Lelaki Tua Berkaki Karang dalam Puisi
Lelaki Tua karya Benazir Nafilah
Mengenali kisah dalam puisi memang menggoda, meresapi
nilai dan maknanya menjadikan diri terhanyut, terkatung-katung membekas atau
bahkan terputus tak memahami sekata pun. Sebuah arti terpendam menjejalkan
pemikiran akan sebuah permasalahan, kesemestaan kata semestinya memudahkan, mendamaikan
dan mengertikan, namun itulah sebuah ungkapan perasaan dan pemikiran yang
tertuang dalam bentuk puisi, tak terbendung oleh ritme kebersamaan atau
sederhananya merupakan kebebasan pengarang itu sendiri (licentia poetica).
Bercerita dengan puisi menjadi pilihan sederhana,
bercerita dengan puisi menjadi fenomena keromantikan atau kehalusan makna
kata—walau ada kata-kata realistik—yang tertuang dalam puisi. Keseriusan
penyair lebih jeli dan menggebu, ingin bercerita panjang dengan puisi. Itulah
yang dibuat oleh Benazir Nafilah dalam puisinya yang berjudul “ Lelaki Tua” .
Pemilihan kata sederhana dengan judul “Lelaki Tua”
mendeskripsikan akan sosok lelaki tua. Sebelum membaca seluruh isi puisi,
sekilas makna lelaki tua adalah gambaran tetang sosok lelaki yang sudah tua
dengan jelmaan usia kisaran lima puluh tahunan lebih. Namun setelah membaca
keseluruhan puisi ternyata ceritanya berbeda. Judul dengan isi jauh dari
harapan pembaca.
Lelaki Tua merupakan frase yang memiliki
arti : lelaki sudah tua, lelaki sedang tua, lelaki akan tua, dan lelaki yang
tua. Pemerian kata Tua pada Lelaki bercerita panjang akan sebuah
kehidupan. Judul sederhana dengan adanya makna ambiguitas, memberi kebebasan pada pembaca untuk menentukan sendiri
sosok tua dengan jenis kelamin lelaki tersebut. Tidak memberi jeda dan pembeda.
Jika ada sisipan modalitas kata pada
judul, akan memudahkan pembaca mengenali identitas sosok lelaki dalam puisi
tersebut. Lelaki yang sudah Tua; Lelaki yang akan Tua;Lelaki yang Tua. Merupakan
bentuk komunikasi yang bisa dipahami oleh pembaca siapakah identitas lelaki
itu. Sayangnya hal itu tidak dilakukan oleh penyair sehingga ambiguitas kata lelaki jelas membingungkan pembaca.
Sosok keterwakilan aku dalam puisi ada tiga yang bisa ditemukan. Pertama sosok aku merupakan keterwakilan masyarakat
yang tinggal di sembarang tempat yang menyaksikan kehidupan masyarakat yang
berada di bantaran sungai. Kedua aku masyarakat
yang tinggal di bantaran sungai. Ketiga aku
adalah segala bentuk analogi aku yang tertindas.
Lelaki Tua
lelaki tua di persimpangan jalan
menggerogoti-menjamah jantungku
lalu
dilemparkan ke atas
kanal
Puisi merupakan imajinasi penyair yang dituangkan
dengan ragam kata penuh makna, yang bisa dikutip dari berbagai keadaan. Jika
puisi tersebut digubah ke dalam bentuk parafrase akan memudahkan memahami
maksud puisi. Aku sebagai sosok pencerita berada dekat dengan sosok lelaki tua.
Namun cerita dalam puisi “Lelaki Tua” yang disampaikan sulit untuk ditemukan
makna dan maksudnya. Karena ada penggalan aku
lain yang turut serta bercerita. Bentuk komunikasi pada puisi “Lelaki Tua”
yang menjadi identitas ada dua tokoh pencerita sosok aku dan lelaki tua.
Mengapa puisi menjadi begitu sulit untuk
dipahami? Sebuah keseriusan bagi setiap pembaca turut memahami atau bahkan
mengabaikan puisi tersebut. Puisi karya Benazir Nafilah lebih banyak
mengasosiasikan kepada maksud lain dari maksud sebenarnya yang berarti gaya
bahasa majas lebih banyak digunakan sehingga pembaca yang tidak memahami
tentang penggunaan majas akan kesulitan untuk mengerti maksud puisi dan
berkisah tentang apa.
Apakah puisi “Lelaki Tua” sebuah
penghakiman atau sebuah penerimaan tentang kenyataan hidup yang meliputi
seorang lelaki yang sudah bisa di sebut tua atau sebuah kesewenangan para
penguasa yang memilki kekuasaan. Keluasan puisi tersebut menjadi keheningan
sesaat apa sebenanya yang ingin diungkap oleh penyair.
Tema puisi “Lelaki Tua” menurut saya tentang jual beli antara penguasa
dengan penduduk biasa. Sebutan jual beli bisa di temukan pada kata
aku
menjerit di antara peluh pedagang kaki lima
yang membuat garis nasib
dengan kaki karang dengan sandal tersengal-sengal
di bawah papan iklan
yang tumbuh di punggungku
aku berlarian mengitari
trotoar dan sungai-sungai yang terkapar
Jual beli dalam kukungan kesedihan atau duka merupakan citra lihatan dalam
puisi tersebut, jual beli ilegal dan tidak resmi sering terjadi dikota-kota
besar sehingga banyak yang menjerit menikmati penderitaan /aku menjerit diantara peluh pedagang kaki lima/. Penggunaan kata konkret /kanal/ merujuk pada kisah penduduk
yang berada di pinggiran sungai. Jual beli yang dilakukan cenderung ilegal.
Bangunan yang berada di atasnya pun tidak diakui. Sehingga sering terjadi
pertikaian antara pemerintah dengan penduduk yang berada disekitarnya. Sehingga
kata /lelaki tua di persimpangan jalan/
menggerogoti-menjamah jantungku/ adalah kisah penguasa/kaki karang/ terhadap penduduk biasa /sandal/ yang dengan sengaja mengambil kehidupan /garis nasib/ dengan paksa dan nyata.
Selain kanal , pengunaan kata konkret
lain meliputi jalan, jantung, kanal,
pedagang kaki lima, sandal, papan iklan, tritoar, sungai-sungai, wajah, beranda
, pintu rumah dan pagar-pagar.
Jika puisi itu diparafrase
akan hadir sebuah kisah aku dan lelaki yang sudah tua
Lelaki yang sudah Tua
Lelaki yang sudah tua berada di persimpangan jalan
Menggerogoti lalu-menjamah
jantungku
lalu
jantungku dilemparkan ke atas kanal
-samar-samar
Aku pun tenggelam
aku mulai menjerit di antara
peluh pedagang kaki lima
yang membuat garis nasib dengan kaki karang dengan sandal tersengal-sengal
di bawah papan iklan yang tumbuh di punggungku
aku berlarian mengitari trotoar dan sungai-sungai yang terkapar
-lumpur yang
Mulai mengabur
di dekat beranda dan wajah lelaki tua itu
menarikku lagi ke kanal
menyelam dalam sup yang hambar
akh…jelerit pintu rumah
kemudian memanggilku. pagar-pagar itu!
Sumenep, 2008
Penyusunan
parafase akan memudahkan pembaca mengikuti alur cerita dalam puisi tersebut.
Suasana atau feeling yang terbentuk
dalam puisi tersebut menyedihkan. Ada kehendak yang dipaksakan / di bawah papan iklan yang tumbuh di
punggungku/ seolah penderitaan menjadi ajang sponsor
untuk mendapat bantuan kemanusiaan, hanya sebatas iklan. Suasana itulah yang
tergambar. Penggunaan verifikasi yang meliputi rima, ritme dan metrum dalam
puisi tersebut memiliki kesan memberontak, Pada baris akhir / akh…jelerit pintu rumah memanggilku.
pagar-pagar itu!” menjadi pokok pemasalahan yang tidak bisa terurai karena
menjadikan pagar sebagai pembatas yang permanen.
Perhatian serius penyair terhadap kehidupan sosial
masyarakat pinggiran sungai merupakan bukti bahwa bercerita dengan puisi itu
menjadi ramuan sederhana untuk memberi pesan dan kesan mendalam secara intelektualitas
maupun emosional. Bercerita melalui puisi telah banyak dilakukan oleh sastrawan
Indonesia maupun mancanegara. Ada sebuah pengungkapan tersendiri dan berbeda
yang dilakukan oleh penyair sehingga membentuk romantik, realistik, mistik atau
akademiknya sebuah gejolak permasalahan yang dituangkan dalam tipografi puisi. Misalnya,
“Tragedi Winka dan Sihka” karya
Soetarjdi Colzoum Bachri, “Karawang-Bekasi“
karya Chairil Anwar”, ataupun kisah Tsunami dalam puisi“Siapakah Kita Bila Maut Menjemput Kita” karya Taufik Ismail. kesemuanya
menyandingkan keadaan yang terjadi dan bisa diinterkstualkan sebagai rangkaian
tema tentang keadaan sosial.
Penyair pada puisi “Lelaki Tua” menghendaki bahwa yang
berkuasa itu dianalogikan sebagai lelaki tua. Kata /tua/ disimbolkan sebagai kematangan,
ketegasan disimbolkan dengan /kaki/ yang memilki kemampuan untuk menginjak dan
menendang dengan kekuatan /karang/ sebagai infrastrukturissasi diksi.
Bagikan
kritik sosial :Lelaki Tua Berkaki Karang dalam Puisi Lelaki Tua karya Benazir Nafilah
4/
5
Oleh
ATLET.COM