PROBLEMATIK PEMBELAJARAN KEBAHASAAN
Bab ini akan membahas mengenai hakikat berbicara, problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, serta upaya yang dilakukan dalam meningkatkan keterampilan tersebut.
2.1 Hakikat berbicara
Menulis dan membaca merupakan ragam bahasa yang berkaitan erat dengan bahasa tulis, sedangkan berbicara dan mendengarkan (menyimak) merupakan ragam bahasa lisan. Tidaklah sama antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Dalam bahasa tulis seorang penulis diikat oleh susunan dan kaidah-kaidah penulisan yang lainnya. Dalam bahasa lisan, seorang pembicara juga diikat oleh kaidah-kaidah seperti pelafalan, jeda, intonasi dan sebagainya.
Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama dengan manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan persaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.
Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.
Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.
Kemampuan berbicara merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang guru. Jika seorang guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan baik, maka guru harus memberi contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di samping menguasai teori berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata. Guru yang baik harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan.
2.1.1 Tujuan Berbicara
Seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan responsi atau reaksi. Responsi atau reaksi itu merupakan suatu hal yang menjadi harapan. Tujuan atau harapan pembicaraan sangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara. Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut:
1. mendorong atau menstimulasi,
2. meyakinkan,
3. menggerakkan,
4. menginformasikan, dan
5. menghibur.
Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inpirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Tujuan suatu uraian disebut menggerakkan apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar. Misalnya, berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan suatu resolusi, mengada-kan aksi sosial. Dasar dari tindakan atau perbuatan itu adalah keyakinan yang men-dalam atau terbakarnya emosi.
Tujuan suatu uraian dikatakan menginformasikan apabila pembicara ingin memberi informasi tentang sesuatu agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya seorang guru menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter menyampaikan masalah kebersihan lingkungan, seorang polisi menyampaikan masalah tertib berlalu lintas, dan sebagainya. Tujuan suatu uraian dikatakan menghibur, apabila pembicara bermaksud menggembirakan atau menyenangkan para pendengarnya. Pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan dalam suatu resepsi, ulang tahun, pesta, atau pertemuan gembira lainnya.
Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta memiliki kegemaran berbicara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran keterampil-an berbicara yaitu siswa mampu mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat, secara lisan ataupun sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalam¬an hidup, ide, dan lain sebagainya.
2.1.2 Konsep Dasar Berbicara
Pemahaman konsep berbicara sangatlah dibutuhkan oleh seorang guru dalam mengajar keterampilan berbicara. Konsep dasar berbicara sebagai sarana ber¬komunikasi mencakup tujuh hal, yakni: (1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal; (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi; (3) berbicara adalah ekspresi kreatif; (4) berbicara adalah tingkah laku; (5) berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman; (6) berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala; dan (7) berbicara adalah pancaran pribadi (Iskandar wassid dan Dadang Sunendar, 2008: 286).
Konsep dasar berbicara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal berbicara dan menyimak
dalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak pasti didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan terpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab, interview, dan lain-lain. Dalam komunikasi lisan, pembicara dan penyimak berpadu dalam suatu kegiatan yang resiprokal berganti peran secara spontan, mudah, dan lancar dari pembicara menjadi penyimak, dari penyimak menjadi pembicara.
2) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi.
Ada kalanya berbicara digunakan sebagai alat komunikasi dengan linkungannya. Bila hal ini dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunkan sebagai sarana memperoleh pengetahuan mangadaptasi, mempelajari, dan mengontrol lingkungan¬nya. Seseorang menggunakan keterampilan berbicara sebagai alat mempengaruhi dan mengontrol lingkungannya dan pada gilirannya lingkungan itu pun mempengaruhi dirinya. Berbicara adalah salah satu alat komunikasi terpenting bagi manusia untuk dapat menyatakan diri sebagi anggota masyarakat.
3) Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara, manusia tidak hanya sekedar menyatakan ide tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Tingkat intelektual seseorang dapat dilihat dari cara seseorang berbicara. Berbicara tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan memformulasikan ide dan kreativitas baru.
4) Berbicara adalah tingkah laku
Melalui berbicara, pada dasarnya pembicara menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian pembicara. Dalam bahasa Indonesia dikenal peribahasa, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Makna peribahasa tersebut ialah cara seseorang berbahasa, berbicara, bertingkah laku menggambarkan kepribadian orang tersebut. Dalam kepribadian seseorang terselip tingkah lakunya, karena itu dapat dikatakan bahwa berbicara adalah tingkah laku.
5) Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Seorang pembicara yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman akan berbicara dengan baik dan lancar. Begitu pula sebaliknya, pembicara yang kurang memiliki pengalaman akan mengalami hambatan dalam menyampaikan ide dan gagasanya. Hal yang sama terjadi juga pada anak-anak. Semakin banyak pengalaman anak, semakin lancar pula anak berbicara.
6) Berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala
Selain untuk mengeksprsikan ide, perasaan, dan imajinasi, berbicara juga dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman. Melalui berbicara wawasan seseorang akan bertambah karena ia akan mendapat umpan balik dari orang lain.
7) Berbicara adalah pancaran pribadi
Gambaran pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dengan berbagai cara, salah satunya dari cara seseorang berbicara. Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, misalnya pikiran, perasaan, keinginan, ide, dan lain-lain. Kualitas suara, tinggi suara, nada, dan kecepatan suara dalam berbicara merupakan indikator keadaan emosi seseorang. Dengan demikian melalui cara bicaranya, kepribadian seseorang dapat diketahui.
2.1.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Kita dapat melihat faktor-faktor yang menentukan keefektifan berbicara, yaitu pembicara, pendengar dan pokok pembicaraan yang dipilih. Ketiga faktor ini sangat menentukan berhasil tidaknya kegiatan berbicara. Selain itu faktor bahasa tentu juga sangat menentukan. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 31-32) memberikan rambu-rambu agar seseorang mampu berbicara dengan baik seorang pembicara harus, di antaranya: (1) menguasai masalah yang dibicarakan; (2) mulai berbicara jika situasi sudah mengizinkan; (3) pengarahan yang tepat dan memancing perhatian pendengar; (4) berbicara harus jelas dan tidak terlalu cepat;(5) pandangan mata dan gerak-gerik yang membantu; (6) pembicara sopan, hormat dan melihatkan rasa persaudaraan; (7) dalam komunikasi dua arah, mulai berbicara jika sudah dipersila¬kan; (8) kenyaringan suara; dan (9) pendengar akan lebih terkesan kalau ia menyaksi¬kan pembicara sepenuhnya. Sementara itu Hassan Nur (2008: 2) menjelaskan bahwa setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki oleh seorang pembicara jika ingin berhasil dalam berbicara, yaitu: (1) percaya diri; (2) kejelasan suara; (3) ekspresi/ gerak mimik; dan (4) kelancaran komunikasi.
Lebih lanjut, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 87) menjelaskan bahwa keefektifan berbicara ditunjang oleh dua faktor yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi: (1) ketepatan ucapan; (2) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; (3) pilihan kata (diksi); dan (4) ketepatan sasaran pembicaraan. Adapun faktor nonkebahasaan meliputi: (1) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku; (2) mimik dan gerak badan atau pandangan; (3) penampilan; (4) menghargai pendapat orang lain; (4) kenyaringan suara; (5) kelancaran; (6) penalaran; dan (7) penguasaan topik.
2.1.4 Merencanakan Pembicaraan
Keterampilan berbicara di depan khayalak ramai, atau yang dikenal dengan istilah public speaking, tidak akan muncul begitu saja pada diri seseorang. Keterampilan itu diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktik penggunaannya. Bertolak dari masalah itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbicara.
Ehninger (dalam Munawaroh, 2008: 27) mengajukan tujuh langkah yang harus dilalui dalam mempersiapkan suatu pembicaraan. Ketujuh langkah tersebut ialah: (1) menyeleksi dan memusatkan pokok pembicaraan; (2) menentukan tujuan khusus pembicaraan; (3) menganalisis pendengar dan situasi; (4) mengumpulkan materi; (5) menyusun ragangan/kerangka dasar (outline); (6) mengembangkan ragangan/ kerangka dasar; dan (7) menyajikan pembicaraan.Wainringht (dalam Munawaroh, 2008: 28) menyarankan enam langkah yang harus dilalui dan dikuasai oleh seseorang agar tepat menjadi pembicara yang baik.
Langkah-langkah yang disarankan oleh Wainright tersebut adalah: (1) memilih topik; (2) memahami dan menguji topik; (3) memahami latar belakang pendengar dan situasi; (4) menyusun kerangka pembicaraan; (5) mengujicobakan; dan (6) menyaji¬kan.
Gorys Keraf (1980: 316-318) mengusulkan tiga langkah pokok dalam merencanakan suatu pembicaraan. Ketiga langkah pokok itu ialah: (1) meneliti masalah; (2) menyusun uraian; dan (3) mengadakan latihan. Langkah pokok yang masih bersifat umum itu dapat dikembangkan menjadi langkah-langkah yang spesifik. Hasil pengembangan langkah yang bersifat umum menjadi langkah bersifat khusus adalah sebagai berikut: (1) menentukan maksud; (2) menganalisis pendengar dan situasi; (3) memilih dan menyempitkan topik; (4) mengumpulkan bahan; (5) membuat kerangka uraian; (6) menguraikan secara mendetail; dan (7) melatih dengan suara nyaring.
2.1.5 Ciri Pembicara yang Baik
Setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan normal memiliki potensi terampil berbicara. Potensi tersebut akan menjadi kenyataan bila dipupuk, dibina, dan dikembangkan melalui latihan yang sistematis, terarah, dan berkesinambungan. Tanpa latihan potensi tersebut tetap berupa potensi. Kenyataan ini sudah disadari oleh para ahli pengajaran bahasa sehingga ada kecenderungan menggalakkan pengajaran berbicara di sekolah. Berikut ini disajikan sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara.
Menurut Munawaroh (2008: 24) ciri-ciri pembicara yang baik antara lain: (1) memilih topik tepat; (2) menguasai materi; (3) memahami latar belakang pendengar; (4) mengetahui situasi; (5) tujuan jelas; (6) kontak dengan pendengar; (7) kemampuan linguistiknya tinggi; (8) mengusai pendengar; (9) memanfaatkan alat bantu; dan(10) berencana. Apabila cirri-ciri tersebut dimiliki siswa saat praktik berbicara maka dapat dikatakan pembelajaran keterampilan berbicara telah berjalan dan berhasil dengan baik.
Berdasarkan paparan di atas maka berbicara dapat diartikan sebagai suatu aktivitas komunikasi manusia antara sesama untuk menyampaikan pendapat, maksud, pesan, pikiran, gagasan, perasaan dan keinginan. Untuk itu keterampilan berbicara perlu dikuasai, dipahami, dipersiapkan dan direncanakan agar tercipta komunikasi yang baik.
2.1.5 Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara
Berbicara terdiri atas berbicara formal dan berbicara informal. Berbicara dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, bergantung pada landasan dalam peng-klasifikasiannya. Ada diskusi, percakapan, pidato menghibur, ceramah, bertelepon, dan sebagainya. Menurut Parera (1991: 184), untuk jenis berbicara khusus diskusi saja dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (1) diskusi terbatas: konferensi, komisi, wawancara, brain storming; dan (2) diskusi terbuka/ umum: debat, forum, seminar, panel, simposium, ceramah, kelompok, mimbar (wawancara televisi dan radio).
Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi dan informal atau tak resmi. Setiap situasi itu menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi formal permbicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi tak formal, pembicara harus berbicara secara tak formal pula.
Logan (dalam Munawaroh, 2008: 13) menyebutkan jenis-jenis (kegiatan) berbicara informal di antaranya adalah tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan berita, menyampaikan pengumuman, bertelpon, dan memberi petunjuk. Adapun jenis-jenis (kegiatan) berbicara formal di antaranya adalah ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, dan bercerita.
2.1.6 Metode Berbicara
Ada empat unsur yang harus dikuasai oleh seorang pembicara, yaitu unsur psikologis, linguistik, situasi atau konteks, dan pemahaman ide yang akan diujarkan. Unsur psikologis berkaitan dengan kondisi batin pembicara (keberanian). Unsur linguistik berkaitan dengan penguasaan bahasa yang dikuasi pembicara. Unsur situasi atau konteks berkaitan dengan keadaan yang ada disekitar pembicara. Unsur pemahaman ide berkaitan dengan penguasaan bahan pembicaraan oleh pemateri.
Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk mengemukakan pendapat di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide, kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru, kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa percaya diri pada siswa, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik, sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuang-kan ide kreatifnya.
Seperti yang diungkapkan Tarigan, ada empat cara atau teknik yang dapat atau biasa digunakan orang dalam me¬nyampai¬kan pembicaraan yakni:
1. Metode Impromptu ‘Serta Merta’
Dalam hal ini pembicara tidak melakukakan persiapan lebih dulu sebelum berbicara, tetapi secara serta merta atau mendadak berbicara berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.Pembicara menyampaikan pengetahuannya yang ada, dihubungkan dengan situasi dan kepentingan saat itu.
2. Metode Menghafal
Pembicara sebelum melakukan kegiatannya melakukan persiapan secara tertulis, kemudian dihafal kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dalam penyampaiannya pembicara tidak membaca naskah. Ada kecenderungan pembicara berbicara tanpa menghayati maknanya, berbicara terlalu cepat. Hal itu dapat menjemukan, tidak menarik perhatian pendengar. Mungkin juga ada pembicara yang berhasil dengan metode ini. Metode ini biasanya digunakan oleh pembicara pemula atau yang masih belum biasa berbicara di depan orang banyak.
3. Metode Naskah
Pada metode ini pembicara sebelum berbicara terlebih dulu menyiapkan naskah. Pembicara membacakan naskah itu di depan para pendengarnya. Hal ini dapat kita perhatikan pada pidato resmi Presiden di depan anggota DPR/ MPR, pidato pejabat pada upacara resmi. Pembicara harus memiliki kemampuan menempatkan tekanan, nada, intonasi, dan ritme. Cara ini sering kurang komunikatif dengan pendengarnya karena mata dan perhatian pembicara selalu ditujukan ke naskah. Oleh karena itu, apabila akan menggunakan metode harus melakukan latihan yang intensif.
4. Metode Ekstemporan
Dalam hal ini pembicara sebelum melakukan kegiatan berbicara terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cermat dan membuat catatan penting. Catatan itu digunakan sebagai pedoman pembicara dalam melakukan pembicaraannya. Dengan pedoman itu pembicara dapat mengembangkannya secara bebas.
2.2 Problematika Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Dalam setiap pembelajaran bidang studi apapun pasti memiliki masalah, baik masalah yang dihadapi guru maupun masalah yang berasal dari peserta didik. Dalam hal ini, permasalah yang dimaksud terkait dengan keterampilan berbicara siswa, meskipun tetap berpegang kepada hubungan interaktif proses pembelajaran antara guru dan peserta didik.
Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggung¬jawab¬¬kan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.
Pembelajaran berbicara membutuhkan keterampilan dan metode khusus agar keterampilan berbicara tersebut mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan penelitian Mauli, 2013 dengan judul “keefektifan metode tongkat berestafet dalam menceritakan tokoh idola pada pembelajaran berbicara”, kenyataanya di lapangan menunjukan banyak pendidik kurang memahami metode pembelajaran berbicara yang sangkil-mangkus, sehingga keterampilan berbicara siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Adapun masalah-masalah yang berhubungan dengan keterampilan berbicara siswa tersebut adalah siswa kurang percaya diri dalam mengemukakan pendapat, kurang menguaai topik atau informasi yang akan disampaikan, kualitas pembicaraan yang kurang bagus, pembicaraan kurang terkonsep dengan baik.
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu kemampuan siswa dalam berbicara. Secara umum faktor-faktor tersebut yaitu guru, peserta didik, kondisi lingkungan, dan metode pembelajaran. Faktor tersebut berkontribusi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang tidak disenangi dan membosankan.
Faktor-faktor penyebab problematika siswa dalam pembelajaran berbicara ada dua, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal yang dihadapai siswa, yakni;
1. Siswa tidak bersemangat atau tidak berminat dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi pasif, siswa mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia terkesan tidak ada niat, tidak ada gairah dan keseriusan.
2. Penempatan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme. Kemampuan siswa berbicara dalam penguasaan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme masih rendah. Siswa belum terlalu mengerti dimana menempatkan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme dalam berbicara.
3. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, kongkret, dan bervariasi. Siswa dalam berbicara belum terlalu bisa memilih ungkapan yang baik, kongkret dan bervariasi. Hal tersebut terlihat pada siswa yang kurang menggunakan ragam bahasa indonesia dalam berbicara.
4. Merasa malu. Rasa malu pada siswa terlihat pada siswa yang menundukkan kepalanya dan berbicara dengan tersendat-sendat.
5. Rasa takut. Rasa takut ini terlihat pada siswa yang disuruh berbicara di depan kelas oleh guru terlihat takut untuk berbicara. Rasa takut ini bisa berarti takut ditertawakan oleh teman-teman, takut salah, ataupun pun takut bila salah mengucapkan kata.
6. Rasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini terlihat pada siswa yang disuruh maju ke depan kelas untuk berbicara, tetapi siswa tersebut sepertinya enggan untuk maju ke depan. Ketika siswa tersebut sudah berada di depan pun, siswa tidak juga memulai berbicara tetapi hanya diam.
Hambatan eksternal yang dihadapi siswa biasanya:
1. Suara atau bunyi. Suara atau bunyi bisa mempengaruhi konsentrasi dalam berbicara. Hal ini terlihat pada ada beberapa siswa yang terlihat kehilangan konsentrasi dalam berbicara ketika suasana di luar kelas ribut.
2. Media, tidak dipergunakannya media sebagai alat bantu dalam pembelajaranmenyebabkan siswa belum sepenuhnya termotivasi dalam belajar. Masih ada beberapa siswa yang kurang bersemangat dalam belajar.
Permasalahan yang muncul lainnya, yaitu siswa kurang terampil dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Khususnya saat pembelajaran Bahasa Indonesia, masih banyak siswa yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Kebanyak-an guru terutama di sekolah sekolah di kampung menggunakan metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/ tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.
2.3 Solusi dalam meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Berbagai upaya yang menurut kami baik untuk dilakukan berkaitan dengan problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah sebagai berikut.
1. Guru perlu merancang kembali pembelajaran yang lebih menarik, membangkitkan rasa ingin tahu pada diri peserta didik, mendorong anak menjadi lebih aktif, meningkatkan kreativitas anak dan lain-lain. Guru juga dapat menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan sesuai dengan karakteristik anak. Untuk mendukung hal tersebut guru perlu memperdalam/ menambah pengetahuannya dan memperluas wawasannya baik tentang profesi keguruan maupun tentang pengetahuan lainnya.
2. Meningkatkan minat dan semangat siswa, guru perlu menggunakan media sebagai alat bantu dalam pembelajaran. Media dapat mengkonkritkan sesuatu yang abstrak.
3. Membuat suasana kelas yang dapat mendorong anak aktif dalam pembelajaran adalah suasana kelas yang hangat, dalam arti harmonis dan penuh kekeluargaan, sehingga anak merasa nyaman dalam pembelajaran, tidak ada perasaan takut dan tegang terhadap guru, untuk itu guru perlu bersikap ramah dan bijaksana. Guru harus menciptakan komunikasi tiga arah yaitu guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa agar semua siswa turut aktif dalam pembelajaran.
4. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu diberi banyak latihan, misalnya diberi kesempatan bertanya, lebih sering disuruh maju ke depan kelas untuk membaca puisi, bermain drama dan lain-lain. Hal tersebut dimaksudkan melatih mental para siswa agar berani tampil di depan kelas. Kalau mental siswa sudah bagus tinggal membimbing dan membina kemampuan dan keterampilan siswa dalam berbicara. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan sehingga siswa dapat berbicara dengan baik. Kegiatan pembelajaran dalam bentuk diskusi juga turut membantu melatih latihan siswa untuk mengemukakan pendapatnya, sanggahan, alasan dan argumentasi secara lisan.
5. Kebiasaan siswa menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari masih terbawa kedalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi hal tersebut, siswa perlu dibiasakan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat pembelajaran. Selain itu untuk melatih kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia, guru sebaiknya mengingatkan siswa banyak mendengarkan berita-berita dan pidato-pidato berbahasa Indonesia sehingga telinga anak terbiasa mendengar lafal-lafal yang tepat dalam Bahasa Indonesia.
6. Guru menyiasati agar di setiap proses pembelajaran terjadi diskusi, hal ini baik dalam menstimulus keterampilan siswa dalam meningkatkan keterampilan berbicara.
2.1 Hakikat berbicara
Menulis dan membaca merupakan ragam bahasa yang berkaitan erat dengan bahasa tulis, sedangkan berbicara dan mendengarkan (menyimak) merupakan ragam bahasa lisan. Tidaklah sama antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Dalam bahasa tulis seorang penulis diikat oleh susunan dan kaidah-kaidah penulisan yang lainnya. Dalam bahasa lisan, seorang pembicara juga diikat oleh kaidah-kaidah seperti pelafalan, jeda, intonasi dan sebagainya.
Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama dengan manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan persaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.
Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.
Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.
Kemampuan berbicara merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang guru. Jika seorang guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan baik, maka guru harus memberi contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di samping menguasai teori berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata. Guru yang baik harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan.
2.1.1 Tujuan Berbicara
Seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan responsi atau reaksi. Responsi atau reaksi itu merupakan suatu hal yang menjadi harapan. Tujuan atau harapan pembicaraan sangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara. Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut:
1. mendorong atau menstimulasi,
2. meyakinkan,
3. menggerakkan,
4. menginformasikan, dan
5. menghibur.
Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inpirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Tujuan suatu uraian disebut menggerakkan apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar. Misalnya, berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan suatu resolusi, mengada-kan aksi sosial. Dasar dari tindakan atau perbuatan itu adalah keyakinan yang men-dalam atau terbakarnya emosi.
Tujuan suatu uraian dikatakan menginformasikan apabila pembicara ingin memberi informasi tentang sesuatu agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya seorang guru menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter menyampaikan masalah kebersihan lingkungan, seorang polisi menyampaikan masalah tertib berlalu lintas, dan sebagainya. Tujuan suatu uraian dikatakan menghibur, apabila pembicara bermaksud menggembirakan atau menyenangkan para pendengarnya. Pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan dalam suatu resepsi, ulang tahun, pesta, atau pertemuan gembira lainnya.
Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta memiliki kegemaran berbicara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran keterampil-an berbicara yaitu siswa mampu mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat, secara lisan ataupun sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalam¬an hidup, ide, dan lain sebagainya.
2.1.2 Konsep Dasar Berbicara
Pemahaman konsep berbicara sangatlah dibutuhkan oleh seorang guru dalam mengajar keterampilan berbicara. Konsep dasar berbicara sebagai sarana ber¬komunikasi mencakup tujuh hal, yakni: (1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal; (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi; (3) berbicara adalah ekspresi kreatif; (4) berbicara adalah tingkah laku; (5) berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman; (6) berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala; dan (7) berbicara adalah pancaran pribadi (Iskandar wassid dan Dadang Sunendar, 2008: 286).
Konsep dasar berbicara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal berbicara dan menyimak
dalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak pasti didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan terpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab, interview, dan lain-lain. Dalam komunikasi lisan, pembicara dan penyimak berpadu dalam suatu kegiatan yang resiprokal berganti peran secara spontan, mudah, dan lancar dari pembicara menjadi penyimak, dari penyimak menjadi pembicara.
2) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi.
Ada kalanya berbicara digunakan sebagai alat komunikasi dengan linkungannya. Bila hal ini dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunkan sebagai sarana memperoleh pengetahuan mangadaptasi, mempelajari, dan mengontrol lingkungan¬nya. Seseorang menggunakan keterampilan berbicara sebagai alat mempengaruhi dan mengontrol lingkungannya dan pada gilirannya lingkungan itu pun mempengaruhi dirinya. Berbicara adalah salah satu alat komunikasi terpenting bagi manusia untuk dapat menyatakan diri sebagi anggota masyarakat.
3) Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara, manusia tidak hanya sekedar menyatakan ide tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Tingkat intelektual seseorang dapat dilihat dari cara seseorang berbicara. Berbicara tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan memformulasikan ide dan kreativitas baru.
4) Berbicara adalah tingkah laku
Melalui berbicara, pada dasarnya pembicara menyatakan gambaran dirinya. Berbicara merupakan simbolisasi kepribadian pembicara. Dalam bahasa Indonesia dikenal peribahasa, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Makna peribahasa tersebut ialah cara seseorang berbahasa, berbicara, bertingkah laku menggambarkan kepribadian orang tersebut. Dalam kepribadian seseorang terselip tingkah lakunya, karena itu dapat dikatakan bahwa berbicara adalah tingkah laku.
5) Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Seorang pembicara yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman akan berbicara dengan baik dan lancar. Begitu pula sebaliknya, pembicara yang kurang memiliki pengalaman akan mengalami hambatan dalam menyampaikan ide dan gagasanya. Hal yang sama terjadi juga pada anak-anak. Semakin banyak pengalaman anak, semakin lancar pula anak berbicara.
6) Berbicara merupakan sarana memperluas cakrawala
Selain untuk mengeksprsikan ide, perasaan, dan imajinasi, berbicara juga dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman. Melalui berbicara wawasan seseorang akan bertambah karena ia akan mendapat umpan balik dari orang lain.
7) Berbicara adalah pancaran pribadi
Gambaran pribadi seseorang dapat diidentifikasikan dengan berbagai cara, salah satunya dari cara seseorang berbicara. Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati, misalnya pikiran, perasaan, keinginan, ide, dan lain-lain. Kualitas suara, tinggi suara, nada, dan kecepatan suara dalam berbicara merupakan indikator keadaan emosi seseorang. Dengan demikian melalui cara bicaranya, kepribadian seseorang dapat diketahui.
2.1.3 Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Kita dapat melihat faktor-faktor yang menentukan keefektifan berbicara, yaitu pembicara, pendengar dan pokok pembicaraan yang dipilih. Ketiga faktor ini sangat menentukan berhasil tidaknya kegiatan berbicara. Selain itu faktor bahasa tentu juga sangat menentukan. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 31-32) memberikan rambu-rambu agar seseorang mampu berbicara dengan baik seorang pembicara harus, di antaranya: (1) menguasai masalah yang dibicarakan; (2) mulai berbicara jika situasi sudah mengizinkan; (3) pengarahan yang tepat dan memancing perhatian pendengar; (4) berbicara harus jelas dan tidak terlalu cepat;(5) pandangan mata dan gerak-gerik yang membantu; (6) pembicara sopan, hormat dan melihatkan rasa persaudaraan; (7) dalam komunikasi dua arah, mulai berbicara jika sudah dipersila¬kan; (8) kenyaringan suara; dan (9) pendengar akan lebih terkesan kalau ia menyaksi¬kan pembicara sepenuhnya. Sementara itu Hassan Nur (2008: 2) menjelaskan bahwa setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki oleh seorang pembicara jika ingin berhasil dalam berbicara, yaitu: (1) percaya diri; (2) kejelasan suara; (3) ekspresi/ gerak mimik; dan (4) kelancaran komunikasi.
Lebih lanjut, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 87) menjelaskan bahwa keefektifan berbicara ditunjang oleh dua faktor yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi: (1) ketepatan ucapan; (2) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; (3) pilihan kata (diksi); dan (4) ketepatan sasaran pembicaraan. Adapun faktor nonkebahasaan meliputi: (1) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku; (2) mimik dan gerak badan atau pandangan; (3) penampilan; (4) menghargai pendapat orang lain; (4) kenyaringan suara; (5) kelancaran; (6) penalaran; dan (7) penguasaan topik.
2.1.4 Merencanakan Pembicaraan
Keterampilan berbicara di depan khayalak ramai, atau yang dikenal dengan istilah public speaking, tidak akan muncul begitu saja pada diri seseorang. Keterampilan itu diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktik penggunaannya. Bertolak dari masalah itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbicara.
Ehninger (dalam Munawaroh, 2008: 27) mengajukan tujuh langkah yang harus dilalui dalam mempersiapkan suatu pembicaraan. Ketujuh langkah tersebut ialah: (1) menyeleksi dan memusatkan pokok pembicaraan; (2) menentukan tujuan khusus pembicaraan; (3) menganalisis pendengar dan situasi; (4) mengumpulkan materi; (5) menyusun ragangan/kerangka dasar (outline); (6) mengembangkan ragangan/ kerangka dasar; dan (7) menyajikan pembicaraan.Wainringht (dalam Munawaroh, 2008: 28) menyarankan enam langkah yang harus dilalui dan dikuasai oleh seseorang agar tepat menjadi pembicara yang baik.
Langkah-langkah yang disarankan oleh Wainright tersebut adalah: (1) memilih topik; (2) memahami dan menguji topik; (3) memahami latar belakang pendengar dan situasi; (4) menyusun kerangka pembicaraan; (5) mengujicobakan; dan (6) menyaji¬kan.
Gorys Keraf (1980: 316-318) mengusulkan tiga langkah pokok dalam merencanakan suatu pembicaraan. Ketiga langkah pokok itu ialah: (1) meneliti masalah; (2) menyusun uraian; dan (3) mengadakan latihan. Langkah pokok yang masih bersifat umum itu dapat dikembangkan menjadi langkah-langkah yang spesifik. Hasil pengembangan langkah yang bersifat umum menjadi langkah bersifat khusus adalah sebagai berikut: (1) menentukan maksud; (2) menganalisis pendengar dan situasi; (3) memilih dan menyempitkan topik; (4) mengumpulkan bahan; (5) membuat kerangka uraian; (6) menguraikan secara mendetail; dan (7) melatih dengan suara nyaring.
2.1.5 Ciri Pembicara yang Baik
Setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan normal memiliki potensi terampil berbicara. Potensi tersebut akan menjadi kenyataan bila dipupuk, dibina, dan dikembangkan melalui latihan yang sistematis, terarah, dan berkesinambungan. Tanpa latihan potensi tersebut tetap berupa potensi. Kenyataan ini sudah disadari oleh para ahli pengajaran bahasa sehingga ada kecenderungan menggalakkan pengajaran berbicara di sekolah. Berikut ini disajikan sejumlah ciri-ciri pembicara yang baik untuk dikenal, dipahami, dan dihayati, serta dapat diterapkan dalam berbicara.
Menurut Munawaroh (2008: 24) ciri-ciri pembicara yang baik antara lain: (1) memilih topik tepat; (2) menguasai materi; (3) memahami latar belakang pendengar; (4) mengetahui situasi; (5) tujuan jelas; (6) kontak dengan pendengar; (7) kemampuan linguistiknya tinggi; (8) mengusai pendengar; (9) memanfaatkan alat bantu; dan(10) berencana. Apabila cirri-ciri tersebut dimiliki siswa saat praktik berbicara maka dapat dikatakan pembelajaran keterampilan berbicara telah berjalan dan berhasil dengan baik.
Berdasarkan paparan di atas maka berbicara dapat diartikan sebagai suatu aktivitas komunikasi manusia antara sesama untuk menyampaikan pendapat, maksud, pesan, pikiran, gagasan, perasaan dan keinginan. Untuk itu keterampilan berbicara perlu dikuasai, dipahami, dipersiapkan dan direncanakan agar tercipta komunikasi yang baik.
2.1.5 Jenis-Jenis Kegiatan Berbicara
Berbicara terdiri atas berbicara formal dan berbicara informal. Berbicara dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, bergantung pada landasan dalam peng-klasifikasiannya. Ada diskusi, percakapan, pidato menghibur, ceramah, bertelepon, dan sebagainya. Menurut Parera (1991: 184), untuk jenis berbicara khusus diskusi saja dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (1) diskusi terbatas: konferensi, komisi, wawancara, brain storming; dan (2) diskusi terbuka/ umum: debat, forum, seminar, panel, simposium, ceramah, kelompok, mimbar (wawancara televisi dan radio).
Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi dan informal atau tak resmi. Setiap situasi itu menuntut keterampilan berbicara tertentu. Dalam situasi formal permbicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi tak formal, pembicara harus berbicara secara tak formal pula.
Logan (dalam Munawaroh, 2008: 13) menyebutkan jenis-jenis (kegiatan) berbicara informal di antaranya adalah tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan berita, menyampaikan pengumuman, bertelpon, dan memberi petunjuk. Adapun jenis-jenis (kegiatan) berbicara formal di antaranya adalah ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, dan bercerita.
2.1.6 Metode Berbicara
Ada empat unsur yang harus dikuasai oleh seorang pembicara, yaitu unsur psikologis, linguistik, situasi atau konteks, dan pemahaman ide yang akan diujarkan. Unsur psikologis berkaitan dengan kondisi batin pembicara (keberanian). Unsur linguistik berkaitan dengan penguasaan bahasa yang dikuasi pembicara. Unsur situasi atau konteks berkaitan dengan keadaan yang ada disekitar pembicara. Unsur pemahaman ide berkaitan dengan penguasaan bahan pembicaraan oleh pemateri.
Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk mengemukakan pendapat di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide, kurang menguasai materi yang diberikan oleh guru, kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa percaya diri pada siswa, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik, sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuang-kan ide kreatifnya.
Seperti yang diungkapkan Tarigan, ada empat cara atau teknik yang dapat atau biasa digunakan orang dalam me¬nyampai¬kan pembicaraan yakni:
1. Metode Impromptu ‘Serta Merta’
Dalam hal ini pembicara tidak melakukakan persiapan lebih dulu sebelum berbicara, tetapi secara serta merta atau mendadak berbicara berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.Pembicara menyampaikan pengetahuannya yang ada, dihubungkan dengan situasi dan kepentingan saat itu.
2. Metode Menghafal
Pembicara sebelum melakukan kegiatannya melakukan persiapan secara tertulis, kemudian dihafal kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dalam penyampaiannya pembicara tidak membaca naskah. Ada kecenderungan pembicara berbicara tanpa menghayati maknanya, berbicara terlalu cepat. Hal itu dapat menjemukan, tidak menarik perhatian pendengar. Mungkin juga ada pembicara yang berhasil dengan metode ini. Metode ini biasanya digunakan oleh pembicara pemula atau yang masih belum biasa berbicara di depan orang banyak.
3. Metode Naskah
Pada metode ini pembicara sebelum berbicara terlebih dulu menyiapkan naskah. Pembicara membacakan naskah itu di depan para pendengarnya. Hal ini dapat kita perhatikan pada pidato resmi Presiden di depan anggota DPR/ MPR, pidato pejabat pada upacara resmi. Pembicara harus memiliki kemampuan menempatkan tekanan, nada, intonasi, dan ritme. Cara ini sering kurang komunikatif dengan pendengarnya karena mata dan perhatian pembicara selalu ditujukan ke naskah. Oleh karena itu, apabila akan menggunakan metode harus melakukan latihan yang intensif.
4. Metode Ekstemporan
Dalam hal ini pembicara sebelum melakukan kegiatan berbicara terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cermat dan membuat catatan penting. Catatan itu digunakan sebagai pedoman pembicara dalam melakukan pembicaraannya. Dengan pedoman itu pembicara dapat mengembangkannya secara bebas.
2.2 Problematika Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Dalam setiap pembelajaran bidang studi apapun pasti memiliki masalah, baik masalah yang dihadapi guru maupun masalah yang berasal dari peserta didik. Dalam hal ini, permasalah yang dimaksud terkait dengan keterampilan berbicara siswa, meskipun tetap berpegang kepada hubungan interaktif proses pembelajaran antara guru dan peserta didik.
Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggung¬jawab¬¬kan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.
Pembelajaran berbicara membutuhkan keterampilan dan metode khusus agar keterampilan berbicara tersebut mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan penelitian Mauli, 2013 dengan judul “keefektifan metode tongkat berestafet dalam menceritakan tokoh idola pada pembelajaran berbicara”, kenyataanya di lapangan menunjukan banyak pendidik kurang memahami metode pembelajaran berbicara yang sangkil-mangkus, sehingga keterampilan berbicara siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Adapun masalah-masalah yang berhubungan dengan keterampilan berbicara siswa tersebut adalah siswa kurang percaya diri dalam mengemukakan pendapat, kurang menguaai topik atau informasi yang akan disampaikan, kualitas pembicaraan yang kurang bagus, pembicaraan kurang terkonsep dengan baik.
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu kemampuan siswa dalam berbicara. Secara umum faktor-faktor tersebut yaitu guru, peserta didik, kondisi lingkungan, dan metode pembelajaran. Faktor tersebut berkontribusi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang tidak disenangi dan membosankan.
Faktor-faktor penyebab problematika siswa dalam pembelajaran berbicara ada dua, yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal yang dihadapai siswa, yakni;
1. Siswa tidak bersemangat atau tidak berminat dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi pasif, siswa mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia terkesan tidak ada niat, tidak ada gairah dan keseriusan.
2. Penempatan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme. Kemampuan siswa berbicara dalam penguasaan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme masih rendah. Siswa belum terlalu mengerti dimana menempatkan tekanan, nada, jeda, intonasi, dan ritme dalam berbicara.
3. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, kongkret, dan bervariasi. Siswa dalam berbicara belum terlalu bisa memilih ungkapan yang baik, kongkret dan bervariasi. Hal tersebut terlihat pada siswa yang kurang menggunakan ragam bahasa indonesia dalam berbicara.
4. Merasa malu. Rasa malu pada siswa terlihat pada siswa yang menundukkan kepalanya dan berbicara dengan tersendat-sendat.
5. Rasa takut. Rasa takut ini terlihat pada siswa yang disuruh berbicara di depan kelas oleh guru terlihat takut untuk berbicara. Rasa takut ini bisa berarti takut ditertawakan oleh teman-teman, takut salah, ataupun pun takut bila salah mengucapkan kata.
6. Rasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini terlihat pada siswa yang disuruh maju ke depan kelas untuk berbicara, tetapi siswa tersebut sepertinya enggan untuk maju ke depan. Ketika siswa tersebut sudah berada di depan pun, siswa tidak juga memulai berbicara tetapi hanya diam.
Hambatan eksternal yang dihadapi siswa biasanya:
1. Suara atau bunyi. Suara atau bunyi bisa mempengaruhi konsentrasi dalam berbicara. Hal ini terlihat pada ada beberapa siswa yang terlihat kehilangan konsentrasi dalam berbicara ketika suasana di luar kelas ribut.
2. Media, tidak dipergunakannya media sebagai alat bantu dalam pembelajaranmenyebabkan siswa belum sepenuhnya termotivasi dalam belajar. Masih ada beberapa siswa yang kurang bersemangat dalam belajar.
Permasalahan yang muncul lainnya, yaitu siswa kurang terampil dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Khususnya saat pembelajaran Bahasa Indonesia, masih banyak siswa yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Kebanyak-an guru terutama di sekolah sekolah di kampung menggunakan metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/ tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.
2.3 Solusi dalam meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Berbagai upaya yang menurut kami baik untuk dilakukan berkaitan dengan problematika keterampilan berbicara siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah sebagai berikut.
1. Guru perlu merancang kembali pembelajaran yang lebih menarik, membangkitkan rasa ingin tahu pada diri peserta didik, mendorong anak menjadi lebih aktif, meningkatkan kreativitas anak dan lain-lain. Guru juga dapat menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dan sesuai dengan karakteristik anak. Untuk mendukung hal tersebut guru perlu memperdalam/ menambah pengetahuannya dan memperluas wawasannya baik tentang profesi keguruan maupun tentang pengetahuan lainnya.
2. Meningkatkan minat dan semangat siswa, guru perlu menggunakan media sebagai alat bantu dalam pembelajaran. Media dapat mengkonkritkan sesuatu yang abstrak.
3. Membuat suasana kelas yang dapat mendorong anak aktif dalam pembelajaran adalah suasana kelas yang hangat, dalam arti harmonis dan penuh kekeluargaan, sehingga anak merasa nyaman dalam pembelajaran, tidak ada perasaan takut dan tegang terhadap guru, untuk itu guru perlu bersikap ramah dan bijaksana. Guru harus menciptakan komunikasi tiga arah yaitu guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa agar semua siswa turut aktif dalam pembelajaran.
4. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu diberi banyak latihan, misalnya diberi kesempatan bertanya, lebih sering disuruh maju ke depan kelas untuk membaca puisi, bermain drama dan lain-lain. Hal tersebut dimaksudkan melatih mental para siswa agar berani tampil di depan kelas. Kalau mental siswa sudah bagus tinggal membimbing dan membina kemampuan dan keterampilan siswa dalam berbicara. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan berbicara, siswa perlu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan sehingga siswa dapat berbicara dengan baik. Kegiatan pembelajaran dalam bentuk diskusi juga turut membantu melatih latihan siswa untuk mengemukakan pendapatnya, sanggahan, alasan dan argumentasi secara lisan.
5. Kebiasaan siswa menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari masih terbawa kedalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi hal tersebut, siswa perlu dibiasakan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat pembelajaran. Selain itu untuk melatih kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia, guru sebaiknya mengingatkan siswa banyak mendengarkan berita-berita dan pidato-pidato berbahasa Indonesia sehingga telinga anak terbiasa mendengar lafal-lafal yang tepat dalam Bahasa Indonesia.
6. Guru menyiasati agar di setiap proses pembelajaran terjadi diskusi, hal ini baik dalam menstimulus keterampilan siswa dalam meningkatkan keterampilan berbicara.