BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi
estetiknya dominan. Pradopo (2002:3) puisi sebagai salah satu karya seni sastra
dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya, salah stunya adalah dari aspek
bentuk dan makna. Bentuk dan makna bahasa sastra sebagai media ekspresi
sastrawan dipergunakan untuk memeroleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini
berhubungan dengan bentuk style ‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra. Hal
ini bertujuan agar bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra sebagai fungsi
estetis yang dominan. Bentuk bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik
bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order
semiotics), sedangkan sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua (second
order semiotics) (Abrams, 1981: 172). Sebagai medium karya sastra, bahasa
berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra. Menurut
kaum Formalis Rusia, bahasa adalah cara penuturan yang bersifat tidak otomatis,
tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131).
Sebagai sebuah media
ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bentuk dan
makna bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif
dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa
ilmiah yang rasional dan denotatif.
Secara rinci, bentuk
dan makna bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional artinya
bentuk dan makna bahasa sastra megandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim,
manasuka atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi
peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosisasi-asosiasi, konotatif
artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat
referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25), bergaya (berjiwa)
merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk
menimbulkan efek
tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40), dan ketidaklangsungan ekspresi.
Menurut Riffaterre
(1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun
teori Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi
prosa atau fiksi. Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi
tersebut disebabkan oleh tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing
of meaning) dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia, penyimpangan arti (distorting
of meaning) disebabkan oleh adanya pemakaian: ambiguitas, kontradiksi, dan
nonsense, dan penciptaan arti
(creating of meaning) yaitu
pengorganisasian teks.
Penggunaan medium
bentuk dan makna bahasa sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh seluruh
kehidupan manusia. Karya sastra dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi
kehidupan manusia. Ia tidak hanya mencakup satu unsur peradaban dan kebudayaan,
tetapi seluruh unsur yang menyertai peran manusia di dunia sebagai pelaku dalam
peradaban tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah
Stilistika: bahasa dan kreativitas, bentuk dan
makna , diksi, struktur sintaktik - licentia poetica , majas, ambiguitas dan transformasi
.
1.3. Metode Penulisan
Penulis
menggunakan metode studi pustaka dalam penyusunan makalah. Dalam metode ini
penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah. Selain itu,
sumber lain seperti internet juga dipakai penulis untuk memperkuat sumber yang
sudah ada.
1.4. Sistematika Penulisan
Adapun
sistematika penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, yaitu BAB I
PENDAHULUAN yang berisi: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Metode Penulisan,
serta Sistematika Penulisan, Tujuan Penulisan, BAB II PEMBAHASAN yang berisi:
dan BAB III PENUTUP yang berisi: Iktisar.
1.5
Tujuan
Penulisan
Tujuannya dari
penulisan makalah ini adalah menjelaskan Tinjauan Bentuk dan Makna Dari
Ranah Bahasa, Tinjauan Stilistika..
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Bahasa dan
Kreativitas
Bahasa
adalah medium karya sastra. Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran
manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini
setiap penulis memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya serta
gaya bahasa untuk menghasilkan efek- efek tertentu bagi pembacanya. Secara
menyeluruh kajian stilistika berperan untuk membantu menganalisis dan
memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra.
Istilah
tentang stilistika berasal dari istilah stylistics
dalam bahasa Inggris stilistika atau stylistics
terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau
pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
Stilistika
(Stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum
sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian beriut adalah
cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu,
sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. (Nyoman Kuntha
Ratna, 2009 : 3)
Dalam
beberapa kamus umum dan istilah pengertian stilistika itu sama atau hampir
bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1988:859), stilistika, ilmu
tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus
Dewan (1996:1305), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Stilistik:
1)
Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara berkesan dalam penulisan.
2)
Berkaitan dengan stail atau gaya, terutama gaya bahasa penulisan.
Dalam
Kamus Istilah Sastra, Sudjimar (1990:79) menuliskan stilistika (Stylistics),
ilmu yang menyelidiki penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra.
Dalam Kamus Istilah Sastra, Zaidan dkk (1994:194) menuliskan stilistika ilmu
yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dalam
Leksikon Sastra, Yusuf (1995:277) menuliskan stilistika (Stylistics), ilmu yang
menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, perpaduan ilmu linguistik
dan sastra. Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan
pengertian stilistika adalah sebagai berikut: (1) Ilmu yang menyelidiki bahasa
yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik
dan kesusastraan. (2) Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Berdasarkan
berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa:
1)
Stilistika adalah ilmu interdisipliner linguistik dengan sastra.
2)
Stilistika adalah ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra.
3)
Stilistika adalah ilmu gaya bahasa yang digunakan dalam wacana sastra.
4)
Stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.
Sebagai
ilmu interdisipliner stilistika dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Disiplin Linguistik
Studi
Sastra
Stilistika
Subjek Bahasa Sastra
( Diadaptasi dari Widdowson (1985:4) dalam
sumber http://usupress.usu.ac.id).
Berdasarkan gambar diatas bahwa bahasa dan
sastra saling berhubungan. Hubungan antara bahasa dan sastra merupakan kunci
untuk memahami baik bahasa maupun sastra. Seperti yang dikatakan sebelumnya,
bahasa adalah medium utama karya sastra. Tidak ada karya sastra tanpa bahasa.
Mempelajari sastra pada dasarnya sama dengan mempelajari ilmu bahasa sebab
menurut Wellek dan Warren (1989:221) yang diteliti adalah perbedaan sistem
bahasa karya sastra dengan sistem bahasa pada zamannya. Sebaliknya bahasa juga
seharusnya memanfaatkan sasra dalam rangka mengembangkan ilmu bahasa itu
sendiri. Dari karya sastra bahasa dieksploitasi sedemikian rupa dengan berbagai
kemungkinan sehingga sangat bebeda dari bahasa sehari-hari. Berbagai
kemungkinan tersebut nantinya dapat menambah objek kajian bahasa.
Hubungan keterkaitan antara bahasa dan sastra
tersebut menempatkan stilistika menjadi jembatan untuk memahami bahasa dan
sastra sekaligus. Menurut Lotman (dalam Kutha Ratna 2008: 153) menerangkan
adanya fungsi bahasa dan sastra, pada hakekatnya bahasa merupakan system model
pertama (Primary modeling Syistem,
PMS),sedangkan sastra merupakan system model kedua (Secondary modeling system, SMS). Sebagai system model pertama
bahasa lebih banyak mengacu pada logika, sastra lebih banyak mengacu pada
estetika.
Dalam berlogika bahasa harus mengikuti kaidah
atau tata bahasa yang benar. Sedangkan dalam karya sastra posisi kaidah dan
tata bahasa tersebut menempati posisi sekunder yang mengikuti system model
kedua. Hal tersebut juga berkaitan dengan fungsi bahasa menurut Roman Jacobson
yaitu bahasa memiliki fungsi puitik
artinya bahasa dapat dipergunaan untuk keindahan. Karya sastra mengutamakan
kualitas estetis yang sangat mengutamakan keindahan bahasa. Oleh karena itulah
dimungkinkan adanya kebebasan penyair
tetapi sangat jarang adanya kebebasan linguis. Hal ini disebabkan karena
bahasa didominasi oleh kualitas intelektualitas sedangkan sastra oleh kualitas
emosionalitas.
2.1.1
Proses Kreatif dalam melahirkan kreativitas
Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta dan
berkreasi. Pengarang memiliki kreativitas dengan melewati sebuah proses
kreatif. Peranan pengarang sebagai pencipta, hubungan antara pengarang dengan
karya sastra, penulisan itu sendiri sebagai rangkaian proses kreatif, dan
proses produksinya kepada masyarakat luas secara keseluruhan. Pengarang
menciptakan karya dan pengaranglah yang merupakan asal usul karya sastra.
Pemikiran pengaranglah mengalir lewat tulisan- tulisan karyanya.
Barthes (dalam Kutha Ratna 2008: 95) membedakan
empat fungsi dalam kaitannya dengan proses menulis, yaitu: a) scriptor, yaitu orang yang menyalin
secara murni, b) compilator, orang
yang mengumpulkan dan menambahkan hal-hal tertentu, c) commentator,orang yang memberikan pengantar agar sebuah teks lebih
mudah untuk dipahami, dan d) auctor
orang yang menyajikan gagasan-gagasannya sendiri tetapi atas dasar otoritas
orang lain.
Secara etimologis author (Inggris), auteur
(Perancis) berasal dari augere
(Latin) berarti menumbuhkan atau menghasilkan. Bahasa sastra dengan demikian
adalah ciptaan pengarang yang digali dari aspek emosional terdalam. Dalam
hubungan ini secara khusus peranan pengarang dibicarakan dalam kaitannya dengan
penggunaan gaya bahasa.
Kreativitas
pengarang dalam menciptakan karya sastra didorong dari lima faktor utama,
yaitu: a) faktor psikologis, b) didaktis, c) faktor sosiologis, d) ekonomis,
dan e)estetis. Secara genetis kelima
faktor tersebut dapatdibedakan menjadi tiga kelompok. Dua faktor pertama yaitu:
faktor psikologis dan faktor didaktis berasal dari diri dalam pengarang
sendiri. Sebagai seorang pengarang memiliki sifat berekspresi selain itu
melibatkan unsur mendidik,mengajar, dan mempengaruhi. Dan dua faktor berikutnya, yaitu: faktor
sosiologis dan ekonomis banyak dipengaruhi dari luar berkaitan dengan
keterlibatan pengarang dalam masyarakat. Khususnya dalam kaitan dengan
globalisasi masyarakat kontemporer, faktor terakhir faktor estesis adalah
bentuk pengungkapan, disamping melalui berbagai cara dan gaya, sehingga
melahirkan unsure keindahan dalam karya sastra
2.2. Tinjauan Bentuk dan Makna
Menurut Wijana (1998:1) secara
garis besar elemen bahasa terdiri dari dua macam, pertama,elemen bentuk dan kedua,
elemen makna atau untuk ringkasnya disebut bentuk
dan makna. Bentuk adalah elemen fisik
tuturan. Elemen fisik ini terdiri dari tataran terendah sampai tataran
tertinggi bentuk yang diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa,
klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Bunyi merupakan satuan bahasa terkecil,
sedangkan wacana merupakan satuan bahasa terbesar. Didalam hirarki gramatikal
satuan kebahasaan yang disebut wacana, menduduki tataran tertinggi yang
perwujudannya dapat berupa karangan yang utuh seperti novel, buku, seri ensiklopedia.
Di
dalam pertuturan tindak bahasa, beberapa bentuk kebahasaan, seperti bunyi dan
suku kata hadir tidak berdiri sendiri, melainkan selalu bersama bunyi atau suku
kata yang lainnya. Hannya saja, untuk kepentingan analisis bahasa didalam studi
fonetik atau fonologi unsur-unsur ini dipisahkan dari lingkungan atau unsur
yang berbeda didekatnya.
Bentuk-bentuk
kebahasaan yang berwujud bunyi, suku kata, morfem, kata, frase, klausa,
kalimat, paragraf, dan wacana adalah unsur kebahasaan yang dipisah-pisahkan
atau disegmentasikan. Oleh karenanya, unsur-unsur ini disebut unsur segmental.
Selain unsur ini terdapat juga unsur yang tak dapat dipisahkan, yakni unsur
suprasegmental. Unsur-unsur suprasegmental terdiri dari keras lemahnya suara
(tekanan), tinggi rendahnya suara (nada), panjang pendeknya ucapan (durasi),
dan jarak waktu pengucapan (jeda). Variasi keempat unsur suprasegmental didalam
tuturan seseorang disebut intonasi. Di
dalam bahasa tulis unsur-unsur suprasegmental dikenal dengan tanda baca,
seperti koma (,), titik(.), dsb. Bagaimanapun lengkapnya kaidah tata tulis
sebuah bahasa, kaidah-kaidah itu tidak akan mampu menggambarkan keseluruhan
variasi unsur-unsur segmental bahasa lisan.
Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki
hubungan dengan makna yang dinyatakannya. Menurut ayah ilmu bahasa moderen
Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa, hubungan antara bentuk dan makna bersifat
arbiter dan konvnsional. Sifat arbiter mengandung pengertian tidak ada hubungan
kausal, logis, alamiah, ataupun historis antara bentuk dan makna itu. Sementara
itu, sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk kebahasaan dan
maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama.
2.2.1 Tinjauan Struktur
Bentuk Fisik Puisi
Puisi sebagai sebuah
karya seni sastra yang dapat dikaji dari bermacam-macam aspek bentuknya. Puisi
dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah
struktur yang terbentuk dari bermacam-macam unsur bentuk dan makna kepuitisan.
Adapun struktur bentuk fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
a. Perwajahan
puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak
selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
b. Diksi, yaitu
pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak
hal, maka bentuk kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan
kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan
urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa
puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal,
penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis,
penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh
kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno),
dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
c. Imaji,
yaitu bentuk kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca
seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
Dalam menulis sebuah puisi, biasanya penyair tidak hanya menggunakan kata-kata
yang bermakna lugas atau denotatif, tatapi menggunakan kata-kata yang bermakna
atau mengandung arti lain atau konotatif. Dalam hubungannya dengan arti
konotatif, imaji dan simbol mempunyai hubungan. Persamaanya adalah bahwa baik
citra maupun simbol bermakna konotatif. Adapun perbedaannya adalah
terletak pada cara pengungkapannya.
d. Kata
kongkret, yaitu bentuk kata yang dapat ditangkap dengan indera yang
memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau
lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan
hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat
kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
e. Bahasa
figuratif, yaitu bentuk bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan
efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
f. Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme,
dan metrum. Rima adalah persamaan bentuk bunyi pada puisi, baik di awal,
tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap
bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2)
bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal,
sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan
sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat
menonjol dalam pembacaan puisi.
2.2.3 Tinjauan Struktur Makna Puisi
Menurut Pateda
(2010:79) istilah makna (meaning)merupakan
kata dan istilah yang membingungkan. Memahami makna puisi atau sajak tidaklah
mudah, lebih-lebih pada waktu sekarang puisi makin kompleks dan aneh, Pradopo
(2002:278). Jenis sastra puisi lain dengan jenis strata prosa. Prosa lebih
mudah dipahami tampaknya dari pada puisi. Hal ini disebabkan oleh bahasa prosa
itu merupakan ucapan biasa, sedangkan puisi merupakan ucapan yang tidak biasa.
Biasa atau tidak biasa itu bila keduanya dihubungkan dengan tata bahasa
normatif.
Pemaknaan puisi atau
pemberian makna puisi ini berhubungan dengan teori sastra masa kini yang lebih
memberikan perhatiannya kepada pembaca dari lainnya. Puisi itu merupakan suatu
artefak yang baru akan mempubyai makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan
tetapi, pemerian makna tersebut tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan
kerangka semiotik (ilmu/sistem tanda). Puisi harus dipahami sebagai sistem
tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Medium puisi adalah bahasa
yang memiliki arti di dalam puisi. Oleh karena itu, bahasa disebut sebagai
sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna bahasa disebut arti yang
ditentukan oleh masyarakat pengguna bahasa. Oleh karena itu, untuk memberikan
makna puisi haruslah diketahui konvensi puisi tersebut. Kemusian, untuk
memahami secara utuh sebuah puisi, di samping harus memahami lapis
bentuk/struktur, kita perlu juga pahami lapis makna puisi serta unsur
ekstrinsik yang turut mendukung; seperti biografi pengarang, latar sosial,
budaya, politik saat puisi dibuat, dan sebagainya. Yang termasuk lapis makna
dalam puisi adalah:
a. Tema/sense adalah gagasan pokok yang
diciptakan/dilukiskan oleh penyair melalui
puisinya.
b. Perasaan/feeling adalah sikap penyair
terhadap tema yang dikemukakan dalam puisinya.
c. Nada dan suasana/tone adalah sikap penyair
terhadap pembaca/ penikmat puisi.
d. Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan
oleh penyair. Amanat seringkali tersirat di balik kata-kata yang disusun dan
juga berada di balik tema yang diungkapkan. Seringkali amanat ini tidak disadari penyair.
2.3.
Diksi
Diksi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa Departemen Pendidikan Indonesia
adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk
mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang
diharapkan).
Diksi adalah pemilihan kata-kata
yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya (Siswanto, 2013 :104). Puisi
merupakan pengimajinasian dari bentukan perasaan dan pikiran yang terurai dalam
kata-kata. Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata. Perhatikan puisi “Doa” karya Chairil nwar,
salah satu bagiannya tertulis ; biar susah sungguh/ mengingat kau penuh
seluruh. Dua baris tersebut tidak bisa diganti dengan biar sangat susah/
mengingat Tuhan dengan sepenuhnya atau dibalik susunannya menjadi susah
sungguh biar/ penuh seluruh mengingat kau.
Pemilihan kata berhubungan erat
dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan penyair, semakin berbobot
katakata yang digunakan. Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya.
Hal tersebut harus menjadi perhatian yang tepat karaen kata-kata dalam puisi
merupakan pengungkapan perasaan pengaran seperti marah, riang, cemas, khawatir,
tegang, atau takut. Selain itu pemilihan kata juga berkaitan erat dengan
keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan simbolik, bermakna konotatif,
aosiaif, dan sugestif.
Fungsi dari diksi antara lain :
- Membuat pembaca atau pendengar mengerti
secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh
pembicara atau penulis.
- Untuk mencapai target komunikasi yang
efektif.
- Melambangkan gagasan yang di ekspresikan
secara verbal.
- Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat
(sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau
pembaca.
Diksi terdiri dari delapan elemen yaitu :
fonem, silabel, konjungsi, hubungan, kata benda, kata kerja, infleksi, dan
uterans.
1.
Fonem
Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau
mirip kedengarannya. Dalam ilmu bahasa fonem itu ditulis di antara dua garis
miring: /.../. Fonem apat mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung pada
tempatnya dalam kata atau suku kata. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan
arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku [...].
2.
Silabel
Silabel adalah unit pembentuk kata yang
tersusun dari satu fenom atau urutan fenom. Sebagai contoh, kata mandi terdiri
dari dua suku kata : man dan di. Silabel pun sering dianggap sebagi unit
pembangun fonologis kata karena dapat mempengaruhi ritme dan artikulasi suatu
kata.
3.
Konjungsi
Konjungsi / konjungtor / kata sambung adalah
sebuah kata atau ungkapan yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat
seperti kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, serta
kalimat dengan kalimat
Contoh : Dan, atau, serta
4.
Nomina atau Kata Benda
Nomina adalah kelas kata yang menyatakan nama
dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.
Kata benda dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Kata benda konkret untuk benda yang dapat dikenal dengan panca indera.
Conton: meja.
2.
Kata benda abstrak untuk benda yang menyatakan hal yang hanya dapat
dikenal dengan pikiran.
Contoh: Cinta
Selain itu, jenis kata ini juga dapat
dikelompokkan menjadi kata benda khusus atau nama diri dan kata benda umum atau
nama jenis. Kata benda nama diri adalah kata benda yang mewakili suatu entitas
tertentu, contohnya Jakarat dan Novi. Kata benda umum adalah sebaliknya,
menjelaskan suatu kelas entitas, contohnya kota atau orang.
5.
Verba atau Kata Kerja
Verba adalah kelas kata yang menyatakan suatu
tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Jenis kata
ini biasanya menjadi predikat dalam suatu kalimat. Berdasarkan objeknya, kata
kerja dapat dibagi menjadi dua:
1. Kata kerja transitif yang membutuhkan
pelengkap atau objek seperti menendang (bola).
2. Kata kerja intransitif yang tidak
membutuhkan pelengkap seperti lari.
6.
Infleksi
Infleksi adalah perubahan bentuk kata (dalam
bahasa fleksi) yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal (seperti deklinasi
nomina, pronomina, adjective, dan konjugasi verba
7.
Hubungan Makna
·
Sinonim : Persamaan arti
Sinonim merupakan kata-kata yang memiliki
persamaan / kemiripan makna. Sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase,
atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat.
·
Antonim : Lawan arti
Antonim merupakan ungkapan (berupa kata, frase,
atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna /ungkapan lain.
Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan
kata kecil.
·
Homonim : Persamaan bentuk beda arti
Homonim berasal dari kata homo berarti sama dan
nym berarti nama. Berarti homonim adalah kata yang penamaan dan pengucapannya
sama tetapi artinya berbeda.
Contoh:
1. Saya
bisa membeli rumah. (bisa berarti dapat dan bermakna denotasi)
2. Pamanku terkena bisa ular yang mematikan.
(bisa artinya racun makna denotasi)
3. Rapat (berdempet-dempet) >< rapat
(meeting)
4. Beruang (hewan) >< beruang (punya
uang)
·
Homofon : Persamaan bunyi beda arti
Homofon terdiri atas kata homo yang berarti
sama dan foni (phone) berarti bunyi atau suara. Berarti homofon adalah kata
yang diucapkan sama tetapi berbeda dari segi maksud dan juga tulisan.
Perkataan-perkataan yang homofon mungkin dieja dengan serupa atau berbeda,
contoh :
1. Massa telah berkumpul di depan Istana
Negara. (Massa/masyarakat)
2. Hidupnya senang sepanjang masa. (Masa/waktu)
Perkataan-perkataan diatas adalah serupa dari
segi sebutan tetapi mempunyai arti yang berbeda, atau merujuk kepada perkara
yang tidak sama. Homofon merupakan sejenis homonim, meskipun kadang-kala
homonim digunakan untuk merujuk hanya kepada homofon yang mempunyai ejaan yang
sama tetapi arti yang berlainan. Istilah ini juga digunakan untuk unit-unit
yang lebih singkat daripada perkataan, seperti huruf atau beberapa huruf yang
disebut sama dengan huruf lain atau kumpulan huruf yang lain. Homofon adalah
istilah yang berlawanan dengan homograf.
·
Homograf : Persamaan bentuk beda arti
Homograf terdiri atas homo berarti sama dengan
graf (graph) berarti tulisan. Jadi homograf adalah kata yang sama ejaannya
dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya. Contoh homograf antara
lain adalah :
1. Buah apel ini enak sekali. (Apel maksudnya
buah)
2. Anak-anak telah apel di lapangan tadi pagi.
(Apel maksudnya kumpul)
· Hiponim
: Kata turunan dari kata lainnya
Hiponim Adalah suatu kata yang yang maknanya
telah tercakup oleh kata yang lain, sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan.
Contoh :
kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan,
sebab makna tongkol termasuk makna ikan.
·
Polisemi : Memiliki makna lebih
dari satu
Polisemin dalah sebagai satuan bahasa (terutama
kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh: Kata kepala bermakna
; bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan,
bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala
susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang
·
Hipernim : Kata turunan yang merupakan bagian dari kata lainnya.
Hipernim adalah kata-kata yang mewakili banyak
kata lain. Kata hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata
lainnya. Sedangkan hiponim adalah kata-kata yang terwakili artinya oleh kata
hipernim. Umumnya kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim
merupakan anggota dari kata hipernim.
8.
Uterans
Uterans merupakan sub elemen dari
fungsionalitas Diksi, dan mempengaruhi Diksi berdasarkan kemampuan bahasa
dengan kriteria penggunaan dan pemahaman yang jelas dan efektif.
2.4 Stuktur Sintaktik Puisi
Puisi adalah sebuah struktur, maksudnya adanya
unsur-unsur yang menyusun struktur itu yang berhubungan satu dengan yang lain. Unsur puisi hanya
mempunyai arti dalam hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dalam struktur dan
keseluruhannya.
Unsur puisi adalah unsur fungsional. Artinya
tiap unsur puisi mempunyai fungsi tertentu dalam kaitannya dengan unsur-unsur
yang lain. Misalnya sebuah unsur
berfungsi untuk memberi gambaran angan yang jelas dan konkret.
Kata sintaksis dari kata Yunani
"syn" (bersama) dan "tax" (susun), menunjuk pada aransemen
sistematis dan tertata dari elemen-elemen dan bagian-bagian.
Pada tingkatan paling umum, elemen-elemen ini meliputi simbol (termasuk simbol
matematis) yang disusun untuk menciptakan proposisi atau statemen. Simbol yang
paling penting dalam sintaksis puitik adalah kata atau kumpulan kata, tetapi
tanda baca, baris, stanza (bait/paragraf), skema metre dan pola rima juga
berperan penting dalam susunan kata-kata yang menggerakkan pernyataan-pernyataan bermakna.
Sintaksis puitik sebagai suatu
tatanan dapat diperbandingkan dengan tata bahasa. Versifikasi adalah sintaksis
puitik. Jika gegabah orang bisa menghadap-hadapkan sintaksis puitik dengan
lisensi puitik, sebagaimana mereka menghadap-hadapkan lisensi puitik dengan
seni puitik, padahal lisensi puitik merupakan bagian dari seni puitik, lisensi
puitik adalah pengembang dari seni puitik, tak ada lisensi puitik tanpa seni
puitik, pun sebaliknya. Lisensi puitik bukanlah kengawuran, anti-seni puitik,
lisensi puitik adalah pertanyaan terhadap seni puitik, pertanyaan terhadap tata
bahasa, untuk melampaui seni puitik atau tata bahasa yang ada, mengembangkan
seni puitik atau tata bahasa yang ada.
Struktur puisi adalah struktur yang kompleks.
Artinya unsur-unsur puisi itu banyak dan saling jalin-menjalin. Luxemburg (1989) menjelaskan bahwa dalam sebuah sajak, kata-kata
pertama-tama tunduk kepada struktur ritmik sebuah larik dan tidak kepada
struktur sintaktik sebuah kalimat. Dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur
sintaktik yang lain daripada struktur sintaktik dalam bahasa sehari-hari.
Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibuat-buat, urutan kata dibalikkan demi
rima atau metrum. Sama halnya dengan
aspek-aspek bentuk lainnya pola sintaktik dapat memunyai fungsi semantik.
Pola-pola sintaktik dapat
dilihat sebagai: (a) kaidah-kaidah sintaktik bahasa diabaikan
(infrastrukturasi), dan (b) pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi
keteraturan tambahan (suprastrukturasi).
Inversi, mengubah
urutan kata yang lazim, termasuk pola pertama. Dalam Jante Arkidan karangan Ajip Rosadi, kita menjumpai inversi, sebagaimana berikut ini
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh
lelang dia terbang
Dengan menempatkan kata „tajam“
dan „berebahan“ di muka, maka efek semantik lebih menonjol. Dalam sajak yang
sama, kita juga menemukan contoh-contoh suprastrukturasi, pola-pola tertentu
diulang-ulang. Diperhatikan berikut ini.
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya rujibesi
pegadean
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan
ronggeng
Ia menari, ia tertawa
Pola-pola gaya sintaktik
hampir tak terbilang jumlahnya, disebut dan diuraikan terperinci dalam
buku-buku pedoman tentang retorika. Pola-pola sintaktik tersebut memiliki efek
semantik, yaitu kata-kata tertentu atau ungkapan-ungkapan tertentu lebih
menonjol. Menentukan dengan tepat efek macam apa diakibatkan hanya dapat dilakukan
berdasarkan konteks.
Sebagaimana telah
disinggung bahwa penyair membuat inversi
yaitu membalik susunan’subjek-predikat’ menjadi ‘predikat-subjek’ seperti halya
“Sajak Putih” oleh Chairil Anwar, sebagaimana berikut ini.
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak murka air kolam jiwa
Susunan biasa: Di hitam matamu mawar dan melati (ber) kembang muka
Air kolam jiwa meriak
Selain hal tersebut, untuk
mendapatkan kepadatan dan ekspresivitas, Chairil Anwar, membuat kalimat tidak
biasa, entah karena penghilangan kata penghubung ataupun pembalikan susunan
biasa, seperti berikut ini.
Hidup dan hidupku pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah... (”Sajak Putih”, Chairil Anwar)
Susunan yang biasa seperti berikut ini
Hidup dari hidupku (akan sebagai) pintu terbuka
Selama matamu menengadah bagiku
Selama darahmu mengalir dari luka
Antara kita tidak membelah (sampai) Kematian datang
Tentu saja bila disusun
demikian itu, akan hilang ekspresivitanya.
Sejalan dengan penjelasan
Lexemburg, Pradopo (2005) menjelaskan faktor ketatabahasaan, bahwa penggunaan
bahasa seseorang (parole) merupakan
penerapan sistem bahasa (langue) yang
ada (Culler, 1977), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi
puisi yang ada. Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa
maupun konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan.
Setiap penulis melaksanakan ”tandatangan” nya sendiri yang khusus dalam cara
penggunaan bahasanya yang membedakannya dari karya penulis lain (Lodge, 1969).
Dengan demikian, sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem
norma bahasa yang umum.
Dalam puisi penyimpangan
dari sistem tata bahasa normatif itu sering terjadi. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan efek kepuitisan, untuk mendapatkan eksprevitas. Begitu juga
penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif tidak lain hanya untuk
mendapatkan kepuitisan atau efek puitis, yaitu untuk mendapatkan irama yang
liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang lain,
sebagaimana yang dilakukan oleh Chairil Anwar banyak membuat penyimpangan dari
tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya. Penyimpangan itu berupa penyingkatan
atau pemendekan kata, penghilangan imbuhan, penyimpangan struktur sintaksis.
Banyak hal yang dilakukan oleh penyair untuk membuat pembeda dari
keberadaan puisi yang ditulisnya dengan melakukan penyimpangan bahasa. Menurut
Geofry (dalam Waluyo, 1987) ada Sembilan Jenis penyimpangan bahasa yang sering
dijumpai dalam puisi.
1.
Penyimpangan
leksikal. Kata-kata yang digunakan menyimpang dari kata-kata yang diguanakan
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kata-kata mentari, pepintu, cerlang,
menyera, ‘kan
2.
Penyimpangan
semantik. Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pda
makna ganda. Kata matahari mungkin bisa bermakna kehangatan cinta, bagi
seorang penyair. Bagi penyair lain, matahari bisa bermakna kegersangan,
kehiduan, penunjuk waktu dan bukan
seperti kata-kata sehari-hari yang member makna sebagai bintang dalam
tata surya kita.
3.
Penyimpangan
fonologis. Untuk kepntingan rima, penyair mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam
puisi “Perasaan Seni” karya J.E. Tatengkeng, kata menderu diganti menderuh.
4.
Penyimpangan
morfologis. Penyir sering melanggar kaidah morfologis secara sengaja. Selain
untuk keindahan bunyi, hal ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan kekhasan,
keindividuan, dan kebaruan.
5.
Penyimpangan
sintaksis. Kata-kata dalam puisi tidak membangun kalimat, tetapi membangun
larik atau baris. Penyimpangan sintaksis digunakan untuk mencapai efek estetis
dan untuk menekankan maksud.
6.
Penggunaan
dialek. Untuk mengungkapkan makna yang diinginkan suasa dan perasaan yang
sesuai, penyair sering menggunakan dialek.
7.
Penggunaan
register. Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi
tertentu dalam masyarakat. Pengguanaan regioster bisa menunjukkan darimana
penyair itu berasal.
8.
Penyimpangan
histois. Enyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang suda tidak
digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaanya seperti dimaksudkan
untuk mempertinggi nilai estetik.
9.
Penyimpangan
grafologis. Penyimpangan grafologis adalah peyimpangan sistem tulisan. Misalnya
tidak digunakannya huruf besar dan titik.
2.5 Licentia Poetica
Licentia Poetica
atau poetic license (Ing) adalah kebebasan sastrawan, terutama penyair.
Kebebasan itu diartikan sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada sastrawan
untuk memanipulasi penggunaan bahasa untuk menimbulkan efek tertentu dalam
karyanya.
Licentia poetica adalah kebebasan pengarang untuk menyimpang dari
kenyataan dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang
dikehendaki (Shawn 1972:291). Namun menurut Sudjiman terjemahan kata
‘kebebasan’ kurang tepat karena memili konotasi semau-maunya. Menurutnya lebih
tepat jika dimaksudkan dengan kata ‘kewenangan’ yang bermakna ‘ ke-sa-han’
Pada awalnya penggunaan licentia poetica
dimaksudkan sebagai pembentuk efek-efek tertentu dalam karya sastra. Misalnya
kemerduan bunyi, keselarasan sajak dan keseimbangan irama yang terbentuk dari
susunan kata-kata dalam suatu kalimat. Efek-efek seperti ini akan menimbulkan
kesan tertentu yang dapat mempengaruhi emosi pembaca sehingga pembaca akan
terbawa cerita dan benar-benar meresapi cerita tersebut. Selain itu efek lain
yang ditimbulkan oleh licentia poetica adalah mengundang rasa ingin tahu
pembaca akan suatu karya akibat sang pembaca merasa karya tersebut unik dan
berbeda dari karya lain.
Pelanggaran
aturan bahasa atas nama licentia poetica adalah suatu hal namun buta akan
aturan penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah hal lain. kedua hal
tersebut tak dapat dipadukan karena latar belakang permasalahan yang berbeda.
Sebagai bangsa Indonesia yang baik kita tidak dilarang menciptakan karya sastra
karena itu adalah salah satu wujud pelestarian seni berbahasa namun juga
hendaknya pemahaman akan kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar tidak
kita abaikan.
Menurut Atmazaki
(1993:70--72) ada tiga faktor yang menjadi penyebab licentia poetica digunakan
oleh penyair yaitu sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman
puitik tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi dan intuisi daripada
rasio, ilmu, dan ilmiah.
Kedua, karena pengucapan puisi lebih pendek daripada pengucapan nonpuisi maka
berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitiknya akan
dihilangkan atau dibuang. Lihat saja misalnya puisi Chairil yang berjudul
“Nisan”. Pada puisi tersebut Chairil menulis Bukan kematian benar menusuk
kalbu. Setelah dianalisis oleh Oemarjati (1972:10--13) ternyata Chairil membuang
unsur se-nya pada benar dan yang sebelum menusuk
kalbu. Dengan demikian, larik tersebut seharusnya berbunyi (Sebenarnya)
bukan kematian (yang) menusuk kalbu.
Ketiga, sastrawan (penyair) adalah orang yang mampu menggunakan bahasa untuk
tujuan tertentu. Kalau penyair bukan “penguasa” bahasa, tidak mungkin ia mampu
memanipulasi bahasa untuk menghasilkan efek tertentu dalam puisinya.
Walaupun penyair dapat memanipulasi bahasa, kebebasan untuk memanipulasi
tersebut tetap terbatas. Karena, apapun bahasa yang digunakan penyair di dalam
mengungkapkan pengalamannya ke dalam bentuk puisi akan tetap dapat dikembalikan
kepada bahasa yang dapat dipahami oleh pembacanya.
Pada dasarnya,
sajak tetap mematuhi kaidah tata bahasa karena media sajak adalah bahasa.
Sebuah pemikiran atau pengalaman dalam sajak tidak akan menjadi sesuatu
yang utuh tanpa struktur bahasa yang tepat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya,
penyair sering melanggar kaidah atau struktur bahasa tersebut.
Sekurang-kurangnya ada
tiga alasan yang memungkinkan pelanggaran kaidah bahasa terjadi dalam sajak.
Pertama, karena penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik
lebih banyak berhubungan dengan emosi, intuisi, dan intelek daripada
rasio, ilmu, dan ilmiah. Emosi dan intuisi adalah dunia bawah sadar,
seperti juga sajak. Sajak adalah pemunculan kembali dunia bawah sadar.
Pengalaman puitik yang melandasinya biasanya muncul sekilas-kilas, maka penyair
mengucapkannya dalam bentuk penggalan-penggalan pula. Oleh karena itu,
waktu mengucapkannya terciptalah komposisi bahasa yang hanya mementingkan
unsur-unsur yang sangat diperlukan, gatra-gatra yang terpisah-pisah,
sehingga kelihatan tidak menghiraukan kaidah bahasa. Dikatakan kelihatan,
karena penampilannya saja yang tidak menghiraukan kaidah bahasa, padahal
sebenarnya unsur yang tidak mematuhi kaidah bahasa itu dapat dikembalikan
kepada pengucapan yang sesuai dengan kaidah bahasa. Perhatikan susunan bahasa
sajak Sutardji yang berjudul Amuk dibawah ini.
(tubuh tak habis ditelan laut tak habis dimatahari
luka tak habis dikoyak duka tak habis digelak
langit tak habis dijejak burung tak habis di
kepak erang tak sampai sudah malam tak sampai
gapai itulah aku
(Bachri,1981:74)
Sebenarnya pengucapan
sajak diatas berasal dari:
a. Tubuh tak habis ditelan laut.
b. Laut tak habis di matahari.
c. Luka tak habis dikoyak duka.
d. Duka tak habis digelak langit.
e. Langit tak habis dijejak burung.
f. Burung tak habis dikepak orang.
g. Erang tak sampai.
h. Tak sampai sudah malam.
i. Malam tak sampai menggapai.
j. Gapai itulah aku.
k. Itulah aku.
a. Tubuh tak habis ditelan laut.
b. Laut tak habis di matahari.
c. Luka tak habis dikoyak duka.
d. Duka tak habis digelak langit.
e. Langit tak habis dijejak burung.
f. Burung tak habis dikepak orang.
g. Erang tak sampai.
h. Tak sampai sudah malam.
i. Malam tak sampai menggapai.
j. Gapai itulah aku.
k. Itulah aku.
Kalimat a sampai k
adalah kalimat-kalimat yang mematuhi kaidah bahasa. Akan tetapi, karena
Sutardji mengucapkannya dalam bentuk sajak maka ia mengucapkannya tanpa –
kelihatannya – mematuhi kaidah bahasa.. Dan inilah alasan kedua, yaitu
pengucapan sajak pendek daripada pengucapan non-sajak dengan
menghilangkan berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitik
– penyulapan dan pengasingan.
Ketiga, kepiawaian
penyair itu sendiri. Sastrawan adalah orang yang menguasai bahasa ‘author +
ity’. Sastrawan adalah orang yang mampu memanipulasi penggunaan bahasa untuk tujuan
tertentu. Kalau ia bukan penguasa bahasa, tak mungkin ia mampu
memanipulasi bahasa untuk menghasilkan efek tertentu dalam sajaknya
(Atmazaki,1988:41-2).
Walaupun diberikan
kebebasan dalam menggunakan bahasa, penyair tetap terbatas.
Pelanggaran tata bahasa hanya mungkin dilakukan kalau masih mungkin
dikembalikan kepada struktur bahasa yang benar. Dengan kata lain, kalau
pelanggaran itu dapat disemantikkan. Jadi, kebebasan sastrawan adalah
kebebasan terikat; kebebasan yang tidak sampai kepada taraf anarkisme:
kebebasan tanpa tanggung jawab.
2.6 Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek
dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca
atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179).
Nurgiyantoro (1995: 297) menyatakan bahwa permajasan adalah (figure of thought)
merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak
menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang
ditambah, makna yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja
mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang
mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang
terpendam didalam jiwanya. Dengan demukian gaya bahasa dapat membuat karya
sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat
monoton yang dapat membuat pembaca bosan. Majas ada bermacam-macam jenisnya,
namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu
majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkanya dengan sesuatu
yang lain. Majas dibedakan menjadi empat golongan yaitu majas pertentangan,
majas penegasan, majas sindiran, dan majas perbandingan (Syarifudin, 2006:
18-28).
Sudjiman menyatakan bahwa pusat penelitian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang
penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.
Dengan demikian Sudjiman berkesimpulan bahwa style dapat diterjemahkan sebagai
gaya bahasa. Gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas
dan citraan, pola rima, serta mantra.
Menurut Luxemburg gaya semantis mengacu pada makna kata, bagian kalimat,
dan kalimat dan secara umum disebut majas. Majas yang terdapat dalam gaya
semantis adalah majas pertentangan, majas identitas, dan majas kontiguitas.
1. Majas Pertentangan
Dalam majas ini terdapat istilah antitesa atau majas yang disertai dengan
paralelisme sintaksis, contohnya “ada waktu untuk datang, ada waktu untuk
pergi” atau “…tapi itulah. Kalau mau Menang Kadang mesti kalah dulu…”.
2. Majas Identitas
Majas identitas mencakup perumpamaan dan metafora yang membandingkan objek
atau pengertian dan menyamakannya secara semantis. Dalam proses metaforik
terdapat beberapa bentuk seperti sinestesi dan personifikasi.
a. Perumpamaan
Perumpamaan adalah perbandingan secara eksplisit antara dua obyek atau
pengertian. Hal ini tampak dalam percakapan ini,
Ani : tunggu, titip aku uang ini untuk istrimu
Johan : tidak, terima kasih mbak. Istriku tidak suka makan daging manusia.
Di sini johan mengumpamakan uang pemberian ani merupakan uang suap sebagai
daging manusia yang tidak pantas dimakan oleh sesama manusia beradab.
b. Metafora
i) Bentuk metafora yang akan dibahas terlebih dahulu adalah penghilangan bagia
harfiah sehingga makna yang tidak ditunjukkan dalam teks harus kita tentukan
sendiri untuk memperoleh pemahaman yang baik. Misalnya :
akhir-akhir ini justru kamus semakin dingin kepadaku, kata ani kepada johan.
Bagian harfiah yang tidak ditunjukan pada kalimat tersebut adalah sikap
johan terhadap ani yang semakin acuh tak acuh. Maka Ani menganggap Johan
bersikap dingin padanya.
ii). Ada pula bentuk metafora yang memiliki arti tetap yang sudah
terserap ke dalam bahasa sehari-hari dengan bentuk yang hanya berupa satu kata
atau ungkapan tetap, satu kalimat atau bagian kalimat.
“mungkin juga kalau Aris datang ke sekolah ia sering lupa waktu”
Kata-kata “lupa waktu” pada kalimat tersebut merupakan sebuah ungkapan
tetap yang berarti sering telat ketika datang ke sekolah, melewati batas yang
sewajarnya.
iii). Bentuk lain dari metafora dalam bidang semantik adalah sinestasi yang
menunjukkan aspek dari indera yang satu dihubungkan dengan indera lain, “Suara
yang hangat”, contoh lainnya adalah :
“kalau berpapasan di kantor, ia hanya tersenyum kecut, bahkan seperti
menghindar dariku”
Di sini indera berupa penglihatan pada kata “senyum” dihubungkan dengan
inedera pengecap berupa kata “kecut”.
“Aku sudah muak melihat permainan kalian yang semakin hari semakin buruk”.
Pada kalimat ini indera perasaan berupa “Muak” dihubungkan dengan indera
penglihatan berupa kata “melihat”.
iv). Bentuk metafora yang banyak dijumpai adalah personifikasi di mana
aspek arti dari sesuatu yang hidup dialihkan kepada sesuatu yang tidak
bernyawa. Contohnya adalah :
“Aku merasa dikejar-kejar dosa”
“aku tahu praktek korupsi sedang menggerogoti bangsa ini”
Dosa adalah sesuatu yang tidak bernyawa, namun dinyatakan bisa mengejar
seseorang. Praktek korupsi bukan sesuatu yang dapat bergerak namun dinyatakan
menggerogoti.
3. Majas Kontiguitas
Dalam majas kontiguitas terdapat pergantian satu pengertian dengan
pengertian yang lain namun keduanya tidak memiliki hubungan persamaan melainkan
hubungan kedekatan. Majas ini terbagi dalam dua bentuk metonimia dan sinekdok.
i). Metonimia
Dalam metonimia ada kaitan makna tertentu yang dapat didorong oleh berbagai
motivasi, misalnya sebab digantikan akibat atau isi digantikan wadah. Contohnya
adalah :
“Mungkin melihat saya menggigil dan berkeringat, ia rampas empat ikat dan
langsung memasukkan ke dalam kemejanya”
Di sini kata “ikat” mewakili isinya, yaitu uang.
ii). Sinekdok
Dalam gaya kontiguitas ini hubungan kedekatan antara pengertian yang
disebut dang pengertian yang digantikan berupa hubungan bagian dan keseluruhan.
Dua bentuk yang terkenal dalam sinekdok adalah totum pro parte dan pars
pro toto.
Totum pro parte adalah penyebutan
keseluruhan menggantikan apa yang sebenarnya merupakan suatu bagian.
“Lagi pula jurusan Bahasa Inggris masih banyak yang dibutuhkan”
“kalau aku melanjutkan usaha beliau, apa kata dunia?”
Pada kalimat pertama terdapat penyebutan keseluruhan yaitu “jurusan Bahasa
Inggris” yang menggantikan apa yang sesungguhnya merupakan suatu bagian yaitu
para calon pegawai negeri. Sedangkan pada kalimat kedua terdapat penyebutan
keseluruhan yaitu “dunia” yang menggantikan apa yang sesungguhnya merupakan
suatu bagian yaitu orang-orang di sekitar sang tokoh.
2.7 Ambiguitas
2.7.1 Makna ambiguitas :
1 sifat atau hal yang bermakna dua; kemungkinan yang mempunyai dua
pengertian; 2 ketidaktentuan; ke-tidakjelasan; 3 kemungkinan
adanya makna atau penafsiran yg lebih dr satu atas suatu karya sastra; 4
Ling kemungkinan adanya makna lebih dr satu dl sebuah kata, gabungan
kata, atau kalimat; ketaksaan (KBBI, 2007)
Ambigu
/ ambiguitas adalah kata atau kalimat yang mempunyai arti lebih darh satu atau
bermakna ganda. Kalimat ambigu secara struktural atau ketatabahasaan sudah
tepat, tetapi arti kalimat tersebut menimbulkan makna ganda atau lebih dari
satu makna. Dalam bahasa lisan, penafsiran kalimat ambigu ini mungkin tidak
akan terjadi karena adanya pembedaan didalam cara pengucapannya. Namun, dalam
bahasa tulis ( dituliskan ) penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika
penanda-penanda ejakan tidak lengkap.
1.
Ambiguitas dalam sastra
Ambiguitas ini disebabkan oleh bahasa sastra itu bermakna ganda (polyinterpretable),
apalagi di dalam puisi. Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase,
klausa, ataupun kalimat. Hal ini disebabkan oleh sifat puisi yang berupa
pemadatan. Berikut contoh ambiguitas di dalam sebuah sajak pada puisi Chairil
Anwar.
DOA
Kepada
pemeluk teguh
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar
Dalam baris pertama terlihat bahwa si ”aku” masih /termangu/,
atau ragu-ragu akan adanya Tuhan, tetapi si ”aku” masih menyebut-nyebut nama
Tuhan. Pada bait kedua, meskipun si ”aku” merasa sangat /susah/
untuk menyebut nama Tuhan, tetapi si aku /masih menyebut/ nama-Nya, karena ia
sadar bahwa Kau itu /penuh seluruh/. Klausa “Kau penuh
seluruh”, mempunyai makna ganda, bisa dimaknakan: Engkau mutlak ada, Engkau
maha sempurna adanya, keberadaan-Mu tidak dapat diingkari, Engkau
sungguh-sungguh ada secara utuh.
2.
/Aku
hilang bentuk/ /remuk/ dimaknakan bahwa si ”aku”
sangat menderita, dan karena seakan si aku tidak berbentuk dan berwujud lagi.
Dalam keadaan seperti itu pula si aku merasa bahwa dirinya seakan /mengembara
di negeri asing/, terpencil dari yang lain. Dalam keadaan tidak
berdaya, si ”aku” masih berusaha /mengetuk pintu/ Tuhannya yang maha
Rohman. Karena itu juga, si aku /tidak bisa berpaling
llgertian dan Contoh
Kalimat Ambigu - Ambigu atau ketaksaan adalah suatu bentuk konstruksi yang
ditafsirkan memiliki makna lebih dari satu. Oleh karena itu, kalimat ambigu adalah
kalimat yang memilliki makna ganda.
Berdasarkan bentuknya, keambiguitasan di dalam kalimat terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
Berdasarkan bentuknya, keambiguitasan di dalam kalimat terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ambiguitas Fonetik
Ambiguitas fonetik adalah keambiguan yang terjadi akibat dari kesamaan bunyi – bunyi yang diucapkan dan biasanya banyak terjadi dalam dialog atau percakapan sehari – hari.
Contoh:
Dia datang kemari memberi tahu.
Kalimat diatas menimbulkan keambiguan kareana memiliki banyak tafsir, yaitu:
Apakah dia datang memberi tahu yang terbuat dari kacang kedelai, atau
Apakah dia datang memberi suatu informasi.
Untuk mengetahui arti atau makna kalimat tersebut secara keseluruhan, maka harus mendengarkan pembicaraan secara utuh.
2. Ambiguitas Gramatikal
Ambiguitas gramatikal terjadi karena proses pembentukan suatu ketatabahasaan baik pembentukan kata, prasa, maupun kalimat. Kata – kata atau frasa yang memiliki keambiguitasan jenis ini akan hilang jika dimasukan ke dalam konteks kalimat.
Contoh:
Orang tua
Kata tersebut memiliki dua makna yaitu ibu dan bapak atau orang yang sudah tua. Oleh sebab itu untuk mengetahui makna yang sebenarnya perlu disatukan ke dalam satu kalimat.
a.Orang tua Deni tidak bisa hadir hari ini.
b. Aku bertemu dengan orang tua yang kemarin tersesat di jalanan.
3. Ambiguitas Leksikal
Keambiguan jenis ini terjadi karena faktor kata itu sendiri. Pada dasarnya setiap kata memiliki makna lebih dari satu tergantung dari kalimat yang menyertainya.
Contoh:
Kata “lari” memiliki makna yang berbeda yaitu mengerjar sesuatu atau menjauh dari sesuatu.
Dia berlari mengejar bus sekolahnya.
Aku lari dari kenyataan.
Faktor – faktor penyebab keambiguan:
1. Faktor Morfologi
Keambiguan yang terjadi akibat dari pembentukan kata itu sendiri:
Contoh:
Permen itu tertelan olehku.
a. Permen itu sengaja tertelan, atau
b. Permen itu akhirnya dapat ditelan.
2. Faktor Sintaksis
Faktor ini terjadi karena susunan kata di dalam kalimat yang kurang jelas.
Contoh: Gigit jari
Ani hanya bisa gigit jari melihat barang yang diinginkan tak bisa didapat.
Ani menggigit jarinya hingga berdarah.
Kata gigit jari di atas memiliki dua makna yaitu putus asa atau benar-benar menggigit jarinya.
Contoh :
1. Dia mengeluarkan uang dua puluh ribuan.
Kalimat / frasa diatas dapat berarti ganda.
Artinya bisa menjadi :
1. Dua puluh / ribuan = dua puluh lembar uang
ribuan.
2. Dua puluh ribuan = sata lembar uang dua
puluh ribuan.
Untuk menghindari kebingungan atau kesalahan
penafsiran , sebaiknya kalimat tersebut dilengkapi dengan tanda hubung ( – ) .
Contoh dengan penambahan tanda hubung maka
jadinya :
Dia mengeluarkan uang dua puluh-ribuan atau Dia
mengeluarkan uang dua-puluh ribuan.
Agar lebih jelas perhatikan contoh kalimat
ambigu di bawah ini !
Kalimat : Mobil tetangga baru berwarna merah.
Pada kalimat di atas menimbulkan makna ganda
pada frasa ” mobil tetangga baru ”, yaitu sebagai berikut.
1. Mobil / tetangga baru = yang baru adalah
tetangga.
2. Mobil tetangga / baru = yang baru adalah
mobil.
Agar tidak menimbulkan makna ganda, kalimat di
atas dapat diubah menjadi : Mobil-tetangga baru itu berwarna merah atau Mobil
tetangga-baru itu berwarna merah.
Ambiguitas selahn terjadi di dalam kalimat
dapat pula terjadh antarkalimat.
Contoh :
1. Adi bersahabat dengan Dono.
2. Dia sangat menyayangi adiknya.
Dalam contoh tersebut tidak diketahui secara
jelas siapa menyayangi adik siapa, sehingga kalimat tersebut mengandung
ambiguitas. Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan ” dia ” dan ” adiknya ”
dalam kalhmat Dia sangat menyayangi adiknya. Kalimat tersebut kakan menjadi
jelas jika diubah menjadi : Adi bersahabat dengan Dono atau Adi sangat
menyayangi adik Dono.
2.8 Transformasi
Sastra Sebagai Alternatif Proses Kreatif
Definisi Transformasi:
-
Perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)..(KUBI,
2002);
-
Wujud transformasi: terjemahan, salinan, alih
huruf, parafrase, adaptasi/saduran (Sudjiman, 1993).
-
Transformasi : Fenomena Alih wahana
Fenomena alih wahana atau yang lebih dikenal
dengan istilah transformasi, dalam sastra akhir-akhir ini cukup marak. Hal itu
terlihat dari banyaknya produksi film yang mengangkat cerita yang berasal dari
novel atau sejenisnya. Selain dalam bentuk film terdapat juga alih wahana dalam
bentuk yang lain. Seperti dari puisi menjadi drama, dari cerpen menjadi pementasan
drama, atau yang lainnya.
Transformasi yang baik akan cenderung membawa
dampak yang positif bagi penikmatnya. Meski begitu tidak menutup kemungkinan
dampak yang lain. Alih wahana atau transformasi ini dapat dilihat dari beberapa
sisi : karya; pelaku transformasi; dan penikmat (pembaca) transformasi.
Dilihat dari sisi karya, proses alih wahana
dari suatu bentuk karya menjadi bentuk yang lain, sering kali mengalami
perbedaan sampai perubahan. Proses alih wahana dengan berbagai hal yang
meliputinya memang sangat memungkinkan terjadinya pergeseran atau mungkin lebih
tepatnya penyesuaian. Keterbatasan pada bentuk yang dituju seringkali
‘mengebiri’ karya asalnya. Bentuk novel (prosa) jauh lebih leluasa dibandingkan
dengan film, sehingga terjadi ‘eliminasi’ bagian-bagian dari karya aslinya
karena suatu keterbatasan pada wahana yang dituju. Pengkajian dan penelaahan
terhadap suatu karya sebelum proses transformasi ini memang sangat diperlukan
dalam usaha untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas dari karya
yang ditransformasikan tersebut.
2.8.1 Transformasi Karya : ‘Penguatan’ atau
‘Persaingan’
Karya
asal dan karya hasil transformasi memang dapat menjadi ‘penguat’ atau dapat
juga menjadi ‘pesaing’ terkait dengan proses distribusi karya. Banyak karya
sastra mengalami stagnansi dalam hal distribusi setelah mengalami transformasi.
Setelah orang dapat menikmati karya tersebut dalam bentuk film misalnya, dia
tidak akan perlu lagi untuk membaca karya aslinya yang mungkin dalam bentuk
novel. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menghambat distribusi karya
tersebut dalam bentuk awalnya (sebelum mengalami transformasi). Mudahnya, orang
akan cenderung menonton filmnya daripada membaca novelnya. Dalam kondisi yang
lain, tidak menutup kemungkinan, bentuk dari hasil transformasi dapat menjadi
pemicu untuk distribusi karya asalnya.
Kualitas
muatan dari karya asal dan karya hasil transformasi juga harus mendapat
perhatian yang lebih. Transformasi dalam sastra hendaknya tidak mengurangi
muatan (kualitas) dari karya asalnya. Pengalihan yang terjadi dalam proses
transformasi lebih pada bentuk, sehingga hendaknya tetap diusahakan untuk
mempertahankan muatan sastra yang terkandung dalam karya asalnya.
2.8.2 Dampak
Positif bagi Pelaku
Proses transformasi jelas melibatkan pelaku
yang melakukan transformasi. Selain itu, dalam proses transformasi juga
terdapat banyak tahap aktivitas yang perlu dilalui untuk mencapai hasil
transformasi yang baik. Dalam proses inilah terdapat berbagai aktivitas yang
positif bagi pelakunya.
Pengapresiasian karya asal sangatlah perlu
dilakukan. Dengan kegiatan inilah akan didapatkan gambaran tentang karya
tersebut. Lebih jauh lagi, perlu dilakukan pengkajian agar hal-hal yang
spesifik dari karya tersebut dapat diketahui. Proses ini akan membawa pada
pemahaman yang kuat tentang hal tersebut. Hal ini menjadi sangat penting
sebelum masuk pada proses selanjutnya. Apresiasi sampai dengan pengkajian yang
baik pada karya asal akan menjadi pijakan awal yang baik pula untuk masuk pada
tahap transformasi. Kurangnya pemahaman terhadap karya asal dapat berdampak
pada kualitas hasil transformasi.
Tahap berikutnya yang harus dilalui dalam
proses transformasi adalah memahami bentuk yang akan dituju. Hal ini menjadi
cukup penting, mengingat perbedaan bentuk dari suatu karya juga berdampak pada
perbedaan karakteristik dari karya tersebut. Pemahaman terhadap bentuk asal dan
bentuk tujuan sangat membantu pelaku transformasi dalam menentukan apa yang
harus dia perbuat. Transformasi dari prosa menjadi (skenario) film misalnya.
Prosa dan film memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga diperlukan
kecermatan agar apa yang terkandung dari karya dalam bentuk prosa tidak berbeda
jauh muatannya dengan karya hasil transformasinya. Jadi jelas bahwa pelaku
transformasi akan mendapatkan dampak yang sangat positif dari proses
transformasi yang dilakukan.
2.8.3 Penikmat
: Dampak Positif dan (mungkin) Dampak Negatif
Dasar (motif) dilakukannya suatu proses
transformasi bisa bermacam-macam. Dari urusan yang murni urusan sastra sampai
urusan komersil. Namun, ketika mau disederhanakan, tujuan dari transformasi
dilihat dari sisi penikmatnya adalah untuk mempermudah proses apresiasi.
Transformasi dalam sastra memang lebih
cenderung kepada usaha untuk memudahkan pengguna atau penikmatnya dalam proses
apresiasi, meskipun tidak menutup kemungkinan ada motif yang lain. Pembuatan
film yang didasarkan pada novel misalnya, menikmati film jauh lebih mudah
daripada membaca novel. Apresiator memang seakan ‘dimanjakan’ dengan adanya
transformasi karya, karena hampir sebagian besar dari hasil proses transformasi
adalah lebih mudah untuk diapresiasi (dinikmati).
Ketika merujuk pada efek ‘memanjakan’
apresiator, transformasi karya menjadi kurang baik dilihat dari sisi
apresiator. Sastra yang identik dengan budaya bahasa tulis yang itu berarti
sangat dekat dengan yang namanya membaca, akan sedikit ‘terancam’. Hal itu
jelas berdampak kurang baik bagi kelangsungan sastra itu sendiri. Orang yang
lebih suka menyimak (mendengarkan) akan identik dengan suka berbicara,
sedangkan orang yang suka membaca akan identik dengan menulis. Ketika ingin
membangkitkan gairah tulis-menulis, dekatkanlah pada budaya membaca. Hal itu
berarti bahwa, membudayakan membaca sastra itu penting.
Merujuk pada hal tersebut, dalam proses
transformasi sebagai salah satu alternatif proses kreatif hendaknya dengan
mempertimbangkan banyak hal. Sedapat mungkin, dampak positif tetap diperoleh
dan dampak negatif sebisa mungkin diminimalisir. Sehingga akhirnya dapat
diperoleh suatu hasil transformasi yang memberikan kontribusi positif khususnya
di bidang sastra.
Bagikan
STILISTIKA (Bahasa dan Kreativitas - Bentuk dan Makna - Diksi - Struktur Sintaktik - Licentia Poetica – Majas - Ambiguitas - Transformasi )
4/
5
Oleh
ATLET.COM