Saturday 15 October 2016

TEORI SASTRA STRUKTURALISME DALAM KARYA SASTRA PUISI

 


II.  PEMBAHASAN

Dalam pembahasan bab ini, penulis akan memaparkan sekaligus memberikan mengenai teori sastra, teori sastra strukturalisme, deep structure(struktur dalam)surface structure(struktur permukaan), intrinsic ekstrinsik, metode puisi, hakikat puisi, dan struktur lahir – struktur batin. Makalah ini merupakan sebuah makalah yang menggambarkan tentang teori sastra strukturalisme dalam karya sastra. Hal tersebut akan diuraikan dalam bahasan berikut ini.

2.1Pengertian Teori Sastra

Pengertian Teori Sastra Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari sudut pandang tertentu.Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala yang diamati tersebut.
Menurut Rene Wellek dan Austin (1993: 37-46) dalam wilayah sastra perlu terlebih dahulu ditarik perbedaan antara sastra di satu pihak dengan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra di pihak lain. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif.Sedangkan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra.Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra.Sedangkan studi terhadap karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra.Ketiganya berkaitan erat sekali.Tidak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra (Wellek & Warren, 1993: 39).
Jan van Luxemburg dkk.(1986) menggunakan istilah ilmu sastra dengan pengertian yang mirip dengan pandangan Wellek & Warren mengenai teori sastra.Menurut mereka, ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat.Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra secara umum dan sistematis.Teori sastra merumuskan kaidah-kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum. Ruang Lingkup Ruang lingkup sastra (literature) adalah kreativitas penciptaan, sedangkan ruang lingkup studi sastra (literary studies) adalah ilmu dengan sastra sebagai tiga  objeknya. Sastra, dengan demikian berfokus pada kreativitas, sedangkan studi sastra berfokus pada ilmu.Pertanggungjawaban studi sastra adalah logika ilmiah.Karena ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan, maka karya sastra (puisi, drama, novel, cerpen) adalah sastra. Namun, karena kritik sastra juga merupakan kreativitas dalam menanggapi karya sastra dan masalah kreativitas penciptaan lain dalam sastra, maka kritik sastra dalam bentuk esai tidak lain adalah sastra juga.
Kritik sastra yang benar bukanlah kritik sastra yang asal-asalan, tetapi berlandaskan pada logika yang dapat dipertanggungjawabkan.Apakah dasar kritik sastra hanya akal sehat semata atau teori sastra tertentu bukan masalah, selama logika dalam kritik sastra itu memenuhi kriteria logika dalam arti yang sebenarnya.Logika sebagai sebuah ilmu, sementara itu adalah metode dan prinsip untuk membedakan antara pemikiran yang baik (benar) dan pemikiran yang jelek (tidak benar).Makna sastra dan studi sastra dengan demikian dapat bertumpang-tindih.Cabang Studi Sastra Dalam studi sastra ada tiga cabang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.Teori sastra adalah kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisis karya sastra.Kritik sastra adalah penerapan kaidah-kaidah tertentu dalam analisis karya sastra.Sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra.Tiga cabang tersebut saling terkait dan semuanya bersumber pada sastra, khususnya karya sastra sendiri.Karya sastra adalah (karya) seni.Karena itu, tiga cabang studi sastra itu bersifat seni pula.
Teori sastra adalah teori yang mengenai karya sastra yang bersifat seni sastra.Kritik sastra adalah kritik terhadap karya sastra yang bersifat seni sastra.Sejarah sastra adalah sejarah sastra yang bersifat seni sastra pula.Sementara itu, teori sastra kadang-kadang pula dinamakan critical theory karena untuk melakukan kritik sastra dengan menerapkan teori sastra, seseorang dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Lima Cabang Studi Sastra Kecuali tiga genre yang sudah disebutkan tadi, studi sastra juga memiliki lima cabang sastra, yaitu: 1. Sastra umum 2. Sastra nasional 3.Sastra regional 4.Sastra dunia 5.Sastra bandingan Lima pembagian studi sastra di atas mencakupi tiga cabang studi sastra, yakni teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Setiap macam studi sastra yang lima tersebut dengan demikian dapat dikaji dengan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Atau dengan kata lain, teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra dapat diterapkan pada sastra umum, sastra nasional, sastra regional, sastra dunia, dan sastra bandingan.
a. Sastra Umum Sastra pada umumnya tidak dikaitkan dengan bangsa, negara, atau wilayah geografi tertentu. Karena tidak terkait dengan bagsa, negara, atau wilayah geografi tertentu, sastra umum berkaitan dengan gerakan-gerakan internasional, sebagai mana misalnya poetics dan teori sastra.Poeetics Aristoteles dan teori sastra strukturalisme, misalnya, menyebar ke seluruh dunia dan diaplikasikan juga di seluruh dunia.Sastra umum, dengan demikian, kadang-kadang juga dinamakan sastra universal, yaitu sastra yang nilai-nilainya ada dan dapat diterapkan di seluruh dunia.Sastra umum, sekali lagi, juga dapat bermakna poetics dan teori sastra.Makna teori sastra sudah jelas, yaitu kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam karya sastra. Poetics atau puitika adalah ilmu mengenai: (1) Keberhasilan sastrawan dalammenciptakan karya sastra. Sastrawan yang mampu menulis karya sastra yang baik memiliki kemampuan puitik yang tinggi, sedangkan yang tidak mampu menulis karya sastra yang baik, kemampuan puitikanya rendah.5  (2) Keberhasilan pembaca dalam menghayati karya sastra. Pembaca yang mampu menghayati karya sastra dengan baik adalah pembaca yang kemampuan puitikanya tinggi , sebaliknya, yang tidak mampu menghayati karya sastra yang baik adalah pembaca yang kemampuan puitikanya rendah.
b. Sastra Nasional Yaitu sastra bangsa atau negara tertentu, misalnya sastra Indonesia, sastra Arab, sastra Inggris, sastra Cina, sastra Perancis, dan lain-lain. Tempat seorang sastrawan dalam konteks sastra nasional pada umumnya tidak ditentukan oleh bahasa karya sastra sang sastrawan, tetapi oleh kewarganegaraannya. Sastrawan Singapura yang menulis dalam bahasa Inggris adalah sastrawan nasional Singapura, dan sastrawan Indoa yang menulis dalam bahasa Inggris adalah juga sastrawan sastra India.Sementara itu, sastrawan berkebangsaan Amerika yang menulis dalam bahasa Yiddish, seperti Isaac Bashevis Singer, juga dianggap sastrawan sastra Amerika.
c. Sastra Regional Sastra dari kawasan geofrafi tertentu yang mencakup beberapa negara, baik yang mempergunakan bahasa yang sama maupun yang mempergunakan bahasa yang berbeda, seperti sastra ASEAN (sastra negara-negara anggota ASEAN), sastra nusantara (sastra berbahasa melayu, Indonesia, Malaysia, Singapura), sastra Arab (yang mencakupi negara-negara di kawasan teluk dan timur tengah).
d. Sastra Dunia Sastra yang reputasi pada sastrawannya dan karya-karyanya diakui secara internasional. Sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai karya sastra besar dan diakui secara internasional manakala karya sastra itu ditulis dengan bahasa yang baik, dan dengan matlamat untuk menaikkan harkat 6  dan derajat manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Pemikiran mengenai sastra dunia sangat mempengaruhi konsep sastra bandingan, khususnya pada tahap-tahap awal.Istilah sastra dunia awalnya dipakai oleh Johann Wolgang von Goethe (1749-1832), seorang sastrawan dan pemikir Jerman.Dia sangat menguasai karya-karya besar sastra dalam bahasa aslinya, khususnya bahasa Inggris, Perancis, dan Itali. Perhatiannya kepada dunia Timur juga sangat besar, antara lain pada dunia Islam dan Cina.
e. Sastra Bandingan Sastra bandingan pada awalnya datang dari studi bandingan ilmu pengetahuan, kemudian diikuti oleh lahirnya studi bandingan agama. Setelah studi bandingan agama lahir, lahir pulalah sastra bandingan.Karena itu, sastra bandingan relatif masih muda, sebelum abad kesembilan belas, tam tampak adanya sastra bandingan.Istilah sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa ketika batas berbagai negara di Eropa mengalami perubahan, dan karena itu menimbulkan pemikiran mengenai kebudayaan nasional dan sastra nasional.Apalagi, pada waktu itu perhatian orang-orang Eropa terhadap Amerika mencapai tahap-tahap yang penting.Masalah kebudayaan nasional, jati diri bangsa, dan sastra nasional juga muncul di negara-negara bekas jajahan.Sementara itu, untuk memahami diri sendiri seseorang perlu menengok ke luar dan membandingkan dirinya dengan keadaan di luar dirinya.Karena itu, tumbuhlag sastra bandingan yang membandingkan karya-karya bekas jajahan dengan bekas penjajah dan juga antara sesama negara yang pernah dijajah.
2.2Teori Sastra Strukturalisme
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern.Termasuk ke dalam kelompok ini beberapa teoritisi formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190).
Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup penajang dan berkembang secara dinamis.Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.Misalnya, strukturalisme di Perancistidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika.Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure.Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).
Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modern melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa.Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adlaah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di 20  mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik.Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara laus.Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Pengaruh teori strukturalisme bahasa terhadap teori sastra terutama dikembangkan oleh Lingkaran Praha.Mula-mula Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik.Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap.Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial. Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.Tugas peneliti sastra adalah mengembalikan pola yang menyimpang ini kepada bentuk yang dapat dikenal pembaca.Penyimpangan bahasa ini hanya dapat diamati secara struktural, yakni dalam jaringan relasi oposisi.Selain itu peneliti sastra mengamati pula evolusi literer dalam suatu lingkungan tradisi tertentu untuk melihat penyimpangan-penyimpangan norma-norma sastra yang memunculkan fungsi estetik yang baru.
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks.Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting.Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra.Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural.Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom.Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya).Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspekaspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Penerapan atau Contoh Analisis:
CINTAKU JAUH DI PULAU
                                          Karya: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
Di leher kukalungkan ole-ole buat sipacar,
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak akan sampai padanya.
Di air yang terang, di angin yang mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata:
‘Tujukan perahu ke pangkuanku saja’
Amboi ! Jangan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

ANALISIS:
Dari sajak diatas mengemukakan usaha si aku yang akan mencapai cita yang diidam-idamkan, yang dikisahkan sebagai gadis manis (pacarnya) yang berada di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan berjalan dengan baik, perjalanan lancar: bulan memancar, perahu melancar, dan angin membantu bertiup dari buritan, namun si aku merasa bahwa ia tak akan dapat mencapai gadis manis pacarnya yang dicita-citakan itu. Hal ini diseabkan oleh perasaan bahwa ajal akan lebih dahulu mencekamnya. Dengan demikian, meskipun segala usaha yang menghabiskan tenaga dan memakan waktu bertahun-tahun itu, akan sia-sia saja. Ini merupakan ketragisan hidup dan nasib manusia.

Dalam sajak ini ada koherensi atau pertautan yang erat antara unsure-unsurnya, satuan-satuan bermaknanya.Ada kesatuan imaji. Imaji percintaan: cintaku, gadis manis, si pacar, ole-ole. Sesuai dengan itu suasananya romantik: laut terang, perahu melancar, bulan memencar, dan kata kerja: berpelukan (dengan cintaku). Latarnya laut, maka objek-objeknya: perahu melancar, bulan memencar, angin membantu, laut terang, air yang terang, angin mendayu. Di tengah laut luas yang penuh bahaya, kehadiran maut (ajal) itu sangat terasa dan perjalanan laut yang jauh memerlukan waktu bertahun. Sedangkan dalam pemilihan kata dan bunyi memiliki keterkaitan yang sangat kuat makna. Terdapat aliterasi yang runtut: melancar, memancar, si pacar, serta ulangan bunyi/dalam: melancar, bulan, leher, ole-ole, kukalungkan, semua itu member intensitas arti/makna romantis, menyenangkan, berjalan dengan tanpa halangan dalam bait kedua. Begitu juga dalam bait ketiga dan keempat, suasana yang berkebalikan dengan bait kedua, yaitu suasana murung, sedih, dan putus asa, maknanya diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan (yang sesuai untuk mengungkapkan kesedihan), lebih-lebih dalam kata-kata: mendayu, penghabisan, melaju, ajal bertahta, bertahun kutempuh, perahu merapuh, ajal memanggil dulu, sebelum sempat berpeluk dengan cintaku. Jadi, antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puitisnya.

Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Roman Jakobson(1978:356) bahwa fungsi puitik itu memproyeksikan prinsip ekuivalen dari poros pemilihan (parataksis) ke poros kombinasi (sintaksis). Antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat, ide, dan temanya diekuivalensikan dan disusun dalam sebuah struktur yang kompak.

Dalam puisi tersebut terjadi ketragisan oleh pertentangan antara keadaan yang baik dengan kecemasan akan kegagalan, antara lajunya usaha dan panggilan maut, serta antara usaha yang menguras tenaga bertahun-tahun dengan peralatan yang menjadi habis (perahu merapuh) dan maut yang menjemput sebelum berhasil, semua itu dipaparkan dengan paradoks dan antitesis antara baris ke-1, 2 dengan baris ke-3, 4 dalam tiap-tiap bait. Pertentangan itu secara formal ditandai dengan sajak akhir yang berbeda, baris-baris yang bersajak akhir sama menyatukan isi pikiran yang sama yang dipertentangkan dengan kelompok lainnya. Bait ke-2, baris ke-1,2: memancar – si pacar dipertentangkan dengan baris ke-3, 4: terasa – padanya. Bait ke-3, baris ke-1, 2: mendayu – melaju dipertentangkan dengan baris ke-3,4: berkata – saja; Bait ke-4, baris ke-1, 2 kutempuh – merapuh dipertentangkan dengan baris ke-3, 4: dulu – cintaku. Dengan demikian, keteragisan itu kian mencekam dari bait ke bait yang mengklimaks pada bait keempat, sedangkan bait kelima merupakan anti klimaks yang membuat orang lebih berkontemplasi akan kegagalan yang tragis, yang membuat putus asa.

Hubungan antara bait yang satu dengan lainnya sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama, memberi gambaran bahwa cita-cita itu begitu menariknya, dikiaskan dengan gambaran bahwa cita-cita itu begitu menariknya, dikiaskan dengan gambaran “gadis manis”, namun masih belum menjadi kenyataan, dikiaskan berada di sebuah pulau yang jauh. Bait kedua menggambarkan usaha si aku dengan naik perahu di laut yang terang dan bulan yang terang penuh romantik, namun si aku merasa tak akan dapat mencapai cita-cita yang menggairahkan itu. Ini diperjelas dengan bait ketiga yang menggambarkan bahwa segala jalan sudah lurus lancar, namun terasa maut memanggil. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang menggambarkan kegagalan si aku yang erasa pasti tidak dapat mencapai gadisnya yang diidamkan-idamkan karena maut telah menjemput lebih dahulu. Bait kelima menggambarkan keputusan si aku yang  cita-citanya tebengkelai dan sia-sia saja. Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, ketrgisan hidup si aku (manusia) itu begitu jelas dan mengerikan.Tiap-tiap bait hanya bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya.Tidak ada bait satu pun yang dapat dicopot atau dihilangkan atau di balikan. Semua menyatakan bahwa sejak tersebut koherensinya sangat erat.
2.2.1Deep structure(Struktur dalam)Surface structure(Struktur permukaan)
Struktur dalam dan struktur permukaan, meskipun bentuk-bentuk disingkat kadang-kadang digunakan dengan arti yang berbeda adalah konsep yang digunakan dalam linguistik, khususnya dalam studi sintaks dalam Chomsky tradisi tata bahasa generatif transformasional.
Struktur dalam dari bahasa ekspresi adalah membangun teori yang berusaha untuk menyatukan beberapa struktur terkait. Sebagai contoh, kalimat "Pat mencintai Chris" dan "Chris dicintai oleh Pat" berarti kira-kira hal yang sama dan menggunakan kata-kata yang sama. Beberapa ahli bahasa, Chomsky khususnya, telah mencoba untuk menjelaskan kesamaan ini dengan positing bahwa dua kalimat ini adalah bentuk-bentuk permukaan yang berbeda yang berasal dari umum atau sangat miripstruktur dalam.
Dalam sintaksis transformasional awal, struktur-struktur dalam adalah pohonderivasi dari bahasa bebas konteks. Pohon-pohon ini kemudian diubah oleh urutan pohon menulis ulang operasi ("transformasi") ke dalam struktur permukaan.  dari pohon struktur permukaan, bentuk permukaan, kemudian diprediksi akan menjadi kalimat gramatikal bahasa yang sedang dipelajari. Peran dan pentingnya struktur dalam berubah banyak seperti Chomsky mengembangkan teorinya, dan sejak pertengahan 1990-an struktur dalam tidak lagi memiliki sama sekali.
Hal ini menggoda untuk menganggap struktur dalam mewakili makna dan struktur permukaan sebagai mewakili kalimat yang mengungkapkan mereka makna, tapi ini bukan konsep struktur dalam disukai oleh Chomsky. Sebaliknya, kalimat yang lebih erat sesuai dengan struktur dalam dipasangkan dengan struktur permukaan yang berasal dari itu, dengan tambahan bentuk fonetis yang diperoleh dari pengolahan struktur permukaan. Telah berbagai menyarankan bahwa penafsiran kalimat ditentukan oleh struktur mendalam saja, dengan kombinasi struktur dalam dan permukaannya, atau dengan beberapa tingkat lain dari representasi sama sekali (bentuk logis), sebagaimana didalilkan pada tahun 1977 oleh Chomsky mahasiswa Robert May. Chomsky mungkin memiliki sementara dihibur pertama dari ide-ide ini di awal 1960-an, tapi dengan cepat pindah dari itu untuk yang kedua, dan akhirnya ketiga. Sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, semantik generatif gerakan memasang pertahanan yang kuat dari opsi pertama, memicu perdebatan sengit.
Chomsky mencatat di awal tahun yang dengan membagi struktur dalam dari struktur permukaan, orang bisa memahami "secarik lidah" ​​saat (dimana seseorang mengatakan sesuatu yang ia tidak berniat) sebagai contoh di mana struktur-struktur dalam tidak diterjemahkan ke dalam struktur permukaan dimaksudkan. 


2.2.2 Intrinsik – Ekstrinsik
a. Unsur Intrinsik dalam karya sastra
1. Tema, adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah atau pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya.
2. Amanat, adalah kesan dan pesan yang dapat memberi tambahan masukan pengetahuan, pendidikan, yang bisa bermakna dalam hidup, juga memberikan hiburan, kepuasan dan kekayaan batin didalam hidup kita.
3.Plot atau Alur, adalah suatu jalan cerita yang menceritakan rangkaian peristiwa dari awal hingga akhir cerita.
Tahap-Tahap Alur:
1. Tahap Perkenalan atau Ekposisi
, ialah tahap permualaan cerita yang dimulai dengan suatu kejadian, tapi belum ada ketegangan bisa di artikan perkenalan para tokoh, penggambaran tempat, fisik pelaku, dan reaksi antar pelaku.
2. Tahap pertentangan atau konflik, ialah tahap dimana mulai terjadi pertentangan antara pelaku-pelaku, bisa juga disebut titik pijak untuk menuju kepertentangan selanjutnya.

Konflik sendiri ada 2, yaitu :
- Konflik Internal
, adalah konflik yang terjadi pada diri tokoh itu sendiri.
- Konflik Eksternal
, adalah konflik yang terjadi diluar tokoh, seperti konflik tokoh dengan tokoh, konflik tokoh dengan tuhan, konflik tokoh dengan lingkungan, konflik tokoh dengan alam, dll.

3. Tahap penanjakan konflik atau komplikasi. , ialah tahap dimana ketegangan mulai berkembang dan terasa rumit, bisa diartikan nasib tokoh sulit ditebak dan samar-samar.

4. Tahap Klimaks, ialah dimana tahap ketegangan mulai memuncak dan nasib pelaku mulai dapat diduga dan kadang dugaan itu tidak terbukti diakhir cerita.

5. Tahap Penyelesaian, ialah tahap dari akhir cerita, pada bagian ini berisi tentang penjelasan nasib-nasib tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Ada juga penyelesaiannya yang diserahkan kepada pembaca, jadi akhir ceritanya tanpa penyelesaian dan menggantung.

Macam-Macam Alur :
1. Alur Maju, adalah suatu peristiwa yang diutarakan dari awal hingga akhir, atau masa kini hingga masa depan.
2. Alur Mundur atau Sorot Balik atau Flash Back
, adalah rangkaian peristiwa yang menjadi penutup atau diutarankan terlebih dahulu atau masa kini, baru menceritakan kenangan masa lalu dari salah satu tokoh.
3 Alur Campuran
, adalah rangkaian peristiwa pokok yang diutarakan.Dalam mengutarakan peristiwa pokok pembaca diajak mengenang masa lampau, kemudian mengenang peristiwa pokok yang sedang dialami tokoh utama.



4. Perwatakan atau Penokohan
Bagaimana cara mengarang melukis watak tokoh, ada 3 cara untuk melukiskan watak tokoh:
1. Analitik, Artinya si pengarang langsung menceritakan watak tokohnya.
Contoh :Siapa yang tidak mengenal sosok pak rian orangnya yang pintar, lucu, baik
hati dan periang. Postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi melengkapi sosok
guru yang diidolakan murid-muridnya.

2. Dramatik, Artinya si pengarang melukiskan watak tokohnya secara tidak langsung. Bisa melalui lingkungan, tempat tinggal, dialog antar tokoh atau percakapan, tingkah laku, atau fisik, perbuatan, jalan pikiran, dan komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu
Contoh :Begitu Putri memasuki kamarnya, Pelajar kelas 3 SMP itu langsung
melemparkan tasnya dan langsung langsung berbaring ditempat tidurnya tanpa
melepas sepatunya terlebih dahulu. (tingkah laku tokoh)

3. Campuran, ialah gabungan antara analitik dan dramatik. Pelaku dalam ceritanya dapat berupa benda-benda mati, binatang, dan manusia yang diinsankan.

Pelaku atau tokoh dalam cerita :
a. Pelaku Utama
, ialah pelaku yang memegang peran utama dalam sebuah cerita dan selalu hadir disetiap kejadian.
b. Pelaku Pembantu
, ialah pelaku yang berfungsi untuk membantu pelaku utama dalam subuah cerita. Bisa sebagai penantang utama, bisa juga sebagai pahlawan.
c. Pelaku Protagonis, ialah pelaku yang membawa watak tertentu yang membawa ide kebenaran (setia, jujur, baik hari dll)
d. Pelaku Antagonis
, ialah pelaku yang menjadi penentang pelaku protogonis (pembohong, penipu dll)
e. Pelaku Tritagonis
, ialah tokoh yang biasanya muncul sebagai tokoh ketiga dalam sebuah cerita atau bisa juga disebut tokoh penengah.

5. Latar atau Setting, ialah seatu keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita. ada 3 jenis latar, yaitu :
a. Latar Tempat
, adalah dimana tempat pelaku berada dan cerita terjadi (dirumah, sekolah, kota, perkantoran dll)
b. Latar Waktu
, ialah kapan cerita itu terjadi (pagi, siang, malam, sore, kamarin, besok, dll)
c. Latar suasana
, ialah bagaimana keadaan yang terjadi dalam sebuah cerita (gembira, sedih, damai, sepi, dll)

6. Sudut Pandang Pengarang, ialah suatu posisi atau kedudukan pengarang dalam dalam sebuah cerita. Sudut pandang dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Sudut Pandang orang kesatu
, artinya pengarang sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam sebuah cerita, terutama sebagai pelaku utamanya (saya, aku, kata ganti orang pertama jamak: kita, kami)
2. Sudut Pandang orang ketiga, adalah pengarang berada diluar cerita, ia hanya menuturkan tokoh-tokoh dilua, dan tidak terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya (dia, ia mereka, kata ganti orang ketiga jamak, nama-nama lain).

b. Unsur Ekstrinsik dalam karya sastra
Unsur yang membangun karya sastra dari luar.Unsur - unsur ekstrinsik meliputi:
1. Latar Belakang Penciptaan, ialah kapan sastra itu diciptakan
2. Kondisi pada saat karya sastra diciptakan, ialah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, budaya, sosial, politik pada saat karya itu diciptakan.

2.2.3   Metode Puisi

Metode Puisi:
1.    Metode Penulisan Puisi
-            Menentukan tema puisi yang akan ditulis
-            Memilih kata-kata yang tepat atau yang sesuai, yang dapat mewakili perasaan
pengarang
-            Menggunakan atau memilih gaya bahasa yang akan digunakan sehingga puisi
tersebut akan menjasi indah dan enak untuk dinikmati
-            Menentukan pengimajian puisi
-            Menentukan bentuk tipografi dan lain-lain
-            Perbaikan atau revisi


2.    Metode Membaca Puisi

Suwignyo (2005) mengemukakan bahwa bentuk dan gaya baca puisi dapat dibedakan mejadi tiga, yaitu (1) bentuk dan gaya baca puisi secara poetry reading, (2) bentuk dan gaya baca puisi secara deklamatoris, dan (3) bentuk dan gaya baca puisi secara teaterikal.

-       Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Poetry Reading

Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi ini adalah diperkenankannya pembaca membawa teks puisi. Adapaun posisi dalam bentuk dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan (1) berdiri, (2) duduk, dan (3) berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui gerakan badan, kepala, wajah, dan tangan. Intonasi baca seperti keras lemah, cepat lambat, tinggi rendah dilakukan dengan cara sederhana. Bentuk dan gaya baca puisi ini relatif mudah dilakukan.

Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi duduk, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan kepala: mengenadah, menunduk menoleh, (2) gerakan raut wajah: mengerutkan dahi, mengangkat alis, (3) gerakan mata: membelakak, meredup, memejam, (4) gerakan bibir: tersenyum, mengatup, melongo, dan (5) gerakan tangan, bahu, dan badan, dilakukan seperlunya. Sedangkan intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca puisi duduk, berdiri, dan bergerak, maka yang harus dilakukan pada posisi duduk adalah (1) memilih sikap duduk dengan santai, (2) arah dan pandangan mata dilakukan secara bervariasi, dan (3) melakukan gerakan tangan dilakuakan dengan seperlunya. Sedang yang dilakukan pada saat berdiri adalah (1) mengambil sikap santai, (2) gerakan tangan, gerakan bahu, dan posisi berdiri dilakukan dengan bebas, dan (3) ekspresi wajah: kerutan dahi, gerakan mata, senyuman dilakukan dengan wajar. Yang dilakukan pada saat bergerak adalah (1) melakukan dengan tenang dan terkendali, dan (2) menghindari gerakan-gerakan yang berlebihan. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.

-       Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Deklamatoris

Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi seacra deklamatoris adalah lepasnya teks
puisi dari pembaca. Jadi, sebelum mendeklamasikan puisi, teks puisi harus
dihapalkan. Bentuk dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan posisi (1) berdiri,
(2) duduk, dan (3) berdiri, duduk, dan bergerak.Jika deklamator memilih bentuk dan
gaya baca dengan posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan
gerakan tangan: mengepal, menunjuk, mengangkat kedua tangan, (2) gerakan
gerakan kepala: melihat ke bawah, atas, samping kanan, samping kiri, serong, (3)
gerakan-gerakan mata: membelalak, meredup, memejam, (4) gerakan-gerakan bibir:
tersenyumm, mengatup, melongo, (5) gerakan-gerakan tangan, bahu, badan, dan raut
muka dilakukan dengan total. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca
dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, (3)
membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.Jika deklamator memilih bentuk dangaya dengan posisi duduk, berdiri, danbergerak, maka yang dilakukan pada posisi duduk adalah (1) memilih posisi duduk dengan santai, kaki agak ditekuk, posisi mriing dan badan agak membungkuk, Dan (2) arah dan pandangan mata dilakukan bervariasi: menatap dan menunduk. Sedang yang dilakukan pada posisi berdiri (1) mengambil sikap tegak dengan wajah menengadah, tangan menunjuk, dan (2) wajah berseri-seri dan bibir tersenyum.Yang dilakukan pada saat bergerak (1) melakukan dengan tenang dan bertenaga, dan (2) kaki dilangkahkan dengan pelan dan tidak tergesa-gesa. Intonasi dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.

-       Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Teaterikal

Ciri khas bentuk dan gaya baca puisi teaterikal bertumpu pada totalitas ekspresi,pemakaian unsur pendukung, misal kostum, properti, setting, musik, dll., meskipun masih terikat oleh teks puisi/tidak. Bentuk dan gaya baca puisi secara teaterikal lebih rumit daripada poetry reading maupun deklamatoris. Puisi yang sederhana apabila dibawakan dengan ekspresi akan sangat memesona.Ekspresi jiwa puisi ditampakkan pada perubahan tatapan mata dan sosot mata.Gerakan kepala, bahu, tangan, kaki, dan badan harus dimaksimalkan.Potensi teks puisi dan potensi diri pembaca puisi harus disinergikan.Pembaca dapat menggunakan efek-efek bunyi seperti dengung, gumam, dan sengau diekspresikan dengan total.Lakuan-lakukan pembaca seperti menunduk, mengangkat tangan, membungkuk, berjongkok, dan berdiri bebas diekspresikan sesuai dengan motivasi dalam puisi.Aktualisasi jiwa puisi harus menyatu dengan aktualisasi diri pembaca.Inilah bentuk dari gaya baca puisi yang paling menantang untuk dilakukan.






2.2.4   Hakikat Puisi

Apakah hakikat puisi itu? Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk formal itu penting. Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Puisi baru (modern) tidak terikat pada bentuk formal, tetapi disebut puisi juga. Hal ini disebabkan di dalam puisi modern terkandung hakikat puisi ini, yang tidak berupa sajak (persamaan bunyi), jumlah baris, ataupun jumlah kata tiap barisnya.

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi. Pertama adalah sifat seni atau fungsi seni, kedua yaitu kepadatan, dan ketiga adalah ekpresi tidak langsung.

a.Fungsi Estetik
Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Menurut Rene, Wellek, dan Warren dalam Pradopo (2009: 315) mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetiknya dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra. Puisi sebagai karya sastra, maka fungsi estetiknya dominan dan di dalamnya ada unsur-unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasanya. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek kepuitisannya (Pradopo, 1994: 47). Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus, untuk mendapatkan efek tertentu itu. Semua itu merupakan aspek estetika atau aspek keindahan puisi.

b. Kepadatan
Pada penciptaan sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua itu diceritakan. Yang dikemukakan dalam puisi hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Yang dikemukakan dalam puisi adalah esensi sesuatu. Jadi, puisi itu merupakan ekspresi esensi. Karena puisi itu mampat dan padat, maka penyair memilih kata dengan akurat (Altenbernd dalam Pradopo, 2009: 316).

c.  Ekspresi yang Tidak Langsung
Puisi itu sepanjang zaman selalu berubah. Riffaterre dalam Pradopo (2009: 316) mengemukakan bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep estetik. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan sesuatu tidak secara langsung. Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.

Hubungan antara hakikat dan metode puisi, bila kita renungkan dengan seksama tentang hakikat dan metode puisi maka yang akan tergambar dibenak kita adalah keduanya akan saling bergantung satu sama lain, keduanya tidak bisa dipisahkan lagi, seumpama tubuh dan jiwa. Menurut Alton C. Morris (dalam tarigan, 1984:41) menyatakan bahwa hakikat puisi dan metode puisi saling bergantung, saling berhubungan satu sama lain, sehingga yang satu tidak dapat dipikirkan tanpa yang saunya lagi

2.2.5 Struktur lahir – Struktur batin

1. Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi yang bersifat fisik atau nampak dalam bentuk susunan kata-katanya. Struktur fisik puisi terdiri dari beberapa macam, yaitu:
(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. 

(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

(6) Verifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum.
- Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima mencakup:
1.    Onomatope adalah kata tiruan bunyi, msl "kokok" merupakan tiruan bunyi ayam, "cicit" merupakan tiruan bunyi tikus.
2.    Bentuk intern pola bunyi yang terdiri dari aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi (kata), dan sebagainya.
3.    Pengulangan kata/ungkapan.
-       Ritma (ritme; irama) adalah alunan yg terjadi krn perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dl arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan, dan tinggi rendah nada; ritme
-       Metrum adalah ukuran irama yg ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dl setiap baris; pergantian naik turun suara secara teratur, dng pembagian suku kata yg ditentukan oleh golongan sintaksis
2. Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi adalah unsur pembangun puisi yang tidak tampak langsung dalam penulisan kata-katanya. Struktur batin puisi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(1) Tema/makna (sense)
Tema adalah pokok pikiran; dasar cerita (yg dipercakapkan, dipakai sbg dasar mengarang, menggubah/mengarang sajak, dsb). Media puisi adalah bahasa. Maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

(2) Rasa (feeling)

Rasa yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.



(3) Nada (tone)

Nada yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

(4) Amanat/tujuan/maksud (itention)

Amanat adalah gagasan yg mendasari karya sastra; pesan yg ingin disampaikan pengarang kpd pembaca atau pendengar. Sadar ataupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya..
Contoh Analisis Puisi Berdasarkan Struktur Fisik dan Struktur Batin:
ANJANGSANA
Oleh: Murdani Tulqadri
Sebuah rindu…
Rindu begitu renjana…
Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana

Bersarang di pojok-pojok jiwa
Balig bahkan sudah tua
Renta dan begitu sengasara karena cinta

Hanya ada sebuah penawar
Bagi sengsara yang juga konsekuensi desir rasa
Anjangsana ianya

Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!
Hanya sebuah anjangsana
Lalu… hilang sudah duduk perkara

Ketika paras-paras telah saling berhadapan
Pucuk-pucuk rindu mulai layu
Berganti bianglala di langit-langit hati

Saling berceloteh mengumbar kasih…
Air muka lalu menjadi begitu suci
Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati

Hanya sebuah anjangsana
Lalu… sudah hilang semua perkara
Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati



28 Oktober 2012
1.      Analisis Struktur Fisik

Secara sepintas lalu dapat kita rasakan bahwa puisi di atas mempunyai kepaduan dan harmoni antara struktur fisik dan struktur batin.Puisi “Anjangsana” cukup mudah dipahami bahasanya.Bahasa yang digunakan penyair dalam puisinya sebenar cukup jelas.Namun diksi-diksi yang digunakan penyair adalah diksi yang tidak biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung memiliki nilai estetis.Ini dipertegas lagi dengan pelukisan-pelukisan keadaan dalam puisi tersebut yang dilakukan oleh penyair yang menambah nilai keindahan puisi tersebut.

Diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada muram (pada saat mengambarkan kerinduan) dan cerah (ketika kerinduan mulai terobati dengan anjangsana). Diksi tentang kemuraman itu seperti: rindu, renjana, renta, dan sengsara yang hampir semuanya dipantulkan kepada perasaan di hati. Kata-kata tersebut jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan diksi tentang kecerahan tersebut seperti: penawar,anjangsana, bianglala, kasih, suci, bahagia, musim semi, dan rona merah yang juga berhubungan dengan gambaran hati yang bahagia.sebagian kata-kata tersebut jarang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena bernada muram dan cerah, maka keterangan kalimat ditempatkan hampir di setiap baris sebagai penggambaran makna puisi. Sebagai bukti:
            Sebuah rindu… …………………………………………………………………………(keterangan keadaan)
            Rindu begitu renjana…………………………………………………………………(keterangan keadaan)
            Bersarang di pojok-pojok jiwa…………………………………………………..(keterangan tempat)
            Lalu… …………………………………………………………………………………….(keterangan waktu)
            Hingga musim semi…………………………………………………………………..(keterangan waktu)


Kata-kata yang digunakan penyair juga menimbulkan sugesti pada pembaca.Penggunaan kata-kata dengan vokal akhir /a/ menyugesti pembaca untuk merasakan kerinduaan yang dirasakan oleh penyair. Sebagai contoh:
            Rindu begitu renjana…
            Kepada sang kekasih bergelar sanak di sudut kota sana
            Bersarang di pojok-pojok jiwa
            Balig bahkan sudah tua
            Renta dan begitu sengasara karena cinta


Penggunaan perumpamaan yang dilakukan penyair juga menimbulkan daya sugesti sepertibersarang, pojok-pojok jiwa, renta, dan sengsara juga menimbulkan daya sugesti.Diksi-diksi tersebut pun juga menggambarkan keadaan rindu yang dialami oleh penyair. Sejauh yang kita ketahui, penggunaan dan perpaduan diksi dalam puisi “Anjangsana” adalah khas ciptaan penyair dan bukan merupakan jiplakan dari ciptaan penyair lain.  Daya sugesti yang diciptakan oleh ungkapan-ungkapan tersebut juga cukup besar. Dengan demikian, puisi tersebut memantulkan kerinduan dan kebahagian—ketika rindu telah terobati dengan anjangsana—yang diungkapkan dengan gaya khas Murdani Tulqadri.

Pengimajian dan kata kongkret yang digunakan oleh penyair tidak memperkabur makna puisi yang hendak disampaikan. Perasaan rindu penyair diperkonkret dengan pernyataan berikut:
            Sebuah rindu/ Rindu begitu renjana/ Bersarang di pojok-pojok jiwa/Balig bahkan sudah    tua/ Renta dan begitu sengasara karena cinta.


Kata kongkrit tersebut menimbulkan pengimajian dalam bayangan pikiran pembaca.Perasaan rindu penyair dilukiskan begitu dalam dan mencekam.Bagaimana bayangan kita apabila rindu tersebut sudah menjadi renjana?penyair telah merasakan rindu yang begitu dalam, sangat dalam dan menutup perasaan itu dengan syair: Renta dan begitu sengasara karena cinta.

Kemudian penyair menggambarkan bahwa sebuah pertemuan lewat lawatannya kepada orang yang dirindukan.Ia menggambarkannya imaji visual tersebut dengan larik seperti: Ketika paras-paras telah saling berhadapan. Dan begitu gembiranya penyair hingga menyusun larik indah berbunyi: Pucuk-pucuk rindu mulai layu/ Berganti bianglala di langit-langit hati. Selain itu, penulis juga memasukkan imaji auditif sehingga pembaca seolah mendengar bunyi tersebut. Imaji tersebut seperti pada baris: Saling berceloteh mengumbar kasih. Namun, penulis lebih banyak memasukkan unsur visual ke dalam puisinya seperti: Lalu… sudah hilang semua perkara/ Hingga musim semi yang dinanti… tiba… melukis rona merah di hati. Dengan larik-larik tersebut, penyair seakan-akan menginginkan pembaca untuk merasakan apa yang dirasakan olehnya dengan visualisasi. Penyair ingin kita merasakan rindu seperti yang ia gambarkan. Penyair pun menginginkan kita merasakan kebahagian ketika bertemu dengan orang yang kita cintai.

Bahasa figuratif yang digunakan oleh penyair tidak terlalu sulit untuk dimengerti pembaca dan tidak mengganggu pemahaman makna puisi. Ungkapan-ungkapan yang digunakan Murdani Tulqadri begitu segar dan bernilai estetis yang tinggi dan digambarkan dengan kiasan-kiasan yang menghidupkan suasana. Lambang-lambang yang digunakan tidak mencontoh penyair sebelumnya dan diungkapkan secara hidup serta tidak mengganggu keharmonisan komposisi puisinya.

Kata “renta” mengambarkan bahwa kerinduan penyair telah lama ia pendam dan menyisakan sengsara berkepanjangan apabila ia tidak diobati segera. Kata “bianglala” melukiskan kebahagiaan yang dirasakan oleh penyair apabila ia bertemu dengan orang yang ia kasihi yang bagai bianglala begitu indah di angkasa. Begitu pula dengan “rona merah” yang berarti kecerahan hati penyair apabila bahagia.Gaya bahasa hiperbola kita jumpai pada kalimat “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati” dan kalimat pelukisan lainnya yang ternyata mampu memberikan gambaran yang tepat tentang kebahagiaan penyair.


Versifikasi dalam puisi ini mengitu pola puisi komporer. Walaupun sebagaian besar mengikuti pola syair (puisi lama) yaitu a-a-a, namun ia tidak termasuk puisi lama karena struktur lainnya tidak sama. Bait pertama, kedua, empat, dan enam memilki pola a-a-a. sedangkan bait ketiga memiliki pola b-a-a, bait kelima memiliki pola a-b-c, dan bait ketujuh memiliki pola a-a-b. Pola rima akhir pada tiap-tiap bait tersebut memang ada yang sama namun tak sedikit yang berbeda hingga puisi di atas tidak digolongkan sebagi puisi lama.

Ritma puisi berupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama digunakan frasa /sebuah ridu/; pada bait kedua digunakan kata /gerimis/; pada bait ketiga digunakan kata /hanya/; pada bait keempat digunakan kata ekspresi /Ah/; pada bait kelima digunakan kata /ketika/; pada bait keenam digunakan kata /saling/; dan pada bait ketujuh digunakan kata /hanya/. Setiap bait puisi itu diikat dengan kata pengikat sehingga pada permulaan bait seakan muncul sebuah gelombang irama baru.

Tipografi puisi “Anjangsana” adalah tipografi puisi kontemporer.Adanya titik dan tanda seru di tengah dan akhir baris menunjukkan bahwa gagasan pada suatu baris dilanjutkan dengan baris berikutnya. Gagasan-gagasan yang beruntun dikumukakan dalam satu baris, misalnya:
Ah, ini bukan persoalan mengapa dan siapa!/Saling berceloteh mengumbar kasih…/Air     muka lalu menjadi begitu suci/Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati

Struktur sintaktik tiap-tiap bait mudah ditelaah karena mirip puisi-puisi dengan tipografi konvensional. Kesatuan gagasan pada tiap bait itu dibentuk oleh kesatuan baris-baris yang membentuk struktur sintaksis. Bait pertama dan bait kedua melukiskan kedalaman rindu yang dirasakan oleh penyair. Bait ketiga menggambarkan obat rindu yang harus dilakukan oleh penyair. Bait keempat hingga ketujuh menggambarkan rasa bahagia penyair apabila terobati rasa rindunya.

2.    Analisis Struktur Batin

Secara sepintas telah diinterprestasikan tema puisi ini, yakni tema kerinduan terhadap keluarga.Kerinduaan hati penyair sangat dalam.Hal ini dapat dibuktikan setelah kita menelaah struktur bahasa penyair.Diksi, pemgimajian, kata kongkrit, majas, dan struktur sintaksis dari puisi ini mendukung kerinduan penyair yang mendalam.Dengan demikian, interprestasi tentang tema itu dapat dibenarkan.

Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu mambahas bait demi bait. Perasaan sedih karena kerinduan dan bahagia apabila bertemu dengan orang yang dicintai begitu jelas digambarkan oleh penyair hingga membuat pembaca ikut merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Kerinduan itu digambarkan begitu dalam dan telah lama berada di dalam hati sang penyair. Begitulah rindu penyair kepada keluarganya. Kemudian penyair menggambarkan pula kebahagian yang akan ia rasakan tatkala bertemu dengan keluarganya yang begitu amat bahagia. Rasa rindu kemudian berganti bahagia seperti yang penyair sebut dalam puisinya yang berbunyi “Kemuning bahagia bersandar di dipan-dipan hati”.

Nada dan Suasana puisi ini adalah nada dan suasana bercerita dengan mengungkapkan perasaan sedih dan bahagianya.Penyair menceritakan kerinduannya disertai pelukisan rasa yang begitu jelas, bahwa rindu itu telah membuatnya menderita berkepanjangan. Penyair pun menceritakan kebahagian yang akan memupuskan kerinduan dan penderitaan tersebut, bahwa raut wajahnya akan kembali cerah, bersemangat, dan rasa senang akan selalu menghiasi hatinya.

Amanat puisi menyatakan bahwa penyair ingin mengungkapkan rasa rindunya yang begitu dalam yang menyebabkan ia menderita dan juga penyair ingin menceritakan rasa bahagianya yang begitu indah apabila telah bertemu dengan orang yang dirindukannya. Kerinduan itu dapat membuat orang menderita dan dapat mengacaukan hal yang kita perbuat.Namun, obat rindu ialah menemui orang yang dirindukan. Dengan begitu, maka rindu akan berubah menjadi rasa bahagia yang selalu menghiasi hati dan berbagi kasih dengan orang yang dirindukan.
2.3 Implikasi Strukturalisme dalam Pembelajaran Sastra
Dalam strukturalisme bahwa sastra merupakan suatu konstruk yang dapat dianalisis dan bukannya produk inspirasi yang keramat.Strukturalisme membuat sebuah mekanisme sastra yang aksesibel bagi semuanya, termasuk bagi para siswa.Konvensi literer atau kode dapat dibuat eksplisit dan dapat dipikirkan.Semua siswa sudah dapat menginternalisasikan banyak kode dan oleh tanda itu, mereka memiliki kompetensi literer yang potensial. Akan tetapi, yang mereka miliki sering tidak dimanfaatkan karena mereka tidak tahu bahwa mereka memilikinya, atau tidak tahu cara menggunakanya. Sebab sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk membantunya agar mereka menyadari hal itu. Di samping itu, kita juga bertanggung jawab untuk mengajari mereka sesuatu yang lain, sehingga mereka dapat mengendalikan dan menggunakanya guna mencapai tujuan-tujuan mereka dalam membaca dan menulis.
Pengajaran kita seharusnyabertujuan memberikan kepada siswa suatu penguasaan keterampilan dan konvensi-konvensi membaca dan menulis, dan bukanya mengajarkan eksplisikasi  teks khusus secara autoritatif. Penyususn cerita dan puisi sendiri, membuat siswa lebih sadar bahwa puisi dan cerita orang lain merupakan konstruk,produk pilihan dan mekanisme linguistik yang dimanipulasikan untuk mencapai tujuan-tujuan penulisnya.


Dalam strukturalisme bahwa realitas bukanlah sesuatu yang diberikan melalui refleksi bahasa, melainkan dihasilkan oleh bahasa, strukturalisme  menghancurkan mitos mengenai  teks sastra kaum realis-ekspresif, yaqitu mitos bahawa teks sastra merupakan jendela kebenaran.Walaupun demikian,penolakan terhadap realitas dan intensi-intensi manusia di luar bahasa merupakan sesuatu yang bersifat reduktif dan over-deterministic.

Bagikan

Jangan lewatkan

TEORI SASTRA STRUKTURALISME DALAM KARYA SASTRA PUISI
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.