Saturday 15 October 2016

KRITIK PUISI : SAJAK EMPAT EPISODE CINTA KARYA TJAHJONO WIDARMANTO

KEROMANTISAN CINTA
SEBUAH
PENCARIAN ATAU KEBETULAN?


CINTA sebuah selaksa yang akan terus menelanjangi keseharian hidup seseorang. Banyak ragam keterusterangan yang ditimbulkan cinta untuk membentuk simbol-simbol keterikatan. uang, pasangan, fasilitas, ilmu, kesempurnaan dan kekekalan menjalani kehidupan kesemuanya merupakan pelampiasan terikat sebuah pemaknaan cinta. Terbinanya cinta akan memberi sensasi keutuhan yang sedap bagi sebagian orang yang mampu menampilkan keselarasan. Atau sebaliknya, terputusnya cinta malah menjadikan kehidupan seseorang jatuh kedalam kekosongan dan kehampaan.

Retorika “cinta monyet” sebuah persepsi keromantisan kisah muda-mudi yang dengan keleluasaan menghamba pada kata-kata untuk bisa merasai dan merindui cinta. Diteropong dengan hikmat dan penuh seksama, mencari pasangan sebagai pelampiasan sampai pada tindakan ceroboh melawan titah Tuhan dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Hingga sabda Tuhan menurunkan Nabi Adam dan Hawa dari tingkat mulia (surga) ke tingkat terendah (dunia).

Fenomena melawan dan melanggar aturan-aturan Tuhan pun tetap terjadi sampai dengan sekarang. Karena pelampiasan cinta merupakan gejolak yang akan terus turun-temurun dan menjadi fenomena yang berjenjang hingga seorang akademisi sekaligus sastrawan Thahjono Widarmanto menulis puisi “Episode Cinta “ yang dibagi kedalam empat episode, dengan pembagian Episode 1: Mozaik Cinta, Episode 2: Perahu Ini, Kekasihku, Episode 3: Narasi Cinta yang Tersisa, Episode 4: Daun Gugur. Ada rentetan cerita yang ingin diurai oleh penyair dalam puisi tersebut berdasar pada pengalaman dan pengetahuan terkhusus tentang cinta.

Bercerita cinta menggunakan puisi bisa memikat jika penggunaan stilistika yang mampu membaru dan memihak. Dibubuhi keutuhan strukturalistik yang menuntun pada struktur fisik dan batin yang kompleks akan memenuhi keromantisan dan atau kerealistikan cinta. Keterhubungan tersebut memberi makna tersendiri bagi penikmat dan terkhusus penyair sendiri. Menghayati puisi itu ibarat menikmati buah yang baru masak dari pohon dan belum tahu buah dari pohon apa, sehingga mencernanya butuh cara tersendiri untuk bisa dinikmati.

Cinta itu agama, mungkin yang dingini Tjahjono dalam Episode 1 : Mozaik Cinta. Pegangan pertama yang harus dipertahankan oleh semua kalangan dalam segala hal terutama berkisah cinta, pembatasan tersebut yang akan memberi keutuhan bentuk terkhusus kebutuhan hidup manusia. Banyak diantaranya—lesbian, gay, LGBT—yang  mencoba menerabas batas-batas agama dengan sebutan toleransi kehidupan atau hak asasi manusia. Perlawanan tersebut menjadi kelaziman seseorang atau kelompok untuk berhakikat pada keberagaman yang semakin berkembang menyesuai ‘kedamaian’ masing-masing. Sehingga etika dan moral terjerumus pada kebuasan logika dan nafsu sesaat.

Rangkaian kehidupan yang berproses dengan tuntunan agama berkeyakinan kalau Nabi Adam dan Hawa merupakan pasangan manusia pertama yang ada di dunia. Lain halnya dengan pendirian yang menerima hasil pemikiran dan proses berpikir manusia tentang muasal kehidupan dari Charles Darwin, bahwa manusia berevolusi tentu tidak ada kisah romantis yang bisa dinikmati oleh turunannya karena bukan cinta yang mendamaikan manusia jika proses evolusi namun alam yang memainkan perannya dan sekarang alam sudah semakin tidak bersahabat.

Menikmati kisah Nabi Adam dan Hawa itu cerita yang sangat dekat karena setiap manusia akan mengalami kisah-kisah yang ujungnya akan sama dengan yang dilakukan Nabi Adam dan Hawa, perbuatan baik menghasilkan kebaikan dan perbuatan jahat akan menghasilkan keburukan, jika menyesal bisa bertaubat dan mendapat ampunan. Jika terus membangkang akan mendapat laknat dan azab. Sehingga mozaik cinta epiode satu itu merupakan kisah cinta-pebangkangan-pertaubatan-dan pengampunan.

Butuh sebuah keberanian, perjuangan dan pengorbanan demi mendapat cinta yang romantis atau hanya sebuah kata pembebasan layaknya “hujan” yang bebas turun di mana saja, kebebasan untuk menderas, merintik atau mereda sehingga semua bisa merasai dengan lega. Datang ditunggu, sudah datang diminta berhenti hingga banjir atau gersang menjadikan manusia kembali pada Tuhan.


Cinta itu kendaraan, layaknya sebuah perahu. Namun, menjadi sebuah pertanyaan mengapa penyair Tjahjono pada Episode 2 memilih kata perahu, tidak memilih kata Kapal atau Mobil. Bisa dipahami bersama kendaraan sederhana itu bernama cinta, kendaraan yang akan menuntun pada relung jiwa bahagia itu cinta. Pemilihan “perahu” itu karena semua orang bisa membuat. Dari anak-anak kecil hingga orang tua bisa membuat perahu namun tidak setiap orang mampu menahkodai dengan baik dan butuh keselarasan dan keseimbangan. Lain halnya kapal atau mobil sebagai kendaraan, tidak setiap orang akan mampu membuat dan butuh biaya besar untuk mengoprasikan dan merawatnya. Dan mensejajarkan pada sejarah zaman dahulu tentang “perahu”atau”bahtera” yang dijadikan kata-kata dalam sebuah peristiwa kekeluargaan. “bahtera kehidupan atau bahtera rumah tangga” kita sering mendengar kata-kata tersebut.

Kesederhanaan itu lebih mendamaikan dibandingkan dengan kememawahan. Ada jarak tersendiri yang dibangun jika cinta dilandasai atas dasar sebuah kemewahan. Lain halnya jika cinta itu sebuah kendaraan yang sederhana. Cinta romantis itu membebas, kita akan bisa memilih keromantisan dari sudut kesederhanaan dari cerita berikut. “Kisah pasangan muda menjalani bulan madunya di sebuah desa dekat pegunungan, tidak jauh dari rumah mereka yang terbuat dari bambu ada sungai jernih mengalir. Pasangan muda tersebut menuju sungai untuk menikmati hijaunya pepohonan dan jernihnya air sungai. Sesampainya di bibir sungai lelaki itu mengajak wanitanya untuk menaiki perahu rakit yang terbuat dari potongan-potongan yang disatukan. Si lelaki mendayung dan wanita memandangi si lelaki dan tidak lama rintik hujan membasahi keduanya.” Akan sangat terbatas menyusun kata-kata romantis  jika cinta yang diawali oleh sebuah kemewahan walaupun bisa namun tidak semuanya bisa melakukan. Kesederhanaan cinta itu bisa dilakukan oleh semua orang.


Menjejal cinta yang bisa dinikmati seperti kata-kata sastrawan kadang bisa membebas arti, menyelaras keadaan atau menjauhkan pada pendeskripsian yang sebenarnya sehinga produksi kata dengan jeli menerjemahkan latar dan  keadaan.

Bagikan

Jangan lewatkan

KRITIK PUISI : SAJAK EMPAT EPISODE CINTA KARYA TJAHJONO WIDARMANTO
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.