Saturday 15 October 2016

STILISTIKA (Bahasa dan Kreativitas - Bentuk dan Makna - Diksi - Struktur Sintaktik - Licentia Poetica – Majas - Ambiguitas - Transformasi )

BAB I
PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Pradopo (2002:3) puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya, salah stunya adalah dari aspek bentuk dan makna. Bentuk dan makna bahasa sastra sebagai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memeroleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan bentuk style ‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra. Hal ini bertujuan agar bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra sebagai fungsi estetis yang dominan. Bentuk bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Abrams, 1981: 172). Sebagai medium karya sastra, bahasa berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra. Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa adalah cara penuturan yang bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131).
Sebagai sebuah media ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bentuk dan makna bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif.
Secara rinci, bentuk dan makna bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional artinya bentuk dan makna bahasa sastra megandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim, manasuka atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosisasi-asosiasi, konotatif artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25), bergaya (berjiwa) merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk
menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40), dan ketidaklangsungan ekspresi.
Menurut Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing of meaning) dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia, penyimpangan arti (distorting of meaning) disebabkan oleh adanya pemakaian: ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense, dan penciptaan arti (creating of meaning) yaitu pengorganisasian teks.
Penggunaan medium bentuk dan makna bahasa sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh seluruh kehidupan manusia. Karya sastra dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi kehidupan manusia. Ia tidak hanya mencakup satu unsur peradaban dan kebudayaan, tetapi seluruh unsur yang menyertai peran manusia di dunia sebagai pelaku dalam peradaban tersebut.





1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah Stilistika: bahasa dan kreativitas, bentuk dan makna , diksi,  struktur sintaktik  - licentia poetica ,  majas,  ambiguitas  dan transformasi
.
1.3. Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode studi pustaka dalam penyusunan makalah. Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah. Selain itu, sumber lain seperti internet juga dipakai penulis untuk memperkuat sumber yang sudah ada.

1.4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, yaitu BAB I PENDAHULUAN yang berisi: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Metode Penulisan, serta Sistematika Penulisan, Tujuan Penulisan, BAB II PEMBAHASAN yang berisi: dan BAB III PENUTUP yang berisi: Iktisar.

1.5  Tujuan Penulisan

Tujuannya dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan Tinjauan Bentuk dan Makna  Dari Ranah Bahasa, Tinjauan Stilistika..






BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Bahasa dan Kreativitas

Bahasa adalah medium karya sastra. Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap penulis memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya serta gaya bahasa untuk menghasilkan efek- efek tertentu bagi pembacanya. Secara menyeluruh kajian stilistika berperan untuk membantu menganalisis dan memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra.
Istilah tentang stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
Stilistika (Stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian beriut adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. (Nyoman Kuntha Ratna, 2009 : 3)
Dalam beberapa kamus umum dan istilah pengertian stilistika itu sama atau hampir bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1988:859), stilistika, ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Dewan (1996:1305), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Stilistik:
1) Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara berkesan dalam penulisan.
2) Berkaitan dengan stail atau gaya, terutama gaya bahasa penulisan.
Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990:79) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra, Zaidan dkk (1994:194) menuliskan stilistika ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dalam Leksikon Sastra, Yusuf (1995:277) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, perpaduan ilmu linguistik dan sastra. Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika adalah sebagai berikut: (1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan. (2) Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa:
1) Stilistika adalah ilmu interdisipliner linguistik dengan sastra.
2) Stilistika adalah ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra.
3) Stilistika adalah ilmu gaya bahasa yang digunakan dalam wacana sastra.
4) Stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.
Sebagai ilmu interdisipliner stilistika dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Disiplin                                    Linguistik                                Studi Sastra
Stilistika 
 



Subjek                                     Bahasa                                     Sastra

( Diadaptasi dari Widdowson (1985:4) dalam sumber http://usupress.usu.ac.id).

Berdasarkan gambar diatas bahwa bahasa dan sastra saling berhubungan. Hubungan antara bahasa dan sastra merupakan kunci untuk memahami baik bahasa maupun sastra. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahasa adalah medium utama karya sastra. Tidak ada karya sastra tanpa bahasa. Mempelajari sastra pada dasarnya sama dengan mempelajari ilmu bahasa sebab menurut Wellek dan Warren (1989:221) yang diteliti adalah perbedaan sistem bahasa karya sastra dengan sistem bahasa pada zamannya. Sebaliknya bahasa juga seharusnya memanfaatkan sasra dalam rangka mengembangkan ilmu bahasa itu sendiri. Dari karya sastra bahasa dieksploitasi sedemikian rupa dengan berbagai kemungkinan sehingga sangat bebeda dari bahasa sehari-hari. Berbagai kemungkinan tersebut nantinya dapat menambah objek kajian bahasa.
Hubungan keterkaitan antara bahasa dan sastra tersebut menempatkan stilistika menjadi jembatan untuk memahami bahasa dan sastra sekaligus. Menurut Lotman (dalam Kutha Ratna 2008: 153) menerangkan adanya fungsi bahasa dan sastra, pada hakekatnya bahasa merupakan system model pertama (Primary modeling Syistem, PMS),sedangkan sastra merupakan system model kedua (Secondary modeling system, SMS). Sebagai system model pertama bahasa lebih banyak mengacu pada logika, sastra lebih banyak mengacu pada estetika.
Dalam berlogika bahasa harus mengikuti kaidah atau tata bahasa yang benar. Sedangkan dalam karya sastra posisi kaidah dan tata bahasa tersebut menempati posisi sekunder yang mengikuti system model kedua. Hal tersebut juga berkaitan dengan fungsi bahasa menurut Roman Jacobson yaitu bahasa memiliki fungsi puitik artinya bahasa dapat dipergunaan untuk keindahan. Karya sastra mengutamakan kualitas estetis yang sangat mengutamakan keindahan bahasa. Oleh karena itulah dimungkinkan adanya kebebasan penyair  tetapi sangat jarang adanya kebebasan linguis. Hal ini disebabkan karena bahasa didominasi oleh kualitas intelektualitas sedangkan sastra oleh kualitas emosionalitas.
2.1.1        Proses Kreatif dalam melahirkan kreativitas
Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta dan berkreasi. Pengarang memiliki kreativitas dengan melewati sebuah proses kreatif. Peranan pengarang sebagai pencipta, hubungan antara pengarang dengan karya sastra, penulisan itu sendiri sebagai rangkaian proses kreatif, dan proses produksinya kepada masyarakat luas secara keseluruhan. Pengarang menciptakan karya dan pengaranglah yang merupakan asal usul karya sastra. Pemikiran pengaranglah mengalir lewat tulisan- tulisan karyanya.
Barthes (dalam Kutha Ratna 2008: 95) membedakan empat fungsi dalam kaitannya dengan proses menulis, yaitu: a) scriptor, yaitu orang yang menyalin secara murni, b) compilator, orang yang mengumpulkan dan menambahkan hal-hal tertentu, c) commentator,orang yang memberikan pengantar agar sebuah teks lebih mudah untuk dipahami, dan d) auctor orang yang menyajikan gagasan-gagasannya sendiri tetapi atas dasar otoritas orang lain.
Secara etimologis author (Inggris), auteur (Perancis) berasal dari augere (Latin) berarti menumbuhkan atau menghasilkan. Bahasa sastra dengan demikian adalah ciptaan pengarang yang digali dari aspek emosional terdalam. Dalam hubungan ini secara khusus peranan pengarang dibicarakan dalam kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa.
            Kreativitas pengarang dalam menciptakan karya sastra didorong dari lima faktor utama, yaitu: a) faktor psikologis, b) didaktis, c) faktor sosiologis, d) ekonomis, dan e)estetis. Secara genetis  kelima faktor tersebut dapatdibedakan menjadi tiga kelompok. Dua faktor pertama yaitu: faktor psikologis dan faktor didaktis berasal dari diri dalam pengarang sendiri. Sebagai seorang pengarang memiliki sifat berekspresi selain itu melibatkan unsur mendidik,mengajar, dan mempengaruhi.  Dan dua faktor berikutnya, yaitu: faktor sosiologis dan ekonomis banyak dipengaruhi dari luar berkaitan dengan keterlibatan pengarang dalam masyarakat. Khususnya dalam kaitan dengan globalisasi masyarakat kontemporer, faktor terakhir faktor estesis adalah bentuk pengungkapan, disamping melalui berbagai cara dan gaya, sehingga melahirkan unsure keindahan dalam karya sastra

2.2. Tinjauan Bentuk dan Makna

            Menurut Wijana (1998:1) secara garis besar elemen bahasa terdiri dari dua macam, pertama,elemen bentuk dan kedua, elemen makna atau untuk ringkasnya disebut bentuk dan makna. Bentuk adalah elemen fisik tuturan. Elemen fisik ini terdiri dari tataran terendah sampai tataran tertinggi bentuk yang diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Bunyi merupakan satuan bahasa terkecil, sedangkan wacana merupakan satuan bahasa terbesar. Didalam hirarki gramatikal satuan kebahasaan yang disebut wacana, menduduki tataran tertinggi yang perwujudannya dapat berupa karangan yang utuh seperti novel, buku, seri ensiklopedia.
            Di dalam pertuturan tindak bahasa, beberapa bentuk kebahasaan, seperti bunyi dan suku kata hadir tidak berdiri sendiri, melainkan selalu bersama bunyi atau suku kata yang lainnya. Hannya saja, untuk kepentingan analisis bahasa didalam studi fonetik atau fonologi unsur-unsur ini dipisahkan dari lingkungan atau unsur yang berbeda didekatnya.
            Bentuk-bentuk kebahasaan yang berwujud bunyi, suku kata, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana adalah unsur kebahasaan yang dipisah-pisahkan atau disegmentasikan. Oleh karenanya, unsur-unsur ini disebut unsur segmental. Selain unsur ini terdapat juga unsur yang tak dapat dipisahkan, yakni unsur suprasegmental. Unsur-unsur suprasegmental terdiri dari keras lemahnya suara (tekanan), tinggi rendahnya suara (nada), panjang pendeknya ucapan (durasi), dan jarak waktu pengucapan (jeda). Variasi keempat unsur suprasegmental didalam tuturan seseorang disebut intonasi. Di dalam bahasa tulis unsur-unsur suprasegmental dikenal dengan tanda baca, seperti koma (,), titik(.), dsb. Bagaimanapun lengkapnya kaidah tata tulis sebuah bahasa, kaidah-kaidah itu tidak akan mampu menggambarkan keseluruhan variasi unsur-unsur segmental bahasa lisan.
Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan makna yang dinyatakannya. Menurut ayah ilmu bahasa moderen Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa, hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbiter dan konvnsional. Sifat arbiter mengandung pengertian tidak ada hubungan kausal, logis, alamiah, ataupun historis antara bentuk dan makna itu. Sementara itu, sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama.

2.2.1 Tinjauan Struktur Bentuk Fisik Puisi
Puisi sebagai sebuah karya seni sastra yang dapat dikaji dari bermacam-macam aspek bentuknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang terbentuk dari bermacam-macam unsur bentuk dan makna kepuitisan. Adapun struktur bentuk fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
a.  Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
b. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka bentuk kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
c.  Imaji, yaitu bentuk kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair. Dalam menulis sebuah puisi, biasanya penyair tidak hanya menggunakan kata-kata yang bermakna lugas atau denotatif, tatapi menggunakan kata-kata yang bermakna atau mengandung arti lain atau konotatif. Dalam hubungannya dengan  arti konotatif, imaji dan simbol mempunyai hubungan. Persamaanya adalah bahwa baik citra maupun simbol bermakna konotatif. Adapun perbedaannya  adalah terletak pada cara pengungkapannya.
d.  Kata kongkret, yaitu bentuk kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
e.  Bahasa figuratif, yaitu bentuk bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
f.  Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bentuk bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
2.2.3 Tinjauan Struktur Makna Puisi
Menurut Pateda (2010:79) istilah makna (meaning)merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Memahami makna puisi atau sajak tidaklah mudah, lebih-lebih pada waktu sekarang puisi makin kompleks dan aneh, Pradopo (2002:278). Jenis sastra puisi lain dengan jenis strata prosa. Prosa lebih mudah dipahami tampaknya dari pada puisi. Hal ini disebabkan oleh bahasa prosa itu merupakan ucapan biasa, sedangkan puisi merupakan ucapan yang tidak biasa. Biasa atau tidak biasa itu bila keduanya dihubungkan dengan tata bahasa normatif.
Pemaknaan puisi atau pemberian makna puisi ini berhubungan dengan teori sastra masa kini yang lebih memberikan perhatiannya kepada pembaca dari lainnya. Puisi itu merupakan suatu artefak yang baru akan mempubyai makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi, pemerian makna tersebut tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan kerangka semiotik (ilmu/sistem tanda). Puisi harus dipahami sebagai sistem tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Medium puisi adalah bahasa yang memiliki arti di dalam puisi. Oleh karena itu, bahasa disebut sebagai sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna bahasa disebut arti yang ditentukan oleh masyarakat pengguna bahasa. Oleh karena itu, untuk memberikan makna puisi haruslah diketahui konvensi puisi tersebut. Kemusian, untuk memahami secara utuh sebuah puisi, di samping harus memahami lapis bentuk/struktur, kita perlu juga pahami lapis makna puisi serta unsur ekstrinsik yang turut mendukung; seperti biografi pengarang, latar sosial, budaya, politik saat puisi dibuat, dan sebagainya. Yang termasuk lapis makna dalam puisi adalah:
a. Tema/sense adalah gagasan pokok yang diciptakan/dilukiskan oleh penyair melalui    puisinya.
b.  Perasaan/feeling adalah sikap penyair terhadap tema yang dikemukakan dalam puisinya.
c.  Nada dan suasana/tone adalah sikap penyair terhadap pembaca/ penikmat puisi.
d.  Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan oleh penyair. Amanat seringkali tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Seringkali  amanat ini tidak disadari penyair.

2.3. Diksi
Diksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa Departemen Pendidikan Indonesia adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).
Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya (Siswanto, 2013 :104). Puisi merupakan pengimajinasian dari bentukan perasaan dan pikiran yang terurai dalam kata-kata. Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Perhatikan puisi “Doa” karya Chairil nwar, salah satu bagiannya tertulis ; biar susah sungguh/ mengingat kau penuh seluruh. Dua baris tersebut tidak bisa diganti dengan biar sangat susah/ mengingat Tuhan dengan sepenuhnya atau dibalik susunannya menjadi susah sungguh biar/ penuh seluruh mengingat kau.
Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan penyair, semakin berbobot katakata yang digunakan. Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya. Hal tersebut harus menjadi perhatian yang tepat karaen kata-kata dalam puisi merupakan pengungkapan perasaan pengaran seperti marah, riang, cemas, khawatir, tegang, atau takut. Selain itu pemilihan kata juga berkaitan erat dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan simbolik, bermakna konotatif, aosiaif, dan sugestif.
Fungsi dari diksi antara lain :
  • Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis.
  • Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.
  • Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal.
  • Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Diksi terdiri dari delapan elemen yaitu : fonem, silabel, konjungsi, hubungan, kata benda, kata kerja, infleksi, dan uterans.
1.    Fonem
Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip kedengarannya. Dalam ilmu bahasa fonem itu ditulis di antara dua garis miring: /.../. Fonem apat mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku [...].
2.    Silabel
Silabel adalah unit pembentuk kata yang tersusun dari satu fenom atau urutan fenom. Sebagai contoh, kata mandi terdiri dari dua suku kata : man dan di. Silabel pun sering dianggap sebagi unit pembangun fonologis kata karena dapat mempengaruhi ritme dan artikulasi suatu kata.
3.    Konjungsi
Konjungsi / konjungtor / kata sambung adalah sebuah kata atau ungkapan yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat seperti kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, serta kalimat dengan kalimat
Contoh : Dan, atau, serta
4.    Nomina atau Kata Benda
Nomina adalah kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.
Kata benda dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.         Kata benda konkret untuk benda yang dapat dikenal dengan panca indera.
Conton: meja.
2.        Kata benda abstrak untuk benda yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal dengan pikiran.
Contoh: Cinta
Selain itu, jenis kata ini juga dapat dikelompokkan menjadi kata benda khusus atau nama diri dan kata benda umum atau nama jenis. Kata benda nama diri adalah kata benda yang mewakili suatu entitas tertentu, contohnya Jakarat dan Novi. Kata benda umum adalah sebaliknya, menjelaskan suatu kelas entitas, contohnya kota atau orang.
5.    Verba atau Kata Kerja
Verba adalah kelas kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Jenis kata ini biasanya menjadi predikat dalam suatu kalimat. Berdasarkan objeknya, kata kerja dapat dibagi menjadi dua:
1. Kata kerja transitif yang membutuhkan pelengkap atau objek seperti menendang (bola).
2. Kata kerja intransitif yang tidak membutuhkan pelengkap seperti lari.
6.    Infleksi
Infleksi adalah perubahan bentuk kata (dalam bahasa fleksi) yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal (seperti deklinasi nomina, pronomina, adjective, dan konjugasi verba
7.    Hubungan Makna
·      Sinonim : Persamaan arti
Sinonim merupakan kata-kata yang memiliki persamaan / kemiripan makna. Sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat.
·      Antonim : Lawan arti
Antonim merupakan ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna /ungkapan lain. Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
·      Homonim : Persamaan bentuk beda arti
Homonim berasal dari kata homo berarti sama dan nym berarti nama. Berarti homonim adalah kata yang penamaan dan pengucapannya sama tetapi artinya berbeda.
 Contoh:
 1. Saya bisa membeli rumah. (bisa berarti dapat dan bermakna denotasi)
 2.  Pamanku terkena bisa ular yang mematikan. (bisa artinya racun makna denotasi)
3. Rapat (berdempet-dempet) >< rapat (meeting)
4. Beruang (hewan) >< beruang (punya uang)
·      Homofon : Persamaan bunyi beda arti
Homofon terdiri atas kata homo yang berarti sama dan foni (phone) berarti bunyi atau suara. Berarti homofon adalah kata yang diucapkan sama tetapi berbeda dari segi maksud dan juga tulisan. Perkataan-perkataan yang homofon mungkin dieja dengan serupa atau berbeda, contoh :
1. Massa telah berkumpul di depan Istana Negara. (Massa/masyarakat)
2. Hidupnya senang sepanjang masa. (Masa/waktu)
Perkataan-perkataan diatas adalah serupa dari segi sebutan tetapi mempunyai arti yang berbeda, atau merujuk kepada perkara yang tidak sama. Homofon merupakan sejenis homonim, meskipun kadang-kala homonim digunakan untuk merujuk hanya kepada homofon yang mempunyai ejaan yang sama tetapi arti yang berlainan. Istilah ini juga digunakan untuk unit-unit yang lebih singkat daripada perkataan, seperti huruf atau beberapa huruf yang disebut sama dengan huruf lain atau kumpulan huruf yang lain. Homofon adalah istilah yang berlawanan dengan homograf.
·      Homograf : Persamaan bentuk beda arti
Homograf terdiri atas homo berarti sama dengan graf (graph) berarti tulisan. Jadi homograf adalah kata yang sama ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya. Contoh homograf antara lain adalah :
1. Buah apel ini enak sekali. (Apel maksudnya buah)
2. Anak-anak telah apel di lapangan tadi pagi. (Apel maksudnya kumpul)
·      Hiponim : Kata turunan dari kata lainnya
Hiponim Adalah suatu kata yang yang maknanya telah tercakup oleh kata yang lain, sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan. Contoh :
kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan, sebab makna tongkol termasuk makna ikan.
·      Polisemi :  Memiliki makna lebih dari satu
Polisemin dalah sebagai satuan bahasa (terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang
·      Hipernim : Kata turunan yang merupakan bagian dari kata lainnya.
Hipernim adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain. Kata hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Sedangkan hiponim adalah kata-kata yang terwakili artinya oleh kata hipernim. Umumnya kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim merupakan anggota dari kata hipernim.
8.    Uterans
Uterans merupakan sub elemen dari fungsionalitas Diksi, dan mempengaruhi Diksi berdasarkan kemampuan bahasa dengan kriteria penggunaan dan pemahaman yang jelas dan efektif.


2.4 Stuktur Sintaktik Puisi
Puisi adalah sebuah struktur, maksudnya adanya unsur-unsur yang menyusun struktur itu yang berhubungan satu dengan yang lain. Unsur puisi hanya mempunyai arti dalam hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dalam struktur dan keseluruhannya.
Unsur puisi adalah unsur fungsional. Artinya tiap unsur puisi mempunyai fungsi tertentu dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Misalnya  sebuah unsur berfungsi untuk memberi gambaran angan yang jelas dan konkret.
Kata sintaksis dari kata Yunani "syn" (bersama) dan "tax" (susun), menunjuk pada aransemen sistematis dan tertata dari elemen-elemen dan bagian-bagian. Pada tingkatan paling umum, elemen-elemen ini meliputi simbol (termasuk simbol matematis) yang disusun untuk menciptakan proposisi atau statemen. Simbol yang paling penting dalam sintaksis puitik adalah kata atau kumpulan kata, tetapi tanda baca, baris, stanza (bait/paragraf), skema metre dan pola rima juga berperan penting dalam susunan kata-kata yang menggerakkan pernyataan-pernyataan bermakna.
Sintaksis puitik sebagai suatu tatanan dapat diperbandingkan dengan tata bahasa. Versifikasi adalah sintaksis puitik. Jika gegabah orang bisa menghadap-hadapkan sintaksis puitik dengan lisensi puitik, sebagaimana mereka menghadap-hadapkan lisensi puitik dengan seni puitik, padahal lisensi puitik merupakan bagian dari seni puitik, lisensi puitik adalah pengembang dari seni puitik, tak ada lisensi puitik tanpa seni puitik, pun sebaliknya. Lisensi puitik bukanlah kengawuran, anti-seni puitik, lisensi puitik adalah pertanyaan terhadap seni puitik, pertanyaan terhadap tata bahasa, untuk melampaui seni puitik atau tata bahasa yang ada, mengembangkan seni puitik atau tata bahasa yang ada.
Struktur puisi adalah struktur yang kompleks. Artinya unsur-unsur puisi itu banyak dan saling jalin-menjalin. Luxemburg (1989) menjelaskan bahwa dalam sebuah sajak, kata-kata pertama-tama tunduk kepada struktur ritmik sebuah larik dan tidak kepada struktur sintaktik sebuah kalimat. Dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur sintaktik yang lain daripada struktur sintaktik dalam bahasa sehari-hari. Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibuat-buat, urutan kata dibalikkan demi rima atau metrum. Sama  halnya dengan aspek-aspek bentuk lainnya pola sintaktik dapat memunyai fungsi semantik.

Pola-pola sintaktik dapat dilihat sebagai: (a) kaidah-kaidah sintaktik bahasa diabaikan (infrastrukturasi), dan (b) pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan tambahan (suprastrukturasi).
            Inversi, mengubah urutan kata yang lazim, termasuk pola pertama. Dalam Jante Arkidan karangan Ajip Rosadi, kita menjumpai inversi, sebagaimana berikut ini

            Tajam tangannya lelancip gobang
            Berebahan tubuh-tubuh lelang dia terbang

Dengan menempatkan kata „tajam“ dan „berebahan“ di muka, maka efek semantik lebih menonjol. Dalam sajak yang sama, kita juga menemukan contoh-contoh suprastrukturasi, pola-pola tertentu diulang-ulang. Diperhatikan berikut ini.

            Di penjudian di peralatan
            Hanyalah satu jagoan
            Arkidam, Jante Arkidam

            Malam berudara tuba
            Jante merajai kegelapan
            Disibaknya rujibesi pegadean

            Malam berudara lembut
            Jante merajai kalangan ronggeng
            Ia menari, ia tertawa

Pola-pola gaya sintaktik hampir tak terbilang jumlahnya, disebut dan diuraikan terperinci dalam buku-buku pedoman tentang retorika. Pola-pola sintaktik tersebut memiliki efek semantik, yaitu kata-kata tertentu atau ungkapan-ungkapan tertentu lebih menonjol. Menentukan dengan tepat efek macam apa diakibatkan hanya dapat dilakukan berdasarkan konteks.
Sebagaimana telah disinggung bahwa penyair membuat inversi yaitu membalik susunan’subjek-predikat’ menjadi ‘predikat-subjek’ seperti halya “Sajak Putih” oleh Chairil Anwar, sebagaimana berikut ini.

Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak murka air kolam jiwa  

Susunan biasa: Di hitam matamu mawar dan melati (ber) kembang muka
                         Air kolam jiwa meriak

Selain hal tersebut, untuk mendapatkan kepadatan dan ekspresivitas, Chairil Anwar, membuat kalimat tidak biasa, entah karena penghilangan kata penghubung ataupun pembalikan susunan biasa, seperti berikut ini.

Hidup dan hidupku pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah... (”Sajak Putih”, Chairil Anwar)

Susunan yang biasa seperti berikut ini

Hidup dari hidupku (akan sebagai) pintu terbuka
Selama matamu menengadah bagiku
Selama darahmu mengalir dari luka
Antara kita tidak membelah (sampai) Kematian datang

Tentu saja bila disusun demikian itu, akan hilang ekspresivitanya.

            Sejalan dengan penjelasan Lexemburg, Pradopo (2005) menjelaskan faktor ketatabahasaan, bahwa penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada (Culler, 1977), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi puisi yang ada. Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Setiap penulis melaksanakan ”tandatangan” nya sendiri yang khusus dalam cara penggunaan bahasanya yang membedakannya dari karya penulis lain (Lodge, 1969). Dengan demikian, sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum.

Dalam puisi penyimpangan dari sistem tata bahasa normatif itu sering terjadi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan efek kepuitisan, untuk mendapatkan eksprevitas. Begitu juga penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif tidak lain hanya untuk mendapatkan kepuitisan atau efek puitis, yaitu untuk mendapatkan irama yang liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Chairil Anwar banyak membuat penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya. Penyimpangan itu berupa penyingkatan atau pemendekan kata, penghilangan imbuhan, penyimpangan struktur sintaksis.
      Banyak hal yang dilakukan oleh penyair untuk membuat pembeda dari keberadaan puisi yang ditulisnya dengan melakukan penyimpangan bahasa. Menurut Geofry (dalam Waluyo, 1987) ada Sembilan Jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi.
1.      Penyimpangan leksikal. Kata-kata yang digunakan menyimpang dari kata-kata yang diguanakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kata-kata mentari, pepintu, cerlang, menyera, ‘kan
2.      Penyimpangan semantik. Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pda makna ganda. Kata matahari mungkin bisa bermakna kehangatan cinta, bagi seorang penyair. Bagi penyair lain, matahari bisa bermakna kegersangan, kehiduan, penunjuk waktu  dan bukan seperti kata-kata sehari-hari yang member makna sebagai bintang dalam tata surya kita.
3.      Penyimpangan fonologis. Untuk kepntingan rima, penyair mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi “Perasaan Seni” karya J.E. Tatengkeng, kata menderu diganti menderuh.
4.      Penyimpangan morfologis. Penyir sering melanggar kaidah morfologis secara sengaja. Selain untuk keindahan bunyi, hal ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan kekhasan, keindividuan, dan kebaruan.
5.      Penyimpangan sintaksis. Kata-kata dalam puisi tidak membangun kalimat, tetapi membangun larik atau baris. Penyimpangan sintaksis digunakan untuk mencapai efek estetis dan untuk menekankan maksud.
6.      Penggunaan dialek. Untuk mengungkapkan makna yang diinginkan suasa dan perasaan yang sesuai, penyair sering menggunakan dialek.
7.      Penggunaan register. Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Pengguanaan regioster bisa menunjukkan darimana penyair itu berasal.
8.      Penyimpangan histois. Enyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang suda tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaanya seperti dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetik.
9.      Penyimpangan grafologis. Penyimpangan grafologis adalah peyimpangan sistem tulisan. Misalnya tidak digunakannya huruf besar dan titik.


2.5  Licentia Poetica
              Licentia Poetica atau poetic license (Ing) adalah kebebasan sastrawan, terutama penyair. Kebebasan itu diartikan sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada sastrawan untuk memanipulasi penggunaan bahasa untuk menimbulkan efek tertentu dalam karyanya.
Licentia poetica adalah kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki (Shawn 1972:291). Namun menurut Sudjiman terjemahan kata ‘kebebasan’ kurang tepat karena memili konotasi semau-maunya. Menurutnya lebih tepat jika dimaksudkan dengan kata ‘kewenangan’ yang bermakna ‘ ke-sa-han’
              Pada awalnya penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pembentuk efek-efek tertentu dalam karya sastra. Misalnya kemerduan bunyi, keselarasan sajak dan keseimbangan irama yang terbentuk dari susunan kata-kata dalam suatu kalimat. Efek-efek seperti ini akan menimbulkan kesan tertentu yang dapat mempengaruhi emosi pembaca sehingga pembaca akan terbawa cerita dan benar-benar meresapi cerita tersebut. Selain itu efek lain yang ditimbulkan oleh licentia poetica adalah mengundang rasa ingin tahu pembaca akan suatu karya akibat sang pembaca merasa karya tersebut unik dan berbeda dari karya lain.
              Pelanggaran aturan bahasa atas nama licentia poetica adalah suatu hal namun buta akan aturan penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah hal lain. kedua hal tersebut tak dapat dipadukan karena latar belakang permasalahan yang berbeda. Sebagai bangsa Indonesia yang baik kita tidak dilarang menciptakan karya sastra karena itu adalah salah satu wujud pelestarian seni berbahasa namun juga hendaknya pemahaman akan kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar tidak kita abaikan.
Menurut Atmazaki (1993:70--72) ada tiga faktor yang menjadi penyebab licentia poetica digunakan oleh penyair yaitu sebagai berikut.
            Pertama, pada dasarnya penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi dan intuisi daripada rasio, ilmu, dan ilmiah.
            Kedua, karena pengucapan puisi lebih pendek daripada pengucapan nonpuisi maka berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitiknya akan dihilangkan atau dibuang. Lihat saja misalnya puisi Chairil yang berjudul “Nisan”. Pada puisi tersebut Chairil menulis Bukan kematian benar menusuk kalbu. Setelah dianalisis oleh Oemarjati (1972:10--13) ternyata Chairil  membuang unsur se-nya pada benar dan yang  sebelum menusuk kalbu. Dengan demikian, larik tersebut seharusnya berbunyi (Sebenarnya) bukan kematian (yang) menusuk kalbu.
            Ketiga, sastrawan (penyair) adalah orang yang mampu menggunakan bahasa untuk tujuan tertentu. Kalau penyair bukan “penguasa” bahasa, tidak mungkin ia mampu memanipulasi bahasa untuk menghasilkan efek tertentu dalam puisinya.
            Walaupun penyair dapat memanipulasi bahasa, kebebasan untuk memanipulasi tersebut tetap terbatas. Karena, apapun bahasa yang digunakan penyair di dalam mengungkapkan pengalamannya ke dalam bentuk puisi akan tetap dapat dikembalikan kepada bahasa yang dapat dipahami oleh pembacanya.
Pada  dasarnya, sajak tetap  mematuhi kaidah tata bahasa karena media sajak adalah bahasa. Sebuah pemikiran atau pengalaman dalam  sajak tidak akan menjadi sesuatu yang utuh tanpa struktur bahasa yang tepat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, penyair sering melanggar kaidah atau struktur bahasa tersebut.
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang memungkinkan pelanggaran kaidah bahasa terjadi dalam sajak. Pertama, karena penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik lebih banyak berhubungan dengan emosi, intuisi, dan intelek daripada rasio, ilmu, dan ilmiah. Emosi dan intuisi adalah dunia bawah  sadar, seperti juga sajak. Sajak adalah pemunculan kembali dunia bawah sadar. Pengalaman puitik yang melandasinya biasanya muncul sekilas-kilas, maka penyair mengucapkannya dalam bentuk penggalan-penggalan pula. Oleh karena  itu, waktu mengucapkannya terciptalah komposisi bahasa yang hanya mementingkan unsur-unsur yang sangat diperlukan, gatra-gatra yang  terpisah-pisah, sehingga kelihatan tidak menghiraukan kaidah bahasa. Dikatakan kelihatan, karena penampilannya saja yang tidak menghiraukan kaidah bahasa, padahal sebenarnya unsur yang tidak mematuhi kaidah bahasa itu dapat dikembalikan kepada pengucapan yang sesuai dengan kaidah bahasa. Perhatikan susunan bahasa sajak Sutardji yang berjudul Amuk dibawah ini.
     (tubuh tak habis ditelan laut tak habis dimatahari
      luka tak habis dikoyak duka tak habis digelak
      langit tak habis dijejak burung tak habis di
      kepak erang tak sampai sudah malam tak sampai
      gapai itulah aku

      (Bachri,1981:74)
Sebenarnya pengucapan sajak diatas berasal dari:
a. Tubuh tak habis ditelan laut.
b. Laut tak habis di matahari.
c. Luka tak habis dikoyak duka.
d. Duka tak habis digelak langit.
e. Langit tak habis dijejak burung.
f.  Burung tak habis dikepak orang.
g. Erang tak sampai.
h. Tak sampai sudah malam.
i.  Malam tak sampai menggapai.
j.  Gapai itulah aku.
k. Itulah aku.
Kalimat a sampai k adalah kalimat-kalimat yang mematuhi kaidah bahasa. Akan tetapi, karena Sutardji mengucapkannya dalam bentuk sajak maka ia mengucapkannya tanpa – kelihatannya – mematuhi  kaidah bahasa.. Dan inilah alasan kedua, yaitu pengucapan sajak pendek daripada pengucapan non-sajak  dengan menghilangkan berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitik – penyulapan dan pengasingan.
Ketiga, kepiawaian penyair itu sendiri. Sastrawan adalah orang yang menguasai bahasa ‘author + ity’. Sastrawan adalah orang yang mampu memanipulasi penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu. Kalau ia bukan penguasa bahasa, tak mungkin ia  mampu memanipulasi bahasa untuk menghasilkan efek tertentu dalam sajaknya (Atmazaki,1988:41-2).
Walaupun diberikan kebebasan dalam menggunakan bahasa, penyair  tetap terbatas. Pelanggaran  tata bahasa hanya mungkin dilakukan kalau masih mungkin dikembalikan kepada struktur bahasa yang benar. Dengan kata lain, kalau pelanggaran itu  dapat disemantikkan. Jadi, kebebasan sastrawan adalah kebebasan terikat; kebebasan yang tidak sampai kepada taraf anarkisme: kebebasan tanpa tanggung jawab.
2.6 Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179). Nurgiyantoro (1995: 297) menyatakan bahwa permajasan adalah (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang terpendam didalam jiwanya. Dengan demukian gaya bahasa dapat membuat karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan. Majas ada bermacam-macam jenisnya, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkanya dengan sesuatu yang lain. Majas dibedakan menjadi empat golongan yaitu majas pertentangan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas perbandingan (Syarifudin, 2006: 18-28).
Sudjiman menyatakan bahwa pusat penelitian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian Sudjiman berkesimpulan bahwa style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, serta mantra.
Menurut Luxemburg gaya semantis mengacu pada makna kata, bagian kalimat, dan kalimat dan secara umum disebut majas. Majas yang terdapat dalam gaya semantis adalah majas pertentangan, majas identitas, dan majas kontiguitas.
1.      Majas Pertentangan
Dalam majas ini terdapat istilah antitesa atau majas yang disertai dengan paralelisme sintaksis, contohnya “ada waktu untuk datang, ada waktu untuk pergi” atau “…tapi itulah. Kalau mau Menang Kadang mesti kalah dulu…”.
2.      Majas Identitas
Majas identitas mencakup perumpamaan dan metafora yang membandingkan objek atau pengertian  dan menyamakannya secara semantis. Dalam proses metaforik terdapat beberapa bentuk seperti sinestesi dan personifikasi.
a.       Perumpamaan
Perumpamaan adalah perbandingan secara eksplisit antara dua obyek atau pengertian. Hal ini tampak dalam percakapan ini,
Ani : tunggu, titip aku uang ini untuk istrimu
Johan : tidak, terima kasih mbak. Istriku tidak suka makan daging manusia.
Di sini johan mengumpamakan uang pemberian ani merupakan uang suap sebagai daging manusia yang tidak pantas dimakan oleh sesama manusia beradab.
b.      Metafora
i) Bentuk metafora yang akan dibahas terlebih dahulu adalah penghilangan bagia harfiah sehingga makna yang tidak ditunjukkan dalam teks harus kita tentukan sendiri untuk memperoleh pemahaman yang baik. Misalnya :
akhir-akhir ini justru kamus semakin dingin kepadaku, kata ani kepada johan.
Bagian harfiah yang tidak ditunjukan pada kalimat tersebut adalah sikap johan terhadap ani yang semakin acuh tak acuh. Maka Ani menganggap Johan bersikap dingin padanya.
ii).  Ada pula bentuk metafora yang memiliki arti tetap yang sudah terserap ke dalam bahasa sehari-hari dengan bentuk yang hanya berupa satu kata atau ungkapan tetap, satu kalimat atau bagian kalimat.
“mungkin juga kalau Aris datang ke sekolah ia sering lupa waktu”
Kata-kata “lupa waktu” pada kalimat tersebut merupakan sebuah ungkapan tetap yang berarti sering telat ketika datang ke sekolah, melewati batas yang sewajarnya.
iii). Bentuk lain dari metafora dalam bidang semantik adalah sinestasi yang menunjukkan aspek dari indera yang satu dihubungkan dengan indera lain, “Suara yang hangat”, contoh lainnya adalah :
“kalau berpapasan di kantor, ia hanya tersenyum kecut, bahkan seperti menghindar dariku”
Di sini indera berupa penglihatan pada kata “senyum” dihubungkan dengan inedera pengecap berupa kata “kecut”.
“Aku sudah muak melihat permainan kalian yang semakin hari semakin buruk”.
Pada kalimat ini indera perasaan berupa “Muak” dihubungkan dengan indera penglihatan berupa kata “melihat”.
iv). Bentuk metafora yang banyak dijumpai adalah personifikasi di mana aspek arti dari sesuatu yang hidup dialihkan kepada sesuatu yang tidak bernyawa. Contohnya adalah :
“Aku merasa dikejar-kejar dosa”
“aku tahu praktek korupsi sedang menggerogoti bangsa ini”
Dosa adalah sesuatu yang tidak bernyawa, namun dinyatakan bisa mengejar seseorang. Praktek korupsi bukan sesuatu yang dapat bergerak namun dinyatakan menggerogoti.
3.      Majas Kontiguitas
Dalam majas kontiguitas terdapat pergantian satu pengertian dengan pengertian yang lain namun keduanya tidak memiliki hubungan persamaan melainkan hubungan kedekatan. Majas ini terbagi dalam dua bentuk metonimia dan sinekdok.
i). Metonimia
Dalam metonimia ada kaitan makna tertentu yang dapat didorong oleh berbagai motivasi, misalnya sebab digantikan akibat atau isi digantikan wadah. Contohnya adalah :
“Mungkin melihat saya menggigil dan berkeringat, ia rampas empat ikat dan langsung memasukkan ke dalam kemejanya”
Di sini kata “ikat” mewakili isinya, yaitu uang.
ii). Sinekdok
Dalam gaya kontiguitas ini hubungan kedekatan antara pengertian yang disebut dang pengertian yang digantikan berupa hubungan bagian dan keseluruhan. Dua bentuk yang terkenal dalam sinekdok adalah totum pro parte dan pars pro toto.
Totum pro parte adalah penyebutan keseluruhan menggantikan apa yang sebenarnya merupakan suatu bagian.
“Lagi pula jurusan Bahasa Inggris masih banyak yang dibutuhkan”
“kalau aku melanjutkan usaha beliau, apa kata dunia?”
Pada kalimat pertama terdapat penyebutan keseluruhan yaitu “jurusan Bahasa Inggris” yang menggantikan apa yang sesungguhnya merupakan suatu bagian yaitu para calon pegawai negeri. Sedangkan pada kalimat kedua terdapat penyebutan keseluruhan yaitu “dunia” yang menggantikan apa yang sesungguhnya merupakan suatu bagian yaitu orang-orang di sekitar sang tokoh.

2.7    Ambiguitas

2.7.1  Makna ambiguitas :
 1 sifat atau hal yang bermakna dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; 2 ketidaktentuan; ke-tidakjelasan; 3 kemungkinan adanya makna atau penafsiran yg lebih dr satu atas suatu karya sastra; 4 Ling kemungkinan adanya makna lebih dr satu dl sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat; ketaksaan (KBBI, 2007)
Ambigu / ambiguitas adalah kata atau kalimat yang mempunyai arti lebih darh satu atau bermakna ganda. Kalimat ambigu secara struktural atau ketatabahasaan sudah tepat, tetapi arti kalimat tersebut menimbulkan makna ganda atau lebih dari satu makna. Dalam bahasa lisan, penafsiran kalimat ambigu ini mungkin tidak akan terjadi karena adanya pembedaan didalam cara pengucapannya. Namun, dalam bahasa tulis ( dituliskan ) penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejakan tidak lengkap.
1.        Ambiguitas dalam sastra
Ambiguitas ini disebabkan oleh bahasa sastra itu bermakna ganda (polyinterpretable), apalagi di dalam puisi. Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Hal ini disebabkan oleh sifat puisi yang berupa pemadatan. Berikut contoh ambiguitas di dalam sebuah sajak pada puisi Chairil Anwar.

DOA

                 Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar

Dalam baris pertama terlihat bahwa si ”aku” masih /termangu/, atau ragu-ragu akan adanya Tuhan, tetapi si ”aku” masih menyebut-nyebut nama Tuhan. Pada bait kedua, meskipun si ”aku” merasa sangat /susah/ untuk menyebut nama Tuhan, tetapi si aku /masih menyebut/ nama-Nya, karena ia sadar bahwa Kau itu /penuh seluruh/. Klausa “Kau penuh seluruh”, mempunyai makna ganda, bisa dimaknakan: Engkau mutlak ada, Engkau maha sempurna adanya, keberadaan-Mu tidak dapat diingkari, Engkau sungguh-sungguh ada secara utuh.

2.        /Aku hilang bentuk/ /remuk/ dimaknakan bahwa si ”aku” sangat menderita, dan karena seakan si aku tidak berbentuk dan berwujud lagi. Dalam keadaan seperti itu pula si aku merasa bahwa dirinya seakan /mengembara di negeri asing/, terpencil dari yang lain. Dalam keadaan tidak berdaya, si ”aku” masih berusaha /mengetuk pintu/ Tuhannya yang maha Rohman. Karena itu juga, si aku /tidak bisa berpaling

llgertian dan Contoh Kalimat Ambigu - Ambigu atau ketaksaan adalah suatu bentuk konstruksi yang ditafsirkan memiliki makna lebih dari satu. Oleh karena itu, kalimat ambigu adalah kalimat yang memilliki makna ganda.

Berdasarkan bentuknya, keambiguitasan di dalam kalimat terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Ambiguitas Fonetik

Ambiguitas fonetik adalah keambiguan yang terjadi akibat dari kesamaan bunyi – bunyi yang diucapkan dan biasanya banyak terjadi dalam dialog atau percakapan sehari – hari.

Contoh:

Dia datang kemari memberi tahu.
Kalimat diatas menimbulkan keambiguan kareana memiliki banyak tafsir, yaitu:
Apakah dia datang memberi tahu yang terbuat dari kacang kedelai, atau
Apakah dia datang memberi suatu informasi.
Untuk mengetahui arti atau makna kalimat tersebut secara keseluruhan, maka harus mendengarkan pembicaraan secara utuh.

2. Ambiguitas Gramatikal

Ambiguitas gramatikal terjadi karena proses pembentukan suatu ketatabahasaan baik pembentukan kata, prasa, maupun kalimat. Kata – kata atau frasa yang memiliki keambiguitasan jenis ini akan hilang jika dimasukan ke dalam konteks kalimat.

Contoh:

Orang tua

Kata tersebut memiliki dua makna yaitu ibu dan bapak atau orang yang sudah tua. Oleh sebab itu untuk mengetahui makna yang sebenarnya perlu disatukan ke dalam satu kalimat.

a.Orang tua Deni tidak bisa hadir hari ini.
b. Aku bertemu dengan orang tua yang kemarin tersesat di jalanan.

3. Ambiguitas Leksikal

Keambiguan jenis ini terjadi karena faktor kata itu sendiri. Pada dasarnya setiap kata memiliki makna lebih dari satu tergantung dari kalimat yang menyertainya.

Contoh:

Kata “lari” memiliki makna yang berbeda yaitu mengerjar sesuatu atau menjauh dari sesuatu.
Dia berlari mengejar bus sekolahnya.
Aku lari dari kenyataan.

Faktor – faktor penyebab keambiguan:

1. Faktor Morfologi

Keambiguan yang terjadi akibat dari pembentukan kata itu sendiri:

Contoh:
Permen itu tertelan olehku.

a. Permen itu sengaja tertelan, atau
b. Permen itu akhirnya dapat ditelan.

2. Faktor Sintaksis

Faktor ini terjadi karena susunan kata di dalam kalimat yang kurang jelas.

Contoh: Gigit jari

Ani hanya bisa gigit jari melihat barang yang diinginkan tak bisa didapat.
Ani menggigit jarinya hingga berdarah.
Kata gigit jari di atas memiliki dua makna yaitu putus asa atau benar-benar menggigit jarinya.


Contoh :
1. Dia mengeluarkan uang dua puluh ribuan.
Kalimat / frasa diatas dapat berarti ganda. Artinya bisa menjadi :
1. Dua puluh / ribuan = dua puluh lembar uang ribuan.
2. Dua puluh ribuan = sata lembar uang dua puluh ribuan.
Untuk menghindari kebingungan atau kesalahan penafsiran , sebaiknya kalimat tersebut dilengkapi dengan tanda hubung ( – ) .
Contoh dengan penambahan tanda hubung maka jadinya :
Dia mengeluarkan uang dua puluh-ribuan atau Dia mengeluarkan uang dua-puluh ribuan.
Agar lebih jelas perhatikan contoh kalimat ambigu di bawah ini !
Kalimat : Mobil tetangga baru berwarna merah.
Pada kalimat di atas menimbulkan makna ganda pada frasa ” mobil tetangga baru ”, yaitu sebagai berikut.
1. Mobil / tetangga baru = yang baru adalah tetangga.
2. Mobil tetangga / baru = yang baru adalah mobil.
Agar tidak menimbulkan makna ganda, kalimat di atas dapat diubah menjadi : Mobil-tetangga baru itu berwarna merah atau Mobil tetangga-baru itu berwarna merah.
Ambiguitas selahn terjadi di dalam kalimat dapat pula terjadh antarkalimat.
Contoh :
1. Adi bersahabat dengan Dono.
2. Dia sangat menyayangi adiknya.
Dalam contoh tersebut tidak diketahui secara jelas siapa menyayangi adik siapa, sehingga kalimat tersebut mengandung ambiguitas. Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan ” dia ” dan ” adiknya ” dalam kalhmat Dia sangat menyayangi adiknya. Kalimat tersebut kakan menjadi jelas jika diubah menjadi : Adi bersahabat dengan Dono atau Adi sangat menyayangi adik Dono.



2.8  Transformasi Sastra Sebagai Alternatif Proses Kreatif
Definisi Transformasi:
-          Perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)..(KUBI, 2002);
-          Wujud transformasi: terjemahan, salinan, alih huruf, parafrase, adaptasi/saduran (Sudjiman, 1993).
-           Transformasi : Fenomena Alih wahana
Fenomena alih wahana atau yang lebih dikenal dengan istilah transformasi, dalam sastra akhir-akhir ini cukup marak. Hal itu terlihat dari banyaknya produksi film yang mengangkat cerita yang berasal dari novel atau sejenisnya. Selain dalam bentuk film terdapat juga alih wahana dalam bentuk yang lain. Seperti dari puisi menjadi drama, dari cerpen menjadi pementasan drama, atau yang lainnya.
Transformasi yang baik akan cenderung membawa dampak yang positif bagi penikmatnya. Meski begitu tidak menutup kemungkinan dampak yang lain. Alih wahana atau transformasi ini dapat dilihat dari beberapa sisi : karya; pelaku transformasi; dan penikmat (pembaca) transformasi.
Dilihat dari sisi karya, proses alih wahana dari suatu bentuk karya menjadi bentuk yang lain, sering kali mengalami perbedaan sampai perubahan. Proses alih wahana dengan berbagai hal yang meliputinya memang sangat memungkinkan terjadinya pergeseran atau mungkin lebih tepatnya penyesuaian. Keterbatasan pada bentuk yang dituju seringkali ‘mengebiri’ karya asalnya. Bentuk novel (prosa) jauh lebih leluasa dibandingkan dengan film, sehingga terjadi ‘eliminasi’ bagian-bagian dari karya aslinya karena suatu keterbatasan pada wahana yang dituju. Pengkajian dan penelaahan terhadap suatu karya sebelum proses transformasi ini memang sangat diperlukan dalam usaha untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas dari karya yang ditransformasikan tersebut.

2.8.1 Transformasi Karya : ‘Penguatan’ atau ‘Persaingan’
Karya asal dan karya hasil transformasi memang dapat menjadi ‘penguat’ atau dapat juga menjadi ‘pesaing’ terkait dengan proses distribusi karya. Banyak karya sastra mengalami stagnansi dalam hal distribusi setelah mengalami transformasi. Setelah orang dapat menikmati karya tersebut dalam bentuk film misalnya, dia tidak akan perlu lagi untuk membaca karya aslinya yang mungkin dalam bentuk novel. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menghambat distribusi karya tersebut dalam bentuk awalnya (sebelum mengalami transformasi). Mudahnya, orang akan cenderung menonton filmnya daripada membaca novelnya. Dalam kondisi yang lain, tidak menutup kemungkinan, bentuk dari hasil transformasi dapat menjadi pemicu untuk distribusi karya asalnya.
Kualitas muatan dari karya asal dan karya hasil transformasi juga harus mendapat perhatian yang lebih. Transformasi dalam sastra hendaknya tidak mengurangi muatan (kualitas) dari karya asalnya. Pengalihan yang terjadi dalam proses transformasi lebih pada bentuk, sehingga hendaknya tetap diusahakan untuk mempertahankan muatan sastra yang terkandung dalam karya asalnya.
2.8.2  Dampak Positif bagi Pelaku
Proses transformasi jelas melibatkan pelaku yang melakukan transformasi. Selain itu, dalam proses transformasi juga terdapat banyak tahap aktivitas yang perlu dilalui untuk mencapai hasil transformasi yang baik. Dalam proses inilah terdapat berbagai aktivitas yang positif bagi pelakunya.
Pengapresiasian karya asal sangatlah perlu dilakukan. Dengan kegiatan inilah akan didapatkan gambaran tentang karya tersebut. Lebih jauh lagi, perlu dilakukan pengkajian agar hal-hal yang spesifik dari karya tersebut dapat diketahui. Proses ini akan membawa pada pemahaman yang kuat tentang hal tersebut. Hal ini menjadi sangat penting sebelum masuk pada proses selanjutnya. Apresiasi sampai dengan pengkajian yang baik pada karya asal akan menjadi pijakan awal yang baik pula untuk masuk pada tahap transformasi. Kurangnya pemahaman terhadap karya asal dapat berdampak pada kualitas hasil transformasi.
Tahap berikutnya yang harus dilalui dalam proses transformasi adalah memahami bentuk yang akan dituju. Hal ini menjadi cukup penting, mengingat perbedaan bentuk dari suatu karya juga berdampak pada perbedaan karakteristik dari karya tersebut. Pemahaman terhadap bentuk asal dan bentuk tujuan sangat membantu pelaku transformasi dalam menentukan apa yang harus dia perbuat. Transformasi dari prosa menjadi (skenario) film misalnya. Prosa dan film memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga diperlukan kecermatan agar apa yang terkandung dari karya dalam bentuk prosa tidak berbeda jauh muatannya dengan karya hasil transformasinya. Jadi jelas bahwa pelaku transformasi akan mendapatkan dampak yang sangat positif dari proses transformasi yang dilakukan.
2.8.3  Penikmat : Dampak Positif dan (mungkin) Dampak Negatif
Dasar (motif) dilakukannya suatu proses transformasi bisa bermacam-macam. Dari urusan yang murni urusan sastra sampai urusan komersil. Namun, ketika mau disederhanakan, tujuan dari transformasi dilihat dari sisi penikmatnya adalah untuk mempermudah proses apresiasi.
Transformasi dalam sastra memang lebih cenderung kepada usaha untuk memudahkan pengguna atau penikmatnya dalam proses apresiasi, meskipun tidak menutup kemungkinan ada motif yang lain. Pembuatan film yang didasarkan pada novel misalnya, menikmati film jauh lebih mudah daripada membaca novel. Apresiator memang seakan ‘dimanjakan’ dengan adanya transformasi karya, karena hampir sebagian besar dari hasil proses transformasi adalah lebih mudah untuk diapresiasi (dinikmati).
Ketika merujuk pada efek ‘memanjakan’ apresiator, transformasi karya menjadi kurang baik dilihat dari sisi apresiator. Sastra yang identik dengan budaya bahasa tulis yang itu berarti sangat dekat dengan yang namanya membaca, akan sedikit ‘terancam’. Hal itu jelas berdampak kurang baik bagi kelangsungan sastra itu sendiri. Orang yang lebih suka menyimak (mendengarkan) akan identik dengan suka berbicara, sedangkan orang yang suka membaca akan identik dengan menulis. Ketika ingin membangkitkan gairah tulis-menulis, dekatkanlah pada budaya membaca. Hal itu berarti bahwa, membudayakan membaca sastra itu penting.

Merujuk pada hal tersebut, dalam proses transformasi sebagai salah satu alternatif proses kreatif hendaknya dengan mempertimbangkan banyak hal. Sedapat mungkin, dampak positif tetap diperoleh dan dampak negatif sebisa mungkin diminimalisir. Sehingga akhirnya dapat diperoleh suatu hasil transformasi yang memberikan kontribusi positif khususnya di bidang sastra.

Bagikan

Jangan lewatkan

STILISTIKA (Bahasa dan Kreativitas - Bentuk dan Makna - Diksi - Struktur Sintaktik - Licentia Poetica – Majas - Ambiguitas - Transformasi )
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.