BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Mendengar kata keluarga yang meliputi seorang ayah, ibu, anak (kakak, adik), saudara
(Kakek, nenek, paman, bibi, pakde, dan bude, keponakan) mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Ayah adalah kepala keluarga yang membina, memimpin, mangarahkan
serta menjamin keberlangsungan dalam kehidupan berkeluarga terkhusus di dalam
rumah tangganya. Ia selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, berusaha
dengan semangat, yang kadang membuatnya lelah dan letih, sehingga ucapan yang
keluarga kadang lembut dan kadang pula kasar. Ibu adalah seorang istri dari
ayah yang telah melahirkan anak dan mengurusi , merawat serta mengamankan hak
dan milik keluarga, menjadi penyejuk dalam hal ungkapan dan perasaan setiap
yang menyapa, terutama pada anak-anaknya yang selalu memperhatikan dengan
bijaksana. Anak adalah pelengkap
keluarga dan menajdi hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga
yang menajdikan suasa lebih hangat dengan kehadiran anak. Saudara merupakan
pelengkap yang tidak boleh untuk dilupakan dalam kehidupan kelaurga, karena
dengan adanya saudara berate dalam hal hhubungan kekerabatan memanglah menajdi
panutan yang sangat dibutuhkan dalam hal saling tolong menolong.
Di
lingkungan keluarga, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh seorang ayah, ibu, saudara ataupun anak yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis
sendiri pernah melihat bagaimana seorang adik dengan wajah ‘terpaksa’ memberi pukulan telak bagi kakanya. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan itu biasa sehingga
dibiarkan saja.
Lalu
apa yang akan terjadi jika seorang adik itu tidak
memukul kakanya. yang terjadi
selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme)
yang keluar dari mulut kakak tersebut kepada adiknya. Sarkasme yang keluar dari mulut adik kepada kak itu
biasanya adalah nama-nama binatang seperti ‘lawang’, ‘mak matei’, ‘babi’ dan sebagainya. Jika adik tidak menerima kakak memperlakukan dengan kata-kata makian, adik
pun membalas dengan makian yang lebih
kasar, sehingga sering terjadi “adu mulut” antara saudara
kandung menambah suasana menjadi
ricuh.
Salah
satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan
oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :
Kakak : “
duitnya, dua rebu ya?”
Adik : “ ga mau, masa cuma segitu!”
Kakak : “
Terus mintanya berapa?
Adik : “ ga mw tau, sarebu lagi geh!”
Kakak : “ makan nih duit, dasar adik nyeleneh!”
Adik : “Eh…dasar kakak ga
baik”.
Fenomena
kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan
berbahasa yang diucapkan oleh seorang kakak dan adik di salah satu kehidupan
keluarga. Banyak hal yang membuat
kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa
memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh
karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
Sarkasme
adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan
menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan
dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu
(1975:78), sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan
kata-kata kasar dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang
sedang marah.
Berbahasa
adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa
terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara
dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur
tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap
tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab
terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam
interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28).
Di
dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi
itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan
kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi,
perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam,
2001:102).
Etika
juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau
tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri
juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak
(Burhanudin Salam, 2001:102).
Dari
beberapa sumber yang disebutkan itu, dapat diketahui bahwa makalah tentang ‘Realisasi
Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga’ akan dicoba melakukan telaah terhadap tuturan seorang Adik kepada kakanya di lingkungan keluarga yang mengandung kekasaran berbahasa dengan
memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka.
1. 2. Identifikasi Masalah
Hal-hal yang diidentifikasi dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. wujud ragam bahasa yang dipakai oleh adik dan kakak ketika bertengkar.
2. bahasa yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar banyak
yang tidak santun;
3. ragam bahasa yang tidak sepantasnya adik dan kakak ketika bertengkar dan;
4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang
diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar.
1. 3.
Batasan Masalah .
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
- tuturan adik dan kakak ketika bertengkar yang
tidak mengandung kesantunan;
- ragam bahasa
yang tidak sepantasnya diucapkan oleh adik dan
kakak ketika bertengkar;
- adik dan kakak ketika bertengkar yang dituju adalah yang ada di lingkungan keluarga;
- penyimpangan-penyimpangan
prinsip kesopanan yag diucapkan oleh adik dan
kakak ketika bertengkar.
1.
4. Rumusan Masalah:
- Bagaimana
realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan
kealuarga?
- Apa sajakah ujud
ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar?
- Bagaimana
penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar?
1.
5. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah:
- Menyelesaiakn tugas analisi wacana
- mendeskripsikan
kesantunan berbahasa oleh adik dan kakak ketika
bertengkar di lingkungan keluarga;
- untuk mencari
tahu ragam bahasa yang digunakan oleh adik dan
kakak ketika bertengkar;
- mendeskripsikan
penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar dan;
BAB 2
IHWAL
KESANTUNAN
2.
1. Kesantunan (Politenes)
Prinsip kesantunan menurut Leech
(1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan
pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan
suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa
menyinggung pendengar.
Prinsip kesantunan adalah peraturan
dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk
memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Setiap kali berbicara dengan orang
lain, dia akan membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin
dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe
kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat
bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang
dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan
bicara atau ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota golongan
tertentu.
Secara umum, santun merupakan suatu
yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut
sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun
atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks
ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi varibel
penting dalam kesantunan.
Kesantunan merupakan sebuah fenomena
dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada empat ancangan kesantunan dari para ahli
yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1) Kesantunan dilihat
dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973);
2) Kesantunan dilihat dari pandangan kontak
percakapan tokohnya adalah Fraser (1990);
3) Kesantunan dilihat dari pandangan maksim
percakapan tokohnya adalah Leech (1993);
4) Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka
tokohnya adalah Brown dan Levinson (1987).
2.
1. 1. Prinsip Kesantunan Leech
Leech
(1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1)
biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/antipati. Leech (1993) sendiri
mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang
kita yakini tidak santun.
Ada
enam maksim menurut Leech (1993) yakni:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
a.
Kurangi kerugian orang lain.
b.
Tambahi keuntungan orang lain.
2) Maksim Penerimaan/ Penghargan (Approbation Maxim)
a.
Kurangi keuntungan diri sendiri.
b.
Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
a.
Kurangi cacian pada orang lain.
b.
Tambahi pujian orang lain.
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
a.
Kurangi pujian pada diri sendiri.
b.
Tambahi cacian pada diri sendiri.
5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
a.
Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
b.
Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
a.
Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Perbesar simpati antara diri sendiri
dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83 dalam Rahardi 2005: 5)
Maksim
yang berskala dua kutub karena berhubungan dengan keuntungan/kerugian diri
sendiri dan orang lain (Wijana, 1996: 55-60).
1. Maksim yang berpusat pada orang lain.
a.
Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
b.
Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
2. Maksim yang berpusat pada diri
sendiri.
a.
Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation
Maxim)
b.
Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim).
Maksim
yang berskala satu kutub karena berhubungan dengan penilaian buruk bagi penutur
terhadap dirinya sendiri/orang lain.
- Maksim
Penerimaan (Approbation Maxim)
- Maksim
Kesimpatian (Sympath Maxim)
2.
1. 2. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
2. 1. 2. 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Setiap
peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan
keuntungan bagi orang lain.
Contoh pematuhan:
+ : Mari saya bawakan buku Anda.
- : Jangan tidak usah (Wijana, 1996: 56)
Dengan
perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan
apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
2. 1. 2. 2. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
Diutarakan
dengan kalimat komisif dan impositif. Agar setiap penutur sedapat mungkin
menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan orang lain, terutama
kepada orang yang diajak bicara (lawan tutur).
Contoh pematuhan :
+ : Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
- : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)
Dengan
perkataan lain, menurut maksim ini, bahwa orang dianggap santun dalam bertutur
selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini,
diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau
saling merendahkan pihak yang lain.
2. 1. 2. 3.
Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
Dengan
maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati
orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi
keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku
santun, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia
tetap diwajibkan berperilaku demikian (Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
+ : Permainan Anda sangat bagus.
- : Ah, biasa saja. Terima kasih.
(Wijana, 1996: 58)
2. 1. 2. 4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Diungkapkan
dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila kemurahan hati berpusat pada orang
lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta
pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan
meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kau sangat pandai.
- : Ya, saya memang pandai.
2. 1. 2. 5. Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
Jika
lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan
ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur
layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda
kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang
mendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran
:
+ : Kemarin motorku hilang.
- : Oh, kasian deh lu. (Wijana, 1996:60)
2. 1. 2. 6.
Maksim Simpati (Sympath Maxim)
Jika
lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan
ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur
layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda
kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang
mendapatkan kebahagiaan dan kedudukan.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kemarin motorku hilang.
- : Oh, kasian deh lu (Wijana,
1996:61)
2.
2. Skala
Kesantunan Leech
Di
dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat
dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.
Bersifat skala kesantunan yang disampaikan Leech
ini selengkapnya.
- Cost-benefit
scale: representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
- optionality
scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and or hearer
by a specific liguitic act.
- indirectness
scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in the
order to establish the intended speaker meaning.
- authority scale:
representing the status relationship between speaker and hearer.
- sosial distence
scale: Indicating the degree of familiarity between speaker and hearer. (Leech,
1983: 123-126).
Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech
(1983) itu satu persatu dapat dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut:
- cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan
diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin
dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal demikian itu dilihat
dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan
diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur
akan semakin santunlah tuturan itu.
- optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak
atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di
dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau
mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap
semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama
sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan mitra
tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan
pemakaian tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan
semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu.
- indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin
tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin santun lagi tuturan
itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan,
akan dianggap semakin santun tuturan itu.
- authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada
hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya,
akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan
dalam bertutur itu.
- sosial dictance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada
peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak
peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan
itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara
penutur dan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan
mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan
dalam bertutur.
BAB 4
ANALISIS TUTURAN LANGSUNG BERBAHASA
DI LINGKUNGAN KELUARGA
4. 1. Pengantar
Pada bab ini akan dibahas bagaimana
tuturan langsung dan pelanggaran prinsip kesopanan yang diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar di lingkungan keluarga, Uraian ini menggambarkan analisis tuturan langsung yang diucapkan oleh
adik dan kakak ketika bertengkar ditinjau dari kesantunan berbahasa, prinsip
kesopanan (Leech).
Dalam mengumpulkan data penulis memaparkan pengalaman dan pengmatan yang pernah dialami oleh penulis
sendiri. Tuturan-tuturan yang
diucapkan oleh adik dan kakak ketika bertengkar, hanyalah tuturan yang mengandung kategori
ketidaksantunan berbahasa. Hampir sebagian besar tuturan yang diucapkan oleh
mereka adalah tuturan kasar, sangat tidak enak didengar, dan melanggar Prinsip
Kesantunan Leech. Banyak hal yang menjadi penyebab mengapa adik dan kakak ketika bertengkar menuturkan tuturan kasar tersebut. Untuk itu dalam bab ini penulis akan
menganalisis tuturan kasar yang diucapkan oleh adik dan
kakak ketika bertengkar yang
melanggar prinsip sopan santun (Leech.
4.
2. Prinsip Kesantunan Leech
Berbicara
tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi
seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal.
Prinsip Kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan, maksim
penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerndahan hati, maksim kecocokan dan
maksim kesimpatian.
Pada
keenam maksim di atas terdapat bentuk ujaran yang digunakan untuk
mengekspresikannya. Bentuk-bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran
impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk
ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif
adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran
ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis
pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim
digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.
Berikut ini penulis akan menganalisis
tuturan langsung ketidaksantunan berbahasa di lingkungan keluarga oleh adik dan kakak ketika bertengkar. Tuturan yang dianalisis hanyalah tuturan yang melanggar prinsip
kesantunan Leech.
4. 2. 1. Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan
Bijaksana adalah suatu sifat atau
karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan
sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam
menghadapi atau memecahkan suatu masalah.
Dalam konteks tuturan sehari-hari yang
spontan, banyak kita jumpai pelanggaran terhadap maksim ini, baik disengaja
ataupun tidak disengaja. Seperti tuturan di bawah ini:
|
|
KONTEKS
Adik yang meminta
uang kepada kakaknya
|
DATA
kakak : “nih, duitnya, buat
kamu Cuma dua rebu ya?”
Adik : “Masa cuma dua rebu!”
Kakak: “Terus mintanya berapa? Kakak aja cuma tiga
rebu,!”
Adik : “ga mw tau,, pokoknya
seribu lagi!”
kakak: “enak aja,,,!”
Adik : “ huh,,”.
|
ANALISIS
|
PEMBAHASAN:
Tuturan di atas adalah tuturan seorang
kakak dan adik yang sangat tidak santun. kakak yang sudah rela memberikan uangnya sebesar dua
ribu rupiah kepada adik yang sudah membantu membereskan pekerjaan, justru terkena makian dari adik tersebut. Seharusnya adik berterima kasih atas
pemberian uang dari kakak, tapi ternyata adik tersebut tidak terima dengan pemberian yang diberikan oleh kakak, sehingga adik memaki-maki kakaknya itu. Namun,
dengan kata-kata yang kasar pula sang kakak membalas kata-kata kasar dari adiknya. Sampai akhirnya kakak itu pun memberikan
uang seribu lagi sesuai yang diinginkan oleh adik, walaupun kakak tidak memiliki uang, adik
itu tidak peduli karena ia merasa
telah membantu kakaknya dalm menyelesaikan tugas rumah.
Tuturan tersebut melanggar maksim
kebijaksanaan. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.
Maksim ini menggariskan setiap pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang
lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dari tuturan di atas jelas
sekali terlihat bahwa tuturan itu melanggar maksim kebijaksanaan, karena tuturan
antara kakak dan adik justru memaksimalkan kerugian orang lain, dan meminimalkan keuntungan bagi
orang lain. Tuturan kakak dan adik mengandung unsur bicara dengan kepahitan, kurang
enak didengar dan menyakiti hati. Tuturan ketidaksantunan tersebut mengarah
kepada perbuatan dan fisik karena di akhir tuturan calo menuturkan “ ”. Tuturan
antara Kakak dan dan Adik
dikategorikan TIDAK SANTUN.
4. 2. 2. Maksim Penerimaan
Dalam maksim penerimaan, setiap pelaku transaksi komunikasi diharuskan
mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Setiap orang yang mematuhi maksim ini akan mendapatkan citra diri sebagai orang
yang pintar menghormati orang lain, dan akan mampu membangun kehidupan yang
harmonis dan penuh dengan toleransi. Pelanggaran terhadap maksim penerimaan
akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya bagaimana
menghormati orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri hati.
|
|
KONTEKS
Kakak yang
ingin meminjam uang kepada adik.
|
DATA
Kakak :
Dek, minjem duit ya?”
Adik : “ ga
punya kak”?”
Kakak : “ dasar pelit, kayak nek lampir”!”
Adik: “eh, dibilngin ga punya, kaka itu yang kayak mak lampir?”
Kakak : “ aih, ya udahlah,, dasar mak lampir”
|
ANALISIS
|
PEMBAHASAN
Tuturan
kaka dan adik itu tidak enak didengar dan mengandung celaan getir. Saat kakak ingin meminjam uang
kepada adik perkataan yang ia ucapkan
sedikit memaksa. Seperti pada tuturan “Pelit banget
sih, kayak mak lampir!”. Pada tuturan
tersebut terlihat bahwa kakak sedikit memaksa ketika meminjam uang kepada adik. Ia merasa hanya
dengan uang dua puluh ribu saja, masa tidak bisa meminjamkan uang. Jawaban yang
dituturkan oleh adik akhirnya terdengar agak kesal dan kasar, “kakak,
itu yang kayak mak lampir?”.
Tuturan
adik dan kakak tersebut melanggar Maksim Penerimaan. Maksim
penerimaan ini mewajibkan peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian
bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Maksim penerimaan
diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Sedangkan pada tuturan di atas
justru meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan
diri sendiri. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
4. 2. 3. Pelanggaran Maksim
Kemurahan
Setiap pelaku transaksi komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk
mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada orang lain.
Penutur yang selalu mematuhi maksim ini akan dianggap sebagai orang yang tahu
sopan santun, pintar menghargai orang lain, dan terjauh dari prasangka buruk
lawan tuturnya. Bila pelaku transaksi komunikasi mempunyai kecenderungan untuk
selalu mematuhi maksim ini, maka jalannya komunikasi dan hubungan interpersonal
antara penutur dan petutur akan terjalin dengan sangat harmonis. Karena dari
masing-masing pihak akan ada keinginan untuk saling menghargai satu sama lain
dan akan terjauh dari tuturan mencaci atau menyakiti lawan tuturnya.
Berbeda
dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan, maksim kemurahan diutarakan
dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kalimat
ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan
menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan
perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibakn berperilaku demikian.
Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan, maka tuturannya masuk dalam
tuturan yang melanggar maksim kemurahan. Dikatakan demikian, karena maksim
kemurahan menuntut peserta pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang
lain dan menambahi pujian pada orang lain. Seperti tuturan berikut ini:
|
|
KONTEKS
Kakak
yang memuji baju yang dipakai adik yang berasal dari Jakarta.
|
DATA
Kakak : dik, bajumu bagus nih!”
Adik : Ya, iya mahal gw belinya jg”.
Kakak :
“Hebat…hebat beli dimana dik?”
adik : “Alah….kakak ga akan mampu, emang kenapa mau?”
kakak : “kau
beli juga pake uang ibu”
adik : “ heh,
siapa bilang, nih baju pake uang keringat gw yah, “
|
ANALISIS
1. Tuturan di atas menyakiti
hati dan celaan getir
2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada
kesombongan diri dan prestise.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kemurahan,
yakni meminialkan rasa hormat pada orang lain, dan memaksimalkan rasa tidak
hormat pada orang lain
|
PEMBAHASAN:
Berbeda dengan
maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan
asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa
tidak hanya menyuruh dan menawarkan seseorang harus berlaku sopan, tetapi di
dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan
berperilaku demikian. Dalam tuturan di atas jelas sekali melanggar maksim
kemurahan ini, karena kakak bersikap sopan dan berusaha memaksimalkan lawan
tuturnya. Namun yang terjadi justru si lawan tutur yaitu calo justru berlaku
tidak sopan dengan menyombongkan diri, bahwa ia adalah orang yang punya uang
sehingga bisa membeli baju mahal, sedangkan kakak tersebut tidak akan mampu membeli baju seperti
dirinya. adik dalam tuturan ini, berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri.
Adik dalam tuturan di atas seharusnya berterima kasih
telah dipuji oleh si kakak, bukan malah mencela kakak dengan mengatakan bahwa tidak akan membelinya
karena tidak memiliki uang. Disini jelas terlihat bahwa ada pelanggaran prinsip
kesantunan Leech yaitu dalam maksim kemurahan yang diucapkan oleh adik. Ia yang mendapat
pujian, justru melontarkan bahasa yang sangat tidak berkenan di hati kakak. Tuturan adik kepada kakak tersebut
dikategorikan TIDAK SANTUN.
4. 2. 4. Pelanggaran Maksim
Kerendahan Hati
Maksim Kerendahan Hati menuntut penutur untuk selalu mengurangi pujian pada
dirinya sendiri dan memaksimalkan cacian pada dirinya sendiri. Pelaku
komunikasi yang menaati maksim ini akan dianggap sebagai seorang yang rendah
hati dan tidak sombong.
Pelanggaran
terhadap maksim kerendahan hati secara terus menerus akan membentuk stigma
kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti sosial, dan bahkan
yang terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya, karena
bagaimanapun bertransaksi komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim
kerendahan hati akan sangat tidak nyaman. Seperti tuturan di bawah ini:
|
|
KONTEKS
Kakak dan adik
yang saling bertanya mengenai
pendapatannya hari itu.
|
DATA
Kakak : “Gimana tugasnya udah beres?”
Adik : “Ya udahlah, gue gitu loh…kakak giman?
Kakak : “Huh pusing, tugasnya
ruwet, yah. Babi, babi..pusing amat
ni tugas!”
Adik: “Hahaha..kasian deh lu…”
|
ANALISIS
1. Tuturan di atas bicara
dengan kepahitan dan olok-olok/sindiran pedas.
2. Sasaran ujaran tersebut
mengarah kepada perbuatan dan prestasi.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kerendahan Hati, karena telah meminimalkan ketidakhormatan pada
diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
|
PEMBAHASAN
Tuturan yang diucapkan oleh kaka dan adik di atas kurang enak didengar dan mengandung
kepahitan. Saat kakak bertanya kepada adik, ia bertutur dengan santun dan baik-baik. Tetapi ternyata jawaban dari adik tidak mengenakan
karena ia menyombongkan diri, sebab dirinya sudah menyelsaikan
tugasnya. Akhirnya tuturan
selanjutnya yang dituturkan oleh kakak sangatlah kasar. “Babi..babi…pusing amat ni tugas!”.
Sepertinya ia begitu lelah . Dari tuturan kakak tersebut telihat sekali bahwa ia begitu putus asa
menyelesaikan tugasnya. Lebih menyakitkan lagi, ternyata adik bukanya memberikan semangat kepada kakaknya, tapi justru
mengolok-olok sambil tertawa dengan perkataan “Hahaha…Kasian deh lu…”. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan
yang SANGAT TIDAK SANTUN.
4. 2. 5. Pelanggaran Maksim
Kecocokan
Bila komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk meminimalkan
ketidaksesuaian antara dirinya dengan yang lain. Pelaku yang menaati maksim ini
akan dicap sebagai seorang yang santun dan selalu perhatian terhadap topik yang
dibicarakan. Dalam konteks umum atau kontroversial pelaku pelanggaran terhadap
maksim ini akan mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak
berwawasan luas. Yang terburuk, lawan tutur akan merasa enggan berkomunikasi
dengannya.
|
|
KONTEKS
Kakak yang mengeluh mengenai hasil ujianya kepada adik.
|
DATA
Kakak : “udah belajar serius,
tapi masih dapat nilai D.”
Adik : “Ah, kata siapa kak, buktinya aku dapat
nilai A, hebat kan? Itu sih kakak aja yang bego!”
kakak : “Ah kamu, nilainya cuma segini kali ya?”
|
ANALISIS
1. Tuturan di atas kurang enak
didengar dan olok-olok/sindiran pedas.
2. Sasaran ujaran tersebut
mengarah kepada perbuatan prestasi.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kecocokan , karena telah meminimalkan kecocokan di antara mereka,
dan memaksimalkan ketidakcocokan di antara mereka
|
PEMBAHASAN:
Kakak
dan adik pada tuturan di atas
merupakan tuturan yang kurang enak didengar dan mengandung olok-olok atau
sindiran pedas. Saat kakak mengeluh bahwa ia hanya mendapatkan nilai D, padahal ia sudah
belajar keras. adik
yang diajak bicara oleh kakak menjawab dengan sangat tidak santun. “Ah, kata siapa kak,
buktinya saya udah dapet nilai A, hebat
kan? Itu sih kapak aja yang bego!”. Dari tuturan tersebut jelas terlihat bahwa adik menyombongkan diri,
sebab ia telah mendapatkan nilai A saat itu. Dan yang lebih tidak enak didengar lagi
saat adik
mengolok-olok sang kakak dengan mengatakan bahwa kakak bego. Namun, kakak dengan tenang dan kelembutan hatinya berpasrah dan
menerima ucapan dari adik dengan mengatakan bahwa nasibnya saat itu
mungkin hanya dapet nilai D.
Seharusnya,
adik bersikap
sopan, karena yang ia hadapi saat berbicara adalah orangtua yang seharusnya
dihormati bukan sebaliknya justru diolok-olok. Bahkan berani mengeluarkan kata
kasar dengan mengucapkan kata ‘bego’. Tuturan antara kakak
dan adik tesebut melanggar maksim kecocokan, karena
telah meminimalkan kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan keidakcocokan
di antara mereka. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur
untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan
di antara mereka. Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan
asertif. Tuturan kakak dan adik di atas dikategorikan tuturan yang TIDAK SANTUN.
4. 2. 6. Pelanggaran Maksim Simpati
Penutur yang senantiasa selalu menaati maksim ini akan dianggap sebagai
seorang yang santun dan tahu akan pentingnya sebuah hubungan antarpersonal dan
sosial. Penutur akan dianggap sebagai seorang yang pandai memahami perasaan
orang lain.
Simpati
adalah suatu model kesantunan dimana setiap pelaku tutur diwajibkan untuk ikut
memahami perasaan lawan tuturnya, terutama disaat lawan tuturnya sedang gundah
gulana karena didera oleh cobaan hidup atau musibah. Dengan pemahaman rasa
seperti ini diharapkan lawan tutur menjadi sedikit terhibur atau merasa nyaman
saat melakukan transaksi komunikasi sosial bersama sang pelaku tutur.
|
|
KONTEKS
Kakak yang bercerita kepada adiknya
temannya bahwa temanya tidak lulus SMA.
|
DATA
Kakak : “Gila, temen kakak ga lulus SMA! Sekarang susah mau lulus aja
tuh!”
Adik: “Hahaha…Kasian anak zaman sekarang, goblok,
goblok emang!”
|
ANALISIS
1. Tuturan di atas kurang enak
didengar, mengandung kepahitan dan olok-olok.
2. Sasaran ujaran tersebut
mengarah kepada perbuatan dan prestasi
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan dengan Maksim Kesimpatian, karena peserta pertuturan meminimalkan rasa simpati,
dan memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.
|
PEMBAHASAN:
Tuturan antara kak dan adik di attas kurang enak didengar, mengandung kepahitan dan
olok-olok. Saat kakak bercerita kepada adiknya tentang temannya yang tidak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, adik justru mengolok-olok
sambil tertawa dan mengatakan “Hahaha…Kasian
anak zaman sekarang, goblok, goblok
emang!” Bukannya bersimpati kepada teman kakaknya, justru dia menghina dan mengolok-olok bahwa anak-anak zaman
sekarang memang ‘goblok-goblok’. Kata goblok merupakan salah satu kata kasar
yang sangat tidak enak didengar.
Sasaran
ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi. Tuturan yang dituturkan
oleh adik
tersebut melanggar maksim kesimpatian. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan
asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta
pertuturan untuk memaksimalakn rasa simpati, dan meminimalkan ras antipati
kepada lawan tuturnya. Tuturan adik tersebut justru sebaliknya. Yakni meminimalkan
rasa simpati dan memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Tuturan adik itu dikategorikan
tuturan yang TIDAK SANTUN.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5. 1.
SIMPULAN
Setelah melakukan analisis terhadap tuturan langsung di lingkungan keluarga, penulis menarik
beberapa simpulan sebagai berikut :
1) Tuturan yang
ada di lingkungan keluarga khususnya tuturan yang dituturkan oleh kakak
dan adik semuanya tidak mengandung
unsur kesantunan berbahasa dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech.
2) Wujud ragam
bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh kaka dan
adik sangatlah kasar. Wujud ragam
bahasa tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan
kepahitan, olok-olok atau sindiran pedas dan mengandung celaan getir.
3) Penyimpangan
prinsip kesopanan yang diucapkan oleh kakak dan adik
melanggar maksim kebijaksanaan,
maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan
dan maksim kesimpatian. Pelanggaran terbesar ada pada maksim kebijaksanaan.
Maksim kebijaksanaan ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk
meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
4) Faktor yang menjadi penyebab tuturan kasar adalah faktor lingkung. Faktor lingkungan timbul
karena sudah menjadi biasa dilingkungan keluarga. Maksudnya mereka menuturkan tuturan kasar
tersebut karena memang lingkungan yang mereka hadapi menerima dan tidak terlalu
peduli dan situasinya memang mendukung untuk mengucapkannya.
5.
2. SARAN
Berdasarkan
hasil analisis data dan simpulan yang telah penulis kemukakan di atas, pada
bagian ini penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1) Penulis berharap ada penulisan
makalah yang lebih spesifik terhadap
realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan keluarga, dengan kajian yang menarik, sample yang lebih
besar, dan teknik analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan hasil kajian
yang sempurna.
2) Seiring dengan masih jarangnya penelitian mengenai
kesantunan berbahasa, maka penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para
ahli bahasa. Terutama pihak yang berwenang dalam bidang ini mampu memberikan
bantuan demi melancarkan penelitian.
Bagikan
REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA
4/
5
Oleh
ATLET.COM