KEROMANTISAN
CINTA
SEBUAH
PENCARIAN
ATAU KEBETULAN?
CINTA
sebuah
selaksa yang akan terus menelanjangi
keseharian hidup seseorang. Banyak ragam keterusterangan yang ditimbulkan cinta
untuk membentuk simbol-simbol keterikatan. uang, pasangan, fasilitas, ilmu,
kesempurnaan dan kekekalan menjalani kehidupan kesemuanya merupakan pelampiasan
terikat sebuah pemaknaan cinta. Terbinanya cinta akan memberi sensasi keutuhan
yang sedap bagi sebagian orang yang mampu menampilkan keselarasan. Atau
sebaliknya, terputusnya cinta malah menjadikan kehidupan seseorang jatuh
kedalam kekosongan dan kehampaan.
Retorika “cinta monyet” sebuah persepsi
keromantisan kisah muda-mudi yang dengan keleluasaan menghamba pada kata-kata
untuk bisa merasai dan merindui cinta. Diteropong dengan hikmat dan penuh
seksama, mencari pasangan sebagai pelampiasan sampai pada tindakan ceroboh
melawan titah Tuhan dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Hingga sabda Tuhan
menurunkan Nabi Adam dan Hawa dari tingkat mulia (surga) ke tingkat terendah
(dunia).
Fenomena melawan dan melanggar
aturan-aturan Tuhan pun tetap terjadi sampai dengan sekarang. Karena pelampiasan
cinta merupakan gejolak yang akan terus turun-temurun dan menjadi fenomena yang
berjenjang hingga seorang akademisi sekaligus sastrawan Thahjono Widarmanto menulis
puisi “Episode Cinta “ yang dibagi kedalam empat episode, dengan pembagian Episode 1: Mozaik Cinta, Episode 2: Perahu Ini, Kekasihku, Episode 3:
Narasi Cinta yang Tersisa, Episode 4: Daun Gugur. Ada rentetan cerita yang ingin diurai oleh
penyair dalam puisi tersebut berdasar pada pengalaman dan pengetahuan terkhusus
tentang cinta.
Bercerita cinta menggunakan puisi bisa
memikat jika penggunaan stilistika yang mampu membaru dan memihak. Dibubuhi keutuhan
strukturalistik yang menuntun pada struktur fisik dan batin yang kompleks akan
memenuhi keromantisan dan atau kerealistikan cinta. Keterhubungan tersebut
memberi makna tersendiri bagi penikmat dan terkhusus penyair sendiri.
Menghayati puisi itu ibarat menikmati buah yang baru masak dari pohon dan belum
tahu buah dari pohon apa, sehingga mencernanya butuh cara tersendiri untuk bisa
dinikmati.
Cinta itu agama, mungkin yang dingini Tjahjono
dalam Episode 1 : Mozaik Cinta. Pegangan
pertama yang harus dipertahankan oleh semua kalangan dalam segala hal terutama berkisah
cinta, pembatasan tersebut yang akan memberi keutuhan bentuk terkhusus
kebutuhan hidup manusia. Banyak diantaranya—lesbian, gay, LGBT—yang mencoba menerabas batas-batas agama dengan
sebutan toleransi kehidupan atau hak asasi manusia. Perlawanan tersebut menjadi
kelaziman seseorang atau kelompok untuk berhakikat pada keberagaman yang semakin
berkembang menyesuai ‘kedamaian’ masing-masing. Sehingga etika dan moral terjerumus
pada kebuasan logika dan nafsu sesaat.
Rangkaian kehidupan yang berproses
dengan tuntunan agama berkeyakinan kalau Nabi Adam dan Hawa merupakan pasangan
manusia pertama yang ada di dunia. Lain halnya dengan pendirian yang menerima
hasil pemikiran dan proses berpikir manusia tentang muasal kehidupan dari
Charles Darwin, bahwa manusia berevolusi tentu tidak ada kisah romantis yang
bisa dinikmati oleh turunannya karena bukan cinta yang mendamaikan manusia jika
proses evolusi namun alam yang memainkan perannya dan sekarang alam sudah
semakin tidak bersahabat.
Menikmati kisah Nabi Adam dan Hawa itu
cerita yang sangat dekat karena setiap manusia akan mengalami kisah-kisah yang
ujungnya akan sama dengan yang dilakukan Nabi Adam dan Hawa, perbuatan baik menghasilkan
kebaikan dan perbuatan jahat akan menghasilkan keburukan, jika menyesal bisa
bertaubat dan mendapat ampunan. Jika terus membangkang akan mendapat laknat dan
azab. Sehingga mozaik cinta epiode satu itu merupakan kisah cinta-pebangkangan-pertaubatan-dan
pengampunan.
Butuh sebuah keberanian, perjuangan dan
pengorbanan demi mendapat cinta yang romantis atau hanya sebuah kata pembebasan
layaknya “hujan” yang bebas turun di mana saja, kebebasan untuk menderas,
merintik atau mereda sehingga semua bisa merasai dengan lega. Datang ditunggu,
sudah datang diminta berhenti hingga banjir atau gersang menjadikan manusia
kembali pada Tuhan.
Cinta itu kendaraan, layaknya sebuah
perahu. Namun, menjadi sebuah pertanyaan mengapa penyair Tjahjono pada Episode
2 memilih kata perahu, tidak memilih kata Kapal atau Mobil. Bisa dipahami
bersama kendaraan sederhana itu bernama cinta, kendaraan yang akan menuntun
pada relung jiwa bahagia itu cinta. Pemilihan “perahu” itu karena semua orang
bisa membuat. Dari anak-anak kecil hingga orang tua bisa membuat perahu namun
tidak setiap orang mampu menahkodai dengan baik dan butuh keselarasan dan
keseimbangan. Lain halnya kapal atau mobil sebagai kendaraan, tidak setiap
orang akan mampu membuat dan butuh biaya besar untuk mengoprasikan dan
merawatnya. Dan mensejajarkan pada sejarah zaman dahulu tentang
“perahu”atau”bahtera” yang dijadikan kata-kata dalam sebuah peristiwa
kekeluargaan. “bahtera kehidupan atau bahtera rumah tangga” kita sering
mendengar kata-kata tersebut.
Kesederhanaan itu lebih mendamaikan
dibandingkan dengan kememawahan. Ada jarak tersendiri yang dibangun jika cinta
dilandasai atas dasar sebuah kemewahan. Lain halnya jika cinta itu sebuah
kendaraan yang sederhana. Cinta romantis itu membebas, kita akan bisa memilih
keromantisan dari sudut kesederhanaan dari cerita berikut. “Kisah pasangan muda
menjalani bulan madunya di sebuah desa dekat pegunungan, tidak jauh dari rumah
mereka yang terbuat dari bambu ada sungai jernih mengalir. Pasangan muda
tersebut menuju sungai untuk menikmati hijaunya pepohonan dan jernihnya air
sungai. Sesampainya di bibir sungai lelaki itu mengajak wanitanya untuk menaiki
perahu rakit yang terbuat dari potongan-potongan yang disatukan. Si lelaki
mendayung dan wanita memandangi si lelaki dan tidak lama rintik hujan membasahi
keduanya.” Akan sangat terbatas menyusun kata-kata romantis jika cinta yang diawali oleh sebuah kemewahan
walaupun bisa namun tidak semuanya bisa melakukan. Kesederhanaan cinta itu bisa
dilakukan oleh semua orang.
Menjejal cinta yang bisa dinikmati
seperti kata-kata sastrawan kadang bisa membebas arti, menyelaras keadaan atau
menjauhkan pada pendeskripsian yang sebenarnya sehinga produksi kata dengan
jeli menerjemahkan latar dan keadaan.
Bagikan
KRITIK PUISI : SAJAK EMPAT EPISODE CINTA KARYA TJAHJONO WIDARMANTO
4/
5
Oleh
ATLET.COM