Monday, 17 October 2016

SOSIOLOGI SASTRA: SASTRA MASYARAKAT, IDEOLOGI, POLITIK, DAN KEKUASAAN

SOSIOLOGI SASTRA:
SASTRA MASYARAKAT, IDEOLOGI, POLITIK, DAN KEKUASAAN

A. Sosiologi Sastra
Kata sastra secara etimologis dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, Sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana yang artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sedangkan sastra dalam bahasa Barat menggunakan kata Sastra bahasa Barat istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin literature (littera = huruf atau karya tulis). Tata bahasa dan puisi. Istilah Inggris Literature, istilah Jerman Literatur, dan istilah Perancis litterature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Sastra menurut para ahlinya juga mempunyai definisi yang berbeda-beda. Seperti Wellek dan Warren (1987: 3) mengatakan sastra adalah suatu kajian kreatif, sebuah karya seni. Damono (1984: 10) mengatakan bahwa lembaga sosial yang mengunakan bahasa sebagai medium bahasa itu sendiri sebagai ciptaan manusia. Fananie (2000: 123) mengatakan bahwa sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi manusia.  Sehingga dapat disimpulkan dari definisi di atas tentang definisi sastra sebagai berikut, sastra adalah kajian kreatif sebuah karya seni dari ekspresi manusia dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Kata Sosiologi secara terminologi berasal dari kata Yunani, yakni kata socius dan logos. Socius dalam bahasa Yunani berarti kawan atau berkawan ataupun bermasyarakat sedangkan kata logos artinya ilmu bisa juga tentang sesuatu.dengan demikian sosiologi secara harfiah dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Abdulsyani, 1987: 1). Sedangkan definisi sosiologi menurut ahlinya seperti Soemarjan dan Soemarji (1964: 11) mengatakan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Sehingga kalau kata sastra dan sosiologi jika jadikan satu maka akan membentuk arti yang berbeda.

Sosiologi sastra Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 855). Sosiologi Sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra. Karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Sedangkan menurut pandangan Ratna (2003: 25) Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan struktur sosialnya.

Wellek dan Warren (Semi 1989: 178) mengatakan bahwa sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan suatu karya yang menjadi pokok, alat tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan. Sedangkan menurut Abrams (1981: 178) Sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang utamanya ditunjukkan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaaan-keadaaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, jenis pembaca yang dituju.

Mengetahui dari definisi di atas dapat difahami bahwa sosiologi sastra adalah konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang dan pengarang merupakan  makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem  dan nilai dalam masyarakatnya. 

Dari kesadaran  ini muncul  pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya  dan  sosiologi  sastra  berupaya  meneliti  pertautan  antara  sastra dengan  kenyataan  masyarakat  dalam  berbagai  dimensinya  (Soemanto  1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah mimesis yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai cermin.

B. Hubungan Sosiologi Sastra dengan Sastra
Setelah melihat definisi dari sosiologi sastra di atas bahwa hubungan sosiologi sastra dengan sastra adalah tantang persoalan-persoalan unsur sosial manusia, dalam hal ini mencakup tantang manusia dalam aspek status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaaan-keadaaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, karena sastra adalah potret kehidupan yang ditulis oleh pengarang yang sedang terbang dalam alunan imajinasi dan khayali sehingga penggarang secara tidak langsung menuangkan persoalan sosial yang bisa membangun cita rasa dalam karya sastranya, seperti yang dikatakan oleh (Wellek and Werren, 1990: 110 ) Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara sastra dan masyarakat,  literature is an exspression of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup”.

C. Teori Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Sastra
1. Menurut Wellek dan Warren
Pada dasarnya pendekatan pada sastra itu ada dua yaitu pendekatan secara intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur yang ada pada karya sastra seperti tema, alur, setting, penokohan, majas, amanat merupakan unsur-unsur yang ada di dalam sastra itu dan itu dinamakan pendekatan secara intrinsik. Sedangkan pendekatan secara ekstrinsik adalah pendekatan yang melihat dari unsur luar karya sastra tersebut seperti sosiologi yang dialami oleh pengarang, karya sastra dan pembaca.

Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut   di atas ditawarkan oleh Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature (1994:109-133). Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang  yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial. Paparannya sebagai berikut.
a)      Sosiologi Pengarang
Dengan fokus agak berbeda wilayah kajian sosiologi sastra yang berorientasi pada pengarang,  yaitu pada posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dari yang dikemukakan oleh  Wellek dan Warren wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah:
(1)       status sosial pengarang,
(2)       ideologi sosial pengarang,
(3)       latar belakang sosial budaya pengarang,
(4)        posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
(5)       masyarakat pembaca yang dituju,
(6)       mata pencaharian sastrawan  (dasar ekonomi produksi sastra),
(7)       profesionalisme dalam kepengarangan.

b)   Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.

Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994). Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat  dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat.
Mengaji dari dua ahli sastra di atas, ada beberapa masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial.  Di samping itu, sosiologi karya sastra juga mengkaji  sastra sebagai cermin masyarakat, sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosiol budaya suatu masyarakat pada masa tertentu (Junus, 1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari realitas (Harry Levin).

Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra atau unsur intrinsik karya sastra. Senada dengan pengertian di atas, sosiologi karya satra menurut kajian Junus (1986:3-5), sebagai berikut  sosiologi karya sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya ditandai oleh :
(1)       unsur (isi/cerita) dalam karya diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut secara langsung dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya,
(2)       pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang perempuan, lelaki, orang asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu karya sastra atau dalam beberapa karya yang mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan, dan
(3)       pendekatan ini dapat mengambil  motif atau tema yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan di luar karya sastra.  

c)     Sosiologi Pembaca
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya dan harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya.

Hal-hal yang menjadi wilayah kajian sosiologi pembaca antara lain adalah  permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994). Di samping itu, juga mengkaji fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial (Watt, via Damono, 1979).

2. Menurut Ratna
Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
a)      Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
b)      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.
c)      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar belakanginya.
d)     Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
e)      Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

1.    Menurut Ian Watt
Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4) sosiologi sastra meliputi hal-hal berikut:


a)       Konteks Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
(1)   bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
(2)   Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan
(3)   Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

b)        Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah :
(1)      Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis;
(2)      Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
(3)      Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat;
(4)      Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.


D. Sosiologi Sastra dan Ideologi serta Kekuasaan
Lantas apa hubungan sastra dan ideologi serta apa definisi ideologi itu sendiri? Kata ideologi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1755-1836), seorang filsof aristokrat Perancis. Secara kategorikal ideologi menjelajahi wilayah keyakinan, nilai-nilai, dan konsep ideal mengenai pemahaman cara kerja dunia serta bagaimana manusia merespon orang lain dan lingkungannya, membedakan mana yang baik dan benar serta merumuskan sesuatu yang ideal dalam kehidupan. Dalam konteks disiplin ilmu, ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra. Dalam kamus A Glossary of Literary Term (1999) yang ditulis oleh M.H Abram, tidak terdapat “ideologi” dan hanya menjadi bagian dari penjelasan definisi istilah sastra. Wacana ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan kekuasaan. Dalam gagasan Marx dan Engels, ideologi tidak merujuk pada seperangkat keyakinan melainkan lebih sebagai kriteria normatif.

Pertemuan antara sastra dan ideologi terjadi pada saat ilmu lain masuk dalam analisis sastra dan konsekuensinya banyak istilah nonsastra yang diadopsi, salah satunya adalah kata ideologi. Mereka yang tidak memiliki pengetahuan mengenai teori dan kritik sastra akan bias bila melakukan analisis karya sastra. Misalnya, apakah novel berjudul 1984 karya George Orwell merupakan sebuah alegori, sekedar ekspresi atau ramalan George Orwell akan datangnya sebuah negara totaliter? Novel itu ditulis pada saat Perang Dunia Ke-2 baru saja selesai, suatu masa ketika dunia dipenuhi para pemimpin diktator yang memiliki kemiripan untuk dijadikan representasi Big Brother seperti Adolf Hitler, Mao Tse-tung, Francisco Franco dan Benito Mussolini.

Mungkinkah 1984 merupakan gambaran negara yang dipimpin atas salah satu diktator tersebut? Apakah Orwell membawa ideologi tertentu dalam 1984? Diskusi yang tidak menyertakan teori dan kritik sastra dalam membahas novel tersebut justru akan melenyapkan esensi karya sastra itu sendiri hingga pada akhirnya Orwell tidak dilihat sebagai seorang pengarang melainkan sebagai politisi atau bahkan ahli politik, padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Sastra harus dipahami secara terintegrasi, yakni karya sastra itu sendiri (termasuk didalamnya semesta pembaca dan penulis), sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra sedangkan ideologi mengacu pada cara berpikir orang dan kelompok tertentu.

Seorang sastrawan yang mengekspresikan semestanya dalam karya sastra, maka yang dituangkan dalam teks itu adalah apa yang dia ingin katakan, termasuk ideologi yang dia anut dan dengan sendirinya karya sastra itu sendiri sudah berideologi, setidaknya ideologi pengarang. Namun demikian tidak berarti sastrawan menulis karena tujuan propaganda ideologi karena jika itu terjadi maka pada saat itu juga esensi sastra menjadi hilang karena sastra harus bersifal polivalensi secara politik sehingga sastra tidak direduksi menjadi propaganda.

Karya sastra adalah sebuah ruang yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas” kemanusiaan penulis. Ruang itu sendiri bukan alat dan akan berubah menjadi alat ketika terjadi pemaknaan sedangkan pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan penulis melainkan pembaca, entah itu pembaca secara individu, kelompok maupun penguasa. Sebagai sebuah wadah atas gagasan-gagasan yang memang harus dikomunikasikan dan dibagikan pada manusia yang lain, ideologi membutuhkan sebuah media dalam melakukan proses komunikasi ini, sastra salah satunya dan dari sinilah kemudian ruang berubah menjadi alat karena sastra dipahami sebagai praksis dan bukan ontologis sebagaimana terjadi pada sastra yang beraliran Marxisme yang secara tradisi berbicara mengenai bagaimana kebudayaan tersusun hingga mampu membawa kelompok tertentu memiliki kontrol yang maksimal dengan potensi konflik minimal.

Ideologi ini sendiri tidak bermaksud untuk menekan kelompok lain (meskipun potensi itu ada) melainkan lebih kepada persoalan bagaimana institusi yang dominan dalam masyarakat mampu bekerja melalui nilai-nilai, konsepsi dunia, dan sistem simbol dalam rangka melegitimasi kekuasaan. Dalam gagasan Marx ideologi adalah suprastruktur (superstructure) sedangkan sistem sosioekonomi yang berjalan pararel adalah base dan sastra merupakan bagian dari suprastruktur.

Dalam konteks kesusastraan Indonesia, ideologi dalam sastra seyogyanya memiliki makna bagi kepentingan sastra Indonesia dengan tujuan akhir menempatkan manusia Indonesia sebagai obyek sekaligus subyek sastra dalam rangka memaknai zaman. Sebagai contoh, bagaimana ideologi diajarkan dalam sastra dan bagaimana menghadapi beragam pemikiran dalam dunia global yang bergerak dengan begitu cepat. Pengalaman dan kesejarahan sosial, politik dan sastra bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lain, sehingga pengajaran dan pemaknaan sastra juga harus berbeda termasuk bagaimana relasi sastra dan ideologi.

Misalnya, pengalaman Amerika yang kesusastraannnya dimulai dari buku harian serta oleh orang Eropa, tidak bisa dijadikan acuan begitu saja karena banyak perbedaan mendasar yang terjadi dalam kesejarahan sastra kedua bangsa. Tradisi sastra Amerika sangat kuat dengan gagasan puritanisme dan bahkan pemikiran teolog Martin Lutherg mempengaruhi agama dan lembaga-lembaga masyarakat dalam demokrasi di Amerika, satu hal yang tidak terjadi di Indonesia.

Di Indonesia ideologi diambil begitu saja dan dipakai untuk kepentingan pragmatis dengan memperalat sastra, misalnya aliran realisme sosial ala Maxim Gorky yang sempat menghuni tubuh Lekra dan menghantui lawan-lawan ideologinya. Jagad sastra memang selalu menarik, meriah dan “edan” apabila dikaitkan dengan ideologi hingga terjadi polemik terus menerus. Dengan cara semacam ini sastra menjadi berkembang,, hanya saja warna dan kualitas polemik itu tidak terlepas dari watak dan ideologi bangsa yang membentuknya, dan memang begitulah realitas yang terjadi dalam sastra.

D. Sosiologi Sastra dan Politik
Sosiologi sastra sebagai pendekatan dalam menganalisis karya sastra, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.

Ariel melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia mutakhir atas dasar teori hegemoni gramscian terutama dengan model yang digunakan oleh Williams. Dalam studi ini, sastra dianggap sebagai praktek atau aktifitas politik. Sesuai dengan konsep teori hegemoni, yaitu meliputi dua level yaitu politik kesusastraan itu sendiri dan level politik general yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Ariel membagi kajiannya menjadi tiga, yaitu hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir, politik bersastra dan sastra yang berpolitik.

Sastra Indonesia menurut Ariel dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu. Bentuk itu dapat dilihat dari dominasinya dalam berbagai sektor kehidupan yang bersangkutan. Sebagai misal keberadaan kanon sastra yang berkembang dengan definisi konseptual, studi, dan penulisan sejarahnya. Bentuk kesusastraan yang hegemonik tersebut disebut Ariel sebagai kesusastraan yang “diresmikan atau diabsahkan”. Selain itu terdapat beberapa bentuk kesastraan yang subordinat yang dibagi tiga oleh Ariel, yaitu kesusastraan yang terlarang, yang diremehkan, dan dipisahkan. Sastra yang terlarang sebagai contoh adalah karya Pramoedya Ananta Toer, yang diremehkan adalah novel remaja, dan yang dipisahkan, yaitu non-sastra Indonesia dan non-sastra, sebagai contoh yang non-sastra Indonesia adalah sastra daerah dan yang kedua adalah sejumlah karya jurnalistik, essai, dll.

Politik memainkan peranan utama dan latar belakang politik merupakan latar belakang utama, seperti yang ada dalam novel-novel politik dalam bentuknya yang paling ideal, novel politik adalah novel yang berisi ketegangan internal. Untuk menilai novel politik tidaklah jauh berbeda novel lain, yaitu berapa banyak pandangan moral yang disarankannya, dan lain-lain. Howe menyatakan bahwa novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik, tanpa hal itu karyanya akan mentah.

Hal ini ditekankan lagi oleh Max Adereth (1975: 445-485) yang salah satu karangannya membicarakan literature engagee (sastra yang terlibat). Didalamnya Adereth mencoba menampilkan, dan sekaligus mempertahankan, gagasan tentang keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi. Ada dua macam keberatan atau serangan terhadap gagasan keterlibatan ini :
1)      Literature Engagee terlalu berbau politik sehingga tak sehat lagi.
2)      Lebih mendasar dan oleh karenanya lebih sulit dijawab, menyatakan bahwa keadaan masyarakat modern kita ini telah menyebabkan segala macam keterlibatan menjadi kuno.

Pengarang memunyai hak penuh untuk mengharapkan kebebasan dari masyarakatnya, namun masyarakat juga mempunyai alasan untuk mengharapkan rasa tanggung jawab sosial dari pengarang. Rasa tanggung jawab ini berupa rasa kritik, tidak untuk membuat ilusi, tetapi untuk menghancurkannya.








 



BAB III
SIMPULAN

Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994). Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat  dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat.

Telaah sosiologis itu mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53), yaitu:
1.      Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
2.      Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
Sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat

Bagikan

Jangan lewatkan

SOSIOLOGI SASTRA: SASTRA MASYARAKAT, IDEOLOGI, POLITIK, DAN KEKUASAAN
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.