Saturday, 15 October 2016

kritik sosial :Lelaki Tua Berkaki Karang dalam Puisi Lelaki Tua karya Benazir Nafilah

Lelaki Tua Berkaki Karang dalam Puisi Lelaki Tua karya Benazir Nafilah

 
Mengenali kisah dalam puisi memang menggoda, meresapi nilai dan maknanya menjadikan diri terhanyut, terkatung-katung membekas atau bahkan terputus tak memahami sekata pun. Sebuah arti terpendam menjejalkan pemikiran akan sebuah permasalahan, kesemestaan kata semestinya memudahkan, mendamaikan dan mengertikan, namun itulah sebuah ungkapan perasaan dan pemikiran yang tertuang dalam bentuk puisi, tak terbendung oleh ritme kebersamaan atau sederhananya merupakan kebebasan pengarang itu sendiri (licentia poetica).

Bercerita dengan puisi menjadi pilihan sederhana, bercerita dengan puisi menjadi fenomena keromantikan atau kehalusan makna kata—walau ada kata-kata realistik—yang tertuang dalam puisi. Keseriusan penyair lebih jeli dan menggebu, ingin bercerita panjang dengan puisi. Itulah yang dibuat oleh Benazir Nafilah dalam puisinya yang berjudul “ Lelaki Tua” .

Pemilihan kata sederhana dengan judul “Lelaki Tua” mendeskripsikan akan sosok lelaki tua. Sebelum membaca seluruh isi puisi, sekilas makna lelaki tua adalah gambaran tetang sosok lelaki yang sudah tua dengan jelmaan usia kisaran lima puluh tahunan lebih. Namun setelah membaca keseluruhan puisi ternyata ceritanya berbeda. Judul dengan isi jauh dari harapan pembaca.

Lelaki Tua merupakan frase yang memiliki arti : lelaki sudah tua, lelaki sedang tua, lelaki akan tua, dan lelaki yang tua. Pemerian kata Tua pada Lelaki bercerita panjang akan sebuah kehidupan. Judul sederhana dengan adanya makna ambiguitas, memberi kebebasan pada pembaca untuk menentukan sendiri sosok tua dengan jenis kelamin lelaki tersebut. Tidak memberi jeda dan pembeda. Jika ada sisipan modalitas kata pada judul, akan memudahkan pembaca mengenali identitas sosok lelaki dalam puisi tersebut. Lelaki yang sudah Tua; Lelaki yang akan Tua;Lelaki yang Tua. Merupakan bentuk komunikasi yang bisa dipahami oleh pembaca siapakah identitas lelaki itu. Sayangnya hal itu tidak dilakukan oleh penyair sehingga ambiguitas kata lelaki jelas membingungkan pembaca.

Sosok keterwakilan aku dalam puisi ada tiga yang bisa ditemukan. Pertama sosok aku merupakan keterwakilan masyarakat yang tinggal di sembarang tempat yang menyaksikan kehidupan masyarakat yang berada di bantaran sungai. Kedua aku masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Ketiga aku adalah segala bentuk analogi aku yang tertindas.

Lelaki Tua

lelaki tua di persimpangan jalan
menggerogoti-menjamah jantungku
lalu
            dilemparkan ke atas kanal                                

Puisi merupakan imajinasi penyair yang dituangkan dengan ragam kata penuh makna, yang bisa dikutip dari berbagai keadaan. Jika puisi tersebut digubah ke dalam bentuk parafrase akan memudahkan memahami maksud puisi. Aku sebagai sosok pencerita berada dekat dengan sosok lelaki tua. Namun cerita dalam puisi “Lelaki Tua” yang disampaikan sulit untuk ditemukan makna dan maksudnya. Karena ada penggalan aku lain yang turut serta bercerita. Bentuk komunikasi pada puisi “Lelaki Tua” yang menjadi identitas ada dua tokoh pencerita sosok aku dan lelaki tua.

Mengapa puisi menjadi begitu sulit untuk dipahami? Sebuah keseriusan bagi setiap pembaca turut memahami atau bahkan mengabaikan puisi tersebut. Puisi karya Benazir Nafilah lebih banyak mengasosiasikan kepada maksud lain dari maksud sebenarnya yang berarti gaya bahasa majas lebih banyak digunakan sehingga pembaca yang tidak memahami tentang penggunaan majas akan kesulitan untuk mengerti maksud puisi dan berkisah tentang apa.

Apakah puisi “Lelaki Tua” sebuah penghakiman atau sebuah penerimaan tentang kenyataan hidup yang meliputi seorang lelaki yang sudah bisa di sebut tua atau sebuah kesewenangan para penguasa yang memilki kekuasaan. Keluasan puisi tersebut menjadi keheningan sesaat apa sebenanya yang ingin diungkap oleh penyair.

Tema puisi “Lelaki Tua” menurut saya tentang jual beli antara penguasa dengan penduduk biasa. Sebutan jual beli bisa di temukan pada kata
 aku menjerit di antara peluh pedagang kaki lima
yang membuat garis nasib dengan kaki karang dengan sandal tersengal-sengal
di bawah papan iklan yang tumbuh di punggungku
aku berlarian mengitari trotoar dan sungai-sungai yang terkapar

Jual beli dalam kukungan kesedihan atau duka merupakan citra lihatan dalam puisi tersebut, jual beli ilegal dan tidak resmi sering terjadi dikota-kota besar sehingga banyak yang menjerit menikmati penderitaan /aku menjerit diantara peluh pedagang kaki lima/. Penggunaan kata konkret /kanal/ merujuk pada kisah penduduk yang berada di pinggiran sungai. Jual beli yang dilakukan cenderung ilegal. Bangunan yang berada di atasnya pun tidak diakui. Sehingga sering terjadi pertikaian antara pemerintah dengan penduduk yang berada disekitarnya. Sehingga kata /lelaki tua di persimpangan jalan/ menggerogoti-menjamah jantungku/ adalah kisah penguasa/kaki karang/ terhadap penduduk biasa /sandal/ yang dengan sengaja mengambil kehidupan /garis nasib/ dengan paksa dan nyata. Selain kanal , pengunaan kata konkret lain meliputi jalan, jantung, kanal, pedagang kaki lima, sandal, papan iklan, tritoar, sungai-sungai, wajah, beranda , pintu rumah dan pagar-pagar.
Jika puisi itu diparafrase akan hadir sebuah kisah aku dan lelaki yang sudah tua
Lelaki yang sudah  Tua

Lelaki yang sudah tua berada di persimpangan jalan
Menggerogoti lalu-menjamah jantungku
lalu
           jantungku dilemparkan ke atas kanal               
 -samar-samar
Aku pun tenggelam
aku mulai menjerit di antara peluh pedagang kaki lima
yang membuat garis nasib dengan kaki karang dengan sandal tersengal-sengal
di bawah papan iklan yang tumbuh di punggungku
aku berlarian mengitari trotoar dan sungai-sungai yang terkapar
                                                                                                -lumpur yang
Mulai mengabur
di dekat beranda dan  wajah lelaki tua itu
menarikku lagi ke kanal
menyelam dalam sup yang hambar
akh…jelerit pintu rumah
kemudian memanggilku. pagar-pagar itu!

Sumenep, 2008

Penyusunan parafase akan memudahkan pembaca mengikuti alur cerita dalam puisi tersebut. Suasana atau feeling yang terbentuk dalam puisi tersebut menyedihkan. Ada kehendak yang dipaksakan / di bawah papan iklan yang tumbuh di punggungku/ seolah penderitaan menjadi ajang sponsor untuk mendapat bantuan kemanusiaan, hanya sebatas iklan. Suasana itulah yang tergambar. Penggunaan verifikasi yang meliputi rima, ritme dan metrum dalam puisi tersebut memiliki kesan memberontak, Pada baris akhir / akh…jelerit pintu rumah memanggilku. pagar-pagar itu!” menjadi pokok pemasalahan yang tidak bisa terurai karena menjadikan pagar sebagai pembatas yang permanen.

Perhatian serius penyair terhadap kehidupan sosial masyarakat pinggiran sungai merupakan bukti bahwa bercerita dengan puisi itu menjadi ramuan sederhana untuk memberi pesan dan kesan mendalam secara intelektualitas maupun emosional. Bercerita melalui puisi telah banyak dilakukan oleh sastrawan Indonesia maupun mancanegara. Ada sebuah pengungkapan tersendiri dan berbeda yang dilakukan oleh penyair sehingga membentuk romantik, realistik, mistik atau akademiknya sebuah gejolak permasalahan yang dituangkan dalam tipografi puisi. Misalnya, “Tragedi Winka dan Sihka” karya Soetarjdi Colzoum Bachri, “Karawang-Bekasi“ karya Chairil Anwar”, ataupun kisah Tsunami dalam puisi“Siapakah Kita Bila Maut Menjemput Kita” karya Taufik Ismail. kesemuanya menyandingkan keadaan yang terjadi dan bisa diinterkstualkan sebagai rangkaian tema tentang keadaan sosial.


Penyair pada puisi “Lelaki Tua” menghendaki bahwa yang berkuasa itu dianalogikan sebagai lelaki tua. Kata /tua/ disimbolkan sebagai kematangan, ketegasan disimbolkan dengan /kaki/ yang memilki kemampuan untuk menginjak dan menendang dengan kekuatan /karang/ sebagai infrastrukturissasi diksi. 

Bagikan

Jangan lewatkan

kritik sosial :Lelaki Tua Berkaki Karang dalam Puisi Lelaki Tua karya Benazir Nafilah
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.