Saturday, 15 October 2016

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang


Mendengar kata keluarga yang meliputi seorang ayah, ibu, anak (kakak, adik), saudara (Kakek, nenek, paman, bibi, pakde, dan bude, keponakan) mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Ayah adalah kepala keluarga yang membina, memimpin, mangarahkan serta menjamin keberlangsungan dalam kehidupan berkeluarga terkhusus di dalam rumah tangganya. Ia selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, berusaha dengan semangat, yang kadang membuatnya lelah dan letih, sehingga ucapan yang keluarga kadang lembut dan kadang pula kasar. Ibu adalah seorang istri dari ayah yang telah melahirkan anak dan mengurusi , merawat serta mengamankan hak dan milik keluarga, menjadi penyejuk dalam hal ungkapan dan perasaan setiap yang menyapa, terutama pada anak-anaknya yang selalu memperhatikan dengan bijaksana.  Anak adalah pelengkap keluarga dan menajdi hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga yang menajdikan suasa lebih hangat dengan kehadiran anak. Saudara merupakan pelengkap yang tidak boleh untuk dilupakan dalam kehidupan kelaurga, karena dengan adanya saudara berate dalam hal hhubungan kekerabatan memanglah menajdi panutan yang sangat dibutuhkan dalam hal saling tolong menolong.
                                       Di lingkungan keluarga, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh seorang ayah, ibu, saudara ataupun anak yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana seorang adik dengan wajah ‘terpaksa’ memberi pukulan telak bagi kakanya. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan itu biasa sehingga dibiarkan saja.
                                       Lalu apa yang akan terjadi jika seorang adik itu tidak memukul kakanya. yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut kakak tersebut kepada adiknya. Sarkasme yang keluar dari mulut adik kepada kak itu biasanya adalah nama-nama binatang seperti ‘lawang’, ‘mak matei’, ‘babi’ dan sebagainya. Jika adik tidak menerima kakak memperlakukan dengan kata-kata makian, adik pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi “adu mulut” antara saudara kandung menambah suasana menjadi ricuh.
                                       Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :
                                       Kakak  :  “ duitnya, dua rebu ya?”
                                       Adik   :  “ ga mau, masa cuma segitu!”
Kakak  :  “ Terus mintanya berapa?
                                       Adik   :  “ ga mw tau, sarebu lagi geh!”
                                       Kakak  :  “ makan nih duit, dasar adik nyeleneh!”
                                       Adik   :  “Eh…dasar kakak ga baik”.

                                       Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh seorang kakak dan adik di salah satu kehidupan keluarga. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
                                       Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu (1975:78), sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.
                                       Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28).
                                       Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102).
                                       Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).
                                      
                                       Dari beberapa sumber yang disebutkan itu, dapat diketahui bahwa makalah tentang ‘Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga’ akan dicoba melakukan telaah terhadap tuturan seorang Adik kepada kakanya di lingkungan keluarga yang mengandung kekasaran berbahasa dengan memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka.

                           1. 2. Identifikasi Masalah
                                   Hal-hal yang diidentifikasi dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      wujud ragam bahasa yang dipakai oleh adik dan kakak ketika bertengkar.
2.      bahasa yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar banyak yang tidak santun;
3.      ragam bahasa yang tidak sepantasnya adik dan kakak ketika bertengkar dan;
4.      penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar.

1. 3. Batasan Masalah           .
        Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
  1. tuturan adik dan kakak ketika bertengkar yang tidak mengandung kesantunan;
  2. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar;
  3. adik dan kakak ketika bertengkar yang dituju adalah yang ada di lingkungan keluarga;
  4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yag diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar.

1. 4. Rumusan Masalah:
  1. Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan kealuarga?
  2. Apa sajakah ujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar?
  3. Bagaimana penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar?
1. 5. Tujuan
        Tujuan makalah ini adalah:
  1. Menyelesaiakn tugas analisi wacana
  2. mendeskripsikan kesantunan berbahasa oleh adik dan kakak ketika bertengkar di lingkungan keluarga;
  3. untuk mencari tahu ragam bahasa yang digunakan oleh adik dan kakak ketika bertengkar;
  4. mendeskripsikan penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar dan;


BAB 2
IHWAL KESANTUNAN

2. 1. Kesantunan (Politenes)
Prinsip kesantunan menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.
Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Setiap kali berbicara dengan orang lain, dia akan membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota golongan tertentu.
Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi varibel penting dalam kesantunan.
Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1)      Kesantunan dilihat  dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973);
2)      Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya adalah Fraser (1990);
3)      Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya adalah Leech (1993);
4)      Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya adalah Brown dan Levinson (1987).

2. 1. 1. Prinsip Kesantunan Leech
            Leech (1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/antipati. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun.
            Ada enam maksim menurut Leech (1993) yakni:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
     a. Kurangi kerugian orang lain.
     b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Maksim Penerimaan/ Penghargan (Approbation Maxim)
     a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
     b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
     a. Kurangi cacian pada orang lain.
     b. Tambahi pujian orang lain.
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
      a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
      b. Tambahi cacian pada diri sendiri.
5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
      a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
      b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
     a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
     b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83 dalam Rahardi 2005: 5)
   Maksim yang berskala dua kutub karena berhubungan dengan keuntungan/kerugian diri sendiri dan orang lain (Wijana, 1996: 55-60).
1. Maksim yang berpusat pada orang lain.
    a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
    b. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
2. Maksim yang berpusat pada diri sendiri.
    a. Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation Maxim)
    b. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim).
            Maksim yang berskala satu kutub karena berhubungan dengan penilaian buruk bagi penutur terhadap dirinya sendiri/orang lain.
  1. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
  2. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)
2. 1. 2. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
2. 1. 2. 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
            Setiap peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
Contoh pematuhan:
+ : Mari saya bawakan buku Anda.
- : Jangan tidak usah (Wijana, 1996: 56)

            Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
2. 1. 2. 2. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
            Diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Agar setiap penutur sedapat mungkin menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan orang lain, terutama kepada orang yang diajak bicara (lawan tutur).
Contoh pematuhan :
+ : Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
-  : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)

            Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, bahwa orang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.
2. 1. 2. 3. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
            Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian (Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
+ : Permainan Anda sangat bagus.
-  : Ah, biasa saja. Terima kasih. (Wijana, 1996: 58)


2. 1. 2. 4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
            Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila kemurahan hati berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kau sangat pandai.
- : Ya, saya memang pandai.

2. 1. 2. 5. Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
            Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kemarin motorku hilang.
- : Oh, kasian deh lu. (Wijana, 1996:60)

2. 1. 2. 6. Maksim Simpati (Sympath Maxim)
            Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedudukan.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kemarin motorku hilang.
-  : Oh, kasian deh lu (Wijana, 1996:61)

2. 2.  Skala Kesantunan Leech
            Di dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.
Bersifat skala kesantunan yang disampaikan Leech ini selengkapnya.
  1. Cost-benefit scale: representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
  2. optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and or hearer by a specific liguitic act.
  3. indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in the order to establish the intended speaker meaning.
  4. authority scale: representing the status relationship between speaker and hearer.
  5. sosial distence scale: Indicating the degree of familiarity  between speaker and hearer. (Leech, 1983: 123-126).
Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech (1983) itu satu persatu dapat dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut:
  1. cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan semakin santunlah tuturan itu.
  2. optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu.
  3. indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin santun lagi tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santun tuturan itu.
  4. authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
  5. sosial dictance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
    



BAB 4
ANALISIS TUTURAN LANGSUNG BERBAHASA
DI LINGKUNGAN KELUARGA


4. 1. Pengantar

Pada bab ini akan dibahas bagaimana tuturan langsung dan pelanggaran prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar di lingkungan keluarga, Uraian ini menggambarkan  analisis tuturan langsung yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar ditinjau dari kesantunan berbahasa, prinsip kesopanan (Leech).
Dalam mengumpulkan data penulis memaparkan pengalaman dan pengmatan yang pernah dialami oleh penulis sendiri. Tuturan-tuturan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar, hanyalah tuturan yang mengandung kategori ketidaksantunan berbahasa. Hampir sebagian besar tuturan yang diucapkan oleh mereka adalah tuturan kasar, sangat tidak enak didengar, dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech. Banyak hal yang menjadi penyebab mengapa adik dan kakak ketika bertengkar menuturkan tuturan kasar tersebut. Untuk itu dalam bab ini penulis akan menganalisis tuturan kasar yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar yang melanggar prinsip sopan santun (Leech.
4. 2. Prinsip Kesantunan Leech
            Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Prinsip Kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerndahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian.
            Pada keenam maksim di atas terdapat bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikannya. Bentuk-bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.
Berikut ini penulis akan menganalisis tuturan langsung ketidaksantunan berbahasa di lingkungan keluarga oleh adik dan kakak ketika bertengkar. Tuturan yang dianalisis hanyalah tuturan yang melanggar prinsip kesantunan Leech.
4. 2. 1. Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan
Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau memecahkan suatu masalah.
Dalam konteks tuturan sehari-hari yang spontan, banyak kita jumpai pelanggaran terhadap maksim ini, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Seperti tuturan di bawah ini:



KONTEKS
Adik yang meminta uang kepada kakaknya

DATA
kakak : “nih, duitnya, buat kamu Cuma dua rebu ya?”
Adik : “Masa cuma dua rebu!”
Kakak: “Terus mintanya berapa? Kakak aja cuma tiga rebu,!”
Adik : “ga mw tau,, pokoknya seribu lagi!”
kakak: “enak aja,,,!”
Adik :huh,,”.
ANALISIS
  1. Tuturan di atas menyakiti hati dan kurang enak didengar
  2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada fisik dan perbuatan.
  3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kebijaksanaan, karena telah memaksimalkan kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang lain.

PEMBAHASAN:
Tuturan di atas adalah tuturan seorang kakak dan adik yang sangat tidak santun. kakak yang sudah rela memberikan uangnya sebesar dua ribu rupiah kepada adik yang sudah membantu membereskan pekerjaan, justru terkena makian dari adik tersebut. Seharusnya adik berterima kasih atas pemberian uang dari kakak, tapi ternyata adik tersebut tidak terima dengan pemberian yang diberikan oleh kakak, sehingga adik memaki-maki kakaknya itu. Namun, dengan kata-kata yang kasar pula sang kakak membalas kata-kata kasar dari adiknya. Sampai akhirnya kakak itu pun memberikan uang seribu lagi sesuai yang diinginkan oleh adik, walaupun kakak tidak memiliki uang, adik itu tidak peduli karena ia merasa telah membantu kakaknya dalm menyelesaikan tugas rumah.
Tuturan tersebut melanggar maksim kebijaksanaan. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dari tuturan di atas jelas sekali terlihat bahwa tuturan itu melanggar maksim kebijaksanaan, karena tuturan antara kakak dan adik justru memaksimalkan kerugian orang lain, dan meminimalkan keuntungan bagi orang lain. Tuturan kakak dan adik mengandung unsur bicara dengan kepahitan, kurang enak didengar dan menyakiti hati. Tuturan ketidaksantunan tersebut mengarah kepada perbuatan dan fisik karena di akhir tuturan calo menuturkan ”. Tuturan antara Kakak dan dan Adik dikategorikan TIDAK SANTUN.
            4. 2. 2. Maksim Penerimaan
            Dalam maksim penerimaan, setiap pelaku transaksi komunikasi diharuskan mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Setiap orang yang mematuhi maksim ini akan mendapatkan citra diri sebagai orang yang pintar menghormati orang lain, dan akan mampu membangun kehidupan yang harmonis dan penuh dengan toleransi. Pelanggaran terhadap maksim penerimaan akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya bagaimana menghormati orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri hati.

KONTEKS
Kakak yang ingin meminjam uang kepada adik.

DATA
Kakak : Dek, minjem duit ya?”
Adik : “ ga punya kak”?”
Kakak : “ dasar pelit, kayak nek lampir”!”
Adik: “eh, dibilngin ga punya, kaka itu yang kayak mak lampir?”
Kakak : “ aih, ya udahlah,, dasar mak lampir”
ANALISIS
  1. Tuturan di atas kurang enak didengar dan mengandung celaan getir.
  2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan
  3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Penerimaan, karena peserta tindak tutur telah meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri.
PEMBAHASAN
            Tuturan kaka dan adik itu tidak enak didengar dan mengandung celaan getir. Saat kakak ingin meminjam uang kepada adik perkataan yang ia ucapkan sedikit memaksa. Seperti pada tuturan “Pelit banget sih, kayak mak lampir!”. Pada tuturan tersebut terlihat bahwa kakak sedikit memaksa ketika meminjam uang kepada adik. Ia merasa hanya dengan uang dua puluh ribu saja, masa tidak bisa meminjamkan uang. Jawaban yang dituturkan oleh adik akhirnya terdengar agak kesal dan kasar, kakak, itu yang kayak mak lampir?”
            Tuturan adik dan kakak tersebut melanggar Maksim Penerimaan. Maksim penerimaan ini mewajibkan peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Sedangkan pada tuturan di atas justru meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
                4. 2. 3. Pelanggaran Maksim Kemurahan
                Setiap pelaku transaksi komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain. Penutur yang selalu mematuhi maksim ini akan dianggap sebagai orang yang tahu sopan santun, pintar menghargai orang lain, dan terjauh dari prasangka buruk lawan tuturnya. Bila pelaku transaksi komunikasi mempunyai kecenderungan untuk selalu mematuhi maksim ini, maka jalannya komunikasi dan hubungan interpersonal antara penutur dan petutur akan terjalin dengan sangat harmonis. Karena dari masing-masing pihak akan ada keinginan untuk saling menghargai satu sama lain dan akan terjauh dari tuturan mencaci atau menyakiti lawan tuturnya.
            Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan, maksim kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibakn berperilaku demikian.
              Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan, maka tuturannya masuk dalam tuturan yang melanggar maksim kemurahan. Dikatakan demikian, karena maksim kemurahan menuntut peserta pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian pada orang lain. Seperti tuturan berikut ini:

KONTEKS
Kakak yang memuji baju yang dipakai adik yang berasal dari Jakarta.
DATA
Kakak : dik, bajumu bagus nih!”
Adik : Ya, iya mahal gw belinya jg”.
Kakak : “Hebat…hebat beli dimana dik?”
adik : “Alah….kakak ga akan mampu, emang kenapa mau?”
kakak : “kau beli juga pake uang ibu”
adik : “ heh, siapa bilang, nih baju pake uang keringat gw yah, “
ANALISIS
      1.  Tuturan di atas menyakiti hati dan celaan getir
   2.  Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada kesombongan diri dan prestise.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim   Kemurahan, yakni meminialkan rasa hormat pada orang lain, dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada orang lain
PEMBAHASAN:
Berbeda dengan maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya menyuruh dan menawarkan seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian. Dalam tuturan di atas jelas sekali melanggar maksim kemurahan ini, karena kakak bersikap sopan dan berusaha memaksimalkan lawan tuturnya. Namun yang terjadi justru si lawan tutur yaitu calo justru berlaku tidak sopan dengan menyombongkan diri, bahwa ia adalah orang yang punya uang sehingga bisa membeli baju mahal, sedangkan kakak tersebut tidak akan mampu membeli baju seperti dirinya. adik dalam tuturan ini, berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri.
Adik  dalam tuturan di atas seharusnya berterima kasih telah dipuji oleh si kakak, bukan malah mencela kakak dengan mengatakan bahwa tidak akan membelinya karena tidak memiliki uang. Disini jelas terlihat bahwa ada pelanggaran prinsip kesantunan Leech yaitu dalam maksim kemurahan yang diucapkan oleh adik. Ia yang mendapat pujian, justru melontarkan bahasa yang sangat tidak berkenan di hati kakak. Tuturan adik kepada kakak tersebut dikategorikan TIDAK SANTUN.
            4. 2. 4. Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati
            Maksim Kerendahan Hati menuntut penutur untuk selalu mengurangi pujian pada dirinya sendiri dan memaksimalkan cacian pada dirinya sendiri. Pelaku komunikasi yang menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang rendah hati dan tidak sombong.
            Pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati secara terus menerus akan membentuk stigma kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti sosial, dan bahkan yang terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya, karena bagaimanapun bertransaksi komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim kerendahan hati akan sangat tidak nyaman. Seperti tuturan di bawah ini:

KONTEKS
Kakak dan adik yang saling bertanya mengenai pendapatannya hari itu.
DATA
Kakak : “Gimana tugasnya udah beres?”
Adik : “Ya udahlah, gue gitu loh…kakak giman?
Kakak : “Huh pusing, tugasnya ruwet, yah. Babi, babi..pusing amat ni tugas!”
Adik: “Hahaha..kasian deh lu…”
ANALISIS
     1. Tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan olok-olok/sindiran pedas.
     2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.
     3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kerendahan Hati, karena telah meminimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

PEMBAHASAN
            Tuturan yang diucapkan oleh kaka dan adik di atas kurang enak didengar dan mengandung kepahitan. Saat kakak bertanya kepada adik, ia bertutur dengan santun dan baik-baik. Tetapi ternyata jawaban dari adik tidak mengenakan karena ia menyombongkan diri, sebab dirinya sudah menyelsaikan tugasnya. Akhirnya tuturan selanjutnya yang dituturkan oleh kakak sangatlah kasar. “Babi..babi…pusing amat ni tugas!”. Sepertinya ia begitu lelah . Dari tuturan kakak tersebut telihat sekali bahwa ia begitu putus asa menyelesaikan tugasnya. Lebih menyakitkan lagi, ternyata adik bukanya memberikan semangat kepada kakaknya, tapi justru mengolok-olok sambil tertawa dengan perkataan “Hahaha…Kasian deh lu…”. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang  SANGAT TIDAK SANTUN.
            4. 2. 5. Pelanggaran Maksim Kecocokan   
            Bila komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk meminimalkan ketidaksesuaian antara dirinya dengan yang lain. Pelaku yang menaati maksim ini akan dicap sebagai seorang yang santun dan selalu perhatian terhadap topik yang dibicarakan. Dalam konteks umum atau kontroversial pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk, lawan tutur akan merasa enggan berkomunikasi dengannya.

KONTEKS
Kakak yang mengeluh mengenai hasil ujianya kepada adik.



DATA
Kakak : “udah belajar serius, tapi masih dapat nilai D.”
Adik : “Ah, kata siapa kak, buktinya aku dapat nilai A, hebat kan? Itu sih kakak aja yang bego!”
kakak : “Ah kamu, nilainya cuma segini kali ya?”
ANALISIS
     1. Tuturan di atas kurang enak didengar dan olok-olok/sindiran pedas.
     2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan prestasi.
     3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kecocokan , karena telah meminimalkan kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan ketidakcocokan di antara mereka

PEMBAHASAN:
            Kakak dan adik pada tuturan di atas merupakan tuturan yang kurang enak didengar dan mengandung olok-olok atau sindiran pedas. Saat kakak mengeluh bahwa ia hanya mendapatkan nilai D, padahal ia sudah belajar keras. adik yang diajak bicara oleh kakak menjawab dengan sangat tidak santun. “Ah, kata siapa kak, buktinya saya udah dapet nilai A, hebat kan? Itu sih kapak aja yang bego!”. Dari tuturan tersebut jelas terlihat bahwa adik menyombongkan diri, sebab ia telah mendapatkan nilai A saat itu. Dan yang lebih tidak enak didengar lagi saat adik mengolok-olok sang kakak dengan mengatakan bahwa kakak bego. Namun, kakak dengan tenang dan kelembutan hatinya berpasrah dan menerima ucapan dari adik dengan mengatakan bahwa nasibnya saat  itu mungkin hanya dapet nilai D.
            Seharusnya, adik bersikap sopan, karena yang ia hadapi saat berbicara adalah orangtua yang seharusnya dihormati bukan sebaliknya justru diolok-olok. Bahkan berani mengeluarkan kata kasar dengan mengucapkan kata ‘bego’. Tuturan antara kakak dan adik  tesebut melanggar maksim kecocokan, karena telah meminimalkan kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan keidakcocokan di antara mereka. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Tuturan kakak dan adik di atas dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
            4. 2. 6. Pelanggaran Maksim Simpati
            Penutur yang senantiasa selalu menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang santun dan tahu akan pentingnya sebuah hubungan antarpersonal dan sosial. Penutur akan dianggap sebagai seorang yang pandai memahami perasaan orang lain.
            Simpati adalah suatu model kesantunan dimana setiap pelaku tutur diwajibkan untuk ikut memahami perasaan lawan tuturnya, terutama disaat lawan tuturnya sedang gundah gulana karena didera oleh cobaan hidup atau musibah. Dengan pemahaman rasa seperti ini diharapkan lawan tutur menjadi sedikit terhibur atau merasa nyaman saat melakukan transaksi komunikasi sosial bersama sang pelaku tutur.

KONTEKS
Kakak yang bercerita kepada adiknya temannya bahwa temanya tidak lulus SMA.

DATA
Kakak : “Gila, temen kakak ga lulus SMA! Sekarang susah mau lulus aja tuh!”
Adik: “Hahaha…Kasian anak zaman sekarang, goblok, goblok emang!”
ANALISIS
     1. Tuturan di atas kurang enak didengar, mengandung kepahitan dan olok-olok.
     2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi
     3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kesimpatian, karena peserta pertuturan meminimalkan rasa simpati, dan memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.

PEMBAHASAN:
            Tuturan antara kak dan adik di attas kurang enak didengar, mengandung kepahitan dan olok-olok. Saat kakak bercerita kepada adiknya tentang temannya yang tidak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, adik justru mengolok-olok sambil tertawa dan mengatakan “Hahaha…Kasian anak zaman sekarang, goblok, goblok emang!” Bukannya bersimpati kepada teman kakaknya, justru dia menghina dan mengolok-olok bahwa anak-anak zaman sekarang memang ‘goblok-goblok’. Kata goblok merupakan salah satu kata kasar yang sangat tidak enak didengar.
            Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi. Tuturan yang dituturkan oleh adik tersebut melanggar maksim kesimpatian. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalakn rasa simpati, dan meminimalkan ras antipati kepada lawan tuturnya. Tuturan adik tersebut justru sebaliknya. Yakni meminimalkan rasa simpati dan memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Tuturan adik itu dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.












BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

5. 1. SIMPULAN
            Setelah melakukan analisis terhadap tuturan langsung di lingkungan keluarga, penulis menarik beberapa simpulan sebagai berikut :
1) Tuturan yang ada di lingkungan keluarga khususnya tuturan yang dituturkan oleh kakak dan adik semuanya tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech.
2) Wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh kaka dan adik sangatlah kasar. Wujud ragam bahasa tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan kepahitan, olok-olok atau sindiran pedas dan mengandung celaan getir.
3) Penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh kakak dan adik melanggar maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian. Pelanggaran terbesar ada pada maksim kebijaksanaan. Maksim kebijaksanaan ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
4) Faktor yang menjadi penyebab tuturan kasar adalah faktor lingkung. Faktor lingkungan timbul karena sudah menjadi biasa dilingkungan keluarga. Maksudnya mereka menuturkan tuturan kasar tersebut karena memang lingkungan yang mereka hadapi menerima dan tidak terlalu peduli dan situasinya memang mendukung untuk mengucapkannya.

5. 2. SARAN
            Berdasarkan hasil analisis data dan simpulan yang telah penulis kemukakan di atas, pada bagian ini penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1)      Penulis berharap ada penulisan makalah yang lebih spesifik terhadap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan keluarga, dengan kajian yang menarik, sample yang lebih besar, dan teknik analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan hasil kajian yang sempurna.

2)      Seiring dengan masih jarangnya penelitian mengenai kesantunan berbahasa, maka penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para ahli bahasa. Terutama pihak yang berwenang dalam bidang ini mampu memberikan bantuan demi melancarkan penelitian. 

Bagikan

Jangan lewatkan

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.