teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang
cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori
kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek
yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya
objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam
pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.
2. Kriteria Kebenaran
Korespondensi
Teori ini juga dapat
diartikan, bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian dengan fakta, keselarasan
dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual. Sebagai contoh, jika
seorang menyatakan bahwa "Kuala lumpur adalah Ibu Kota Negara
Malaysia", pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut berkoresponden
, memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia. Sekiranya ada orang yang menyatakan
bahwa "Ibu Kota Malaysia adalah Kelantan", maka pernyataan itu tidak
benar, karena objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut.
3. Teori Kebenaran Koherensi
Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth) Teori kebenaran
koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau
konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif
dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan
ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah
percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya
dan kecepatan dalam fisika.
Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory
of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui,
diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu
berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau
pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Dengan demikian suatu putusan
dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan
lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya.
Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini
derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua
manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.”
“Sukarno adalah ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah
puteri Sukarno”.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang
teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu
idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat
dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan
dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga
tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi
dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka
tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi
tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara
luas dibandingkan teori korespondensi. Teori ini punya banyak kelemahan dan
mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren,
tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk
oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara
pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah
benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita
terima dan kita ketahui kebenarannya.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya
dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun
diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan
mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas
teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan
merupakan suatu sistem yang konsisten. Salah satu dasar teori ini adalah
hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya.
Proposisi atau pernyataan adalah apa
yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal
berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak
dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau
pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor
kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh
jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan
pengaruh lingkungan.
Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi
sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam
kepribadiannya. Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a.
Pernyataan
yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong
kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis
tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku
mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah
sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya
dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang
berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap
salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b.
sama
halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya,
kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua
pernyataan yang benar.
4. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth) Teori
kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi
oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya
suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori
tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic
Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme
dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility),
kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus,
1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi
hidup praktis dalam kehidupan manusia.
Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat
dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory
consequencies). Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar
dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi,
kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan
manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN, prinsip kepraktisan
(practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing Fakultas.
Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas
lainnya.
Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab
pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau
dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice.
We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis,
kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik; yang menjadi
justifikasi dari segala tindakan kita; dan yang meningkatkan suatu kesuksesan
adalah kebenaran.
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun
putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum
pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu
bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna
(useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena
istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini
tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang
benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan
kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik
dari keseluruhan teori.
Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan
ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian.
Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan
itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar,
sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan
ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan,
demikian seterusnya.
1.
Teori Kebenaran Struktural Paradegmatik
Teori ini banyak
dikembangkan oleh beberapa ilmuan antaranya adalah Thoams Kuhn. Khun
menampilkan konsep rekontruksirasional. Khun mensinyalir kebanyakn ilmuan hanya
menampilkan ilmu pada dataran moziak saja, belum menjangkau dataran rekontruksi
rasional menjadi suatu pradigma. Menurut khun pradigma tersebut ada
beberapa hal, yaitu:
a. Meningkatkan
kesesuaian antara observasi dengan pradigma
b. Memperluas skopa
pradigma menjadi mencakup fenomena tambanahan
c. Menetapakn nilai
universal konstan
d. Merumuskan hukum
kuantitatif untuk menyempurnakan pradigma.
e. Menetapkan
alternatif cara menerapakan pradigma pada telaah baru.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan
nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok
meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.
Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan
nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan.
Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang
diterima dalam hukum tak tertulis. Pengujian suatu paradigma terjadi setelah
adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan
krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang
bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap
suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena
hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami
verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip
dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah
pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar
paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan
masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman
riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang
kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan
metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan
pemecahan berbagai masalah.
2.
Teori
kebenaran Performatik
Teori ini dianut
oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para filsuf ini
hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang
hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar berarti proposisi
itu menyatakan sesuatu yang
memang dianggap benar. Menurut
teori ini, suatu pernyataan dianggap
benar jika iamenciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah
pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu
tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Sederhananya teori kebenaran performatif adalah mereka melawan teori klasik
bahwa benar dan salah adalah ungkapan deskriptif jika suatu pernyatan benar
kalau ia menerapkan realitas. Contoh
pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa
atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti
fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa
rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat.
Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang
berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh
lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori
heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja.
Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang
diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam
fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,
adat yang stabil dan sebagainya. Masyarakat yang mengikuti kebenaran
performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang
inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat,
kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar
keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari
kebenaran.
Bagikan
Teori-teori Kebenaran : kebenaran Korespondensi, Koherensi, Pragmatis, dan Sturktur paradigmatis
4/
5
Oleh
ATLET.COM