SOSIOLOGI
SASTRA:
SASTRA
MASYARAKAT, IDEOLOGI, POLITIK, DAN KEKUASAAN
A. Sosiologi Sastra
Kata sastra secara etimologis dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Sansekerta, Sas artinya mengajar, memberi petunjuk
atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana yang
artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Sedangkan sastra dalam bahasa Barat menggunakan kata Sastra bahasa Barat
istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin literature
(littera = huruf atau karya tulis). Tata bahasa dan puisi. Istilah
Inggris Literature, istilah Jerman Literatur, dan istilah
Perancis litterature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk
tertulis.
Sastra menurut para ahlinya juga mempunyai definisi
yang berbeda-beda. Seperti Wellek dan Warren (1987: 3) mengatakan sastra adalah
suatu kajian kreatif, sebuah karya seni. Damono (1984: 10) mengatakan bahwa
lembaga sosial yang mengunakan bahasa sebagai medium bahasa itu sendiri sebagai
ciptaan manusia. Fananie (2000: 123) mengatakan bahwa sastra adalah karya seni
yang merupakan ekspresi manusia. Sehingga dapat disimpulkan dari definisi
di atas tentang definisi sastra sebagai berikut, sastra adalah kajian kreatif
sebuah karya seni dari ekspresi manusia dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Kata Sosiologi secara terminologi berasal dari kata
Yunani, yakni kata socius dan logos. Socius dalam bahasa
Yunani berarti kawan atau berkawan ataupun bermasyarakat sedangkan kata logos
artinya ilmu bisa juga tentang sesuatu.dengan demikian sosiologi secara harfiah
dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Abdulsyani, 1987: 1). Sedangkan
definisi sosiologi menurut ahlinya seperti Soemarjan dan Soemarji (1964: 11)
mengatakan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan
proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Sehingga kalau kata
sastra dan sosiologi jika jadikan satu maka akan membentuk arti yang berbeda.
Sosiologi sastra Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989: 855). Sosiologi Sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan
perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra. Karya para kritikus dan
sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status
lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi
ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Sedangkan menurut pandangan Ratna (2003:
25) Sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan
struktur sosialnya.
Wellek dan Warren (Semi 1989: 178) mengatakan bahwa
sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan suatu karya yang menjadi pokok, alat
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta
amanat yang hendak disampaikan. Sedangkan menurut Abrams (1981: 178) Sosiologi
sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra
yang utamanya ditunjukkan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh
status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaaan-keadaaan ekonomi yang
berhubungan dengan pekerjaannya, jenis pembaca yang dituju.
Mengetahui dari definisi di atas dapat difahami bahwa
sosiologi sastra adalah konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa
karya sastra ditulis oleh seorang pengarang dan pengarang merupakan
makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya.
Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam
jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya.
Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa
sastra memiliki keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya dan sosiologi sastra berupaya
meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto
1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato
dan Aristoteles yang mengajukan istilah mimesis yang menyinggung hubungan
antara sastra dan masyarakat sebagai cermin.
B. Hubungan Sosiologi Sastra dengan Sastra
Setelah
melihat definisi dari sosiologi sastra di atas bahwa hubungan sosiologi sastra
dengan sastra adalah tantang persoalan-persoalan unsur sosial manusia, dalam
hal ini mencakup tantang manusia dalam aspek status
kelasnya, ideologi masyarakat, keadaaan-keadaaan ekonomi yang berhubungan
dengan pekerjaannya, karena sastra adalah potret kehidupan yang ditulis oleh
pengarang yang sedang terbang dalam alunan imajinasi dan khayali sehingga
penggarang secara tidak langsung menuangkan persoalan sosial yang bisa membangun
cita rasa dalam karya sastranya, seperti yang dikatakan oleh (Wellek and
Werren, 1990: 110 ) Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara
sastra dan masyarakat, literature is an exspression of society, artinya
sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau
harus mencerminkan dan mengespresikan hidup”.
C. Teori Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Sastra
1. Menurut Wellek dan
Warren
Pada dasarnya pendekatan pada sastra itu ada dua yaitu
pendekatan secara intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur yang ada pada karya
sastra seperti tema, alur, setting, penokohan, majas, amanat merupakan
unsur-unsur yang ada di dalam sastra itu dan itu dinamakan pendekatan secara
intrinsik. Sedangkan pendekatan secara ekstrinsik adalah pendekatan yang
melihat dari unsur luar karya sastra tersebut seperti sosiologi yang dialami
oleh pengarang, karya sastra dan pembaca.
Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut di
atas ditawarkan oleh Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature
(1994:109-133). Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan
institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi
sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang
yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Sosiologi
karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang
tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah
sosial. Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya
sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar
sosial, perubahan dan perkembangan sosial. Paparannya sebagai berikut.
a)
Sosiologi
Pengarang
Dengan fokus agak berbeda wilayah kajian sosiologi
sastra yang berorientasi pada pengarang, yaitu pada posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dari yang
dikemukakan oleh Wellek dan Warren wilayah yang menjadi kajian sosiologi
pengarang antara lain adalah:
(1) status
sosial pengarang,
(2) ideologi
sosial pengarang,
(3) latar
belakang sosial budaya pengarang,
(4) posisi
sosial pengarang dalam masyarakat,
(5) masyarakat
pembaca yang dituju,
(6) mata
pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra),
(7) profesionalisme
dalam kepengarangan.
b) Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra
yang mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang
hidup dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato,
yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi
karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu
sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994).
Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai
cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap
mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam
masyarakat.
Mengaji dari dua ahli sastra di atas, ada beberapa
masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang
berkaitan dengan masalah sosial. Di samping itu, sosiologi karya sastra
juga mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat, sastra sebagai dokumen
sosial budaya yang mencatat kenyataan sosiol budaya suatu masyarakat pada masa
tertentu (Junus, 1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari realitas
(Harry Levin).
Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan
untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya
tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian
hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra
atau unsur intrinsik karya sastra. Senada dengan pengertian di atas, sosiologi
karya satra menurut kajian Junus (1986:3-5), sebagai berikut sosiologi
karya sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya ditandai
oleh :
(1)
unsur (isi/cerita) dalam karya
diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut secara
langsung dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya
memindahkan unsur itu ke dalam dirinya,
(2)
pendekatan ini dapat mengambil citra
tentang sesuatu, misalnya tentang perempuan, lelaki, orang asing, tradisi,
dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu karya sastra atau dalam beberapa karya
yang mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan, dan
(3)
pendekatan ini dapat mengambil
motif atau tema yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan
kenyataan di luar karya sastra.
c) Sosiologi Pembaca
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian
sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra
dengan pembaca. Pembaca merupakan audiens
yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya
dengan masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994),
seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya,
tetapi juga dapat menciptakan publiknya dan harus menciptakan cita rasa baru
untuk dinikmati oleh publiknya.
Hal-hal yang menjadi wilayah kajian sosiologi pembaca
antara lain adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial,
perubahan dan perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994). Di samping itu,
juga mengkaji fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial (Watt, via Damono, 1979).
2. Menurut
Ratna
Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi
sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan
antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
a) Pemahaman
terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.
b) Pemahaman
terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang
terkandung didalamnya.
c) Pemahaman
terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar
belakanginya.
d) Sosiologi
sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
e) Sosiologi
sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan
masyarakat.
1.
Menurut Ian
Watt
Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4) sosiologi sastra
meliputi hal-hal berikut:
a) Konteks
Sosial Pengarang
Ada
kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan
masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi
karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
(1) bagaimana
pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman
masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
(2) Profesionalisme
dalam kepengaragannya; dan
(3) Masyarakat
apa yang dituju oleh pengarang.
b)
Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin
keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu,
banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam
klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah :
(1) Sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab
banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku
lagi pada waktu ia ditulis;
(2) Sifat “lain
dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya;
(3) Genre sastra
sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial
seluruh mayarakat;
(4) Sastra yang
berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja
tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan
untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan
untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian,
pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai
cermin masyarakat.
D. Sosiologi Sastra dan Ideologi serta Kekuasaan
Lantas apa hubungan sastra dan
ideologi serta apa definisi ideologi itu sendiri? Kata ideologi untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1755-1836), seorang filsof aristokrat
Perancis. Secara kategorikal ideologi menjelajahi wilayah keyakinan, nilai-nilai,
dan konsep ideal mengenai pemahaman cara kerja dunia serta bagaimana manusia
merespon orang lain dan lingkungannya, membedakan mana yang baik dan benar
serta merumuskan sesuatu yang ideal dalam kehidupan. Dalam konteks disiplin
ilmu, ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra. Dalam kamus A
Glossary of Literary Term (1999) yang ditulis oleh M.H Abram, tidak terdapat “ideologi”
dan hanya menjadi bagian dari penjelasan definisi istilah sastra. Wacana
ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan
kekuasaan. Dalam gagasan Marx dan Engels, ideologi tidak merujuk pada
seperangkat keyakinan melainkan lebih sebagai kriteria normatif.
Pertemuan antara sastra dan ideologi
terjadi pada saat ilmu lain masuk dalam analisis sastra dan konsekuensinya
banyak istilah nonsastra yang diadopsi, salah satunya adalah kata ideologi.
Mereka yang tidak memiliki pengetahuan mengenai teori dan kritik sastra akan
bias bila melakukan analisis karya sastra. Misalnya, apakah novel berjudul 1984
karya George Orwell merupakan sebuah alegori, sekedar ekspresi atau ramalan
George Orwell akan datangnya sebuah negara totaliter? Novel itu ditulis pada
saat Perang Dunia Ke-2 baru saja selesai, suatu masa ketika dunia dipenuhi para
pemimpin diktator yang memiliki kemiripan untuk dijadikan representasi Big
Brother seperti Adolf Hitler, Mao Tse-tung, Francisco Franco dan Benito
Mussolini.
Mungkinkah 1984 merupakan gambaran
negara yang dipimpin atas salah satu diktator tersebut? Apakah Orwell membawa
ideologi tertentu dalam 1984? Diskusi yang tidak menyertakan teori dan kritik
sastra dalam membahas novel tersebut justru akan melenyapkan esensi karya
sastra itu sendiri hingga pada akhirnya Orwell tidak dilihat sebagai seorang
pengarang melainkan sebagai politisi atau bahkan ahli politik, padahal dalam
kenyataannya tidak demikian. Sastra harus dipahami secara terintegrasi, yakni
karya sastra itu sendiri (termasuk didalamnya semesta pembaca dan penulis),
sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra sedangkan ideologi mengacu pada
cara berpikir orang dan kelompok tertentu.
Seorang sastrawan yang
mengekspresikan semestanya dalam karya sastra, maka yang dituangkan dalam teks
itu adalah apa yang dia ingin katakan, termasuk ideologi yang dia anut dan dengan
sendirinya karya sastra itu sendiri sudah berideologi, setidaknya ideologi
pengarang. Namun demikian tidak berarti sastrawan menulis karena tujuan
propaganda ideologi karena jika itu terjadi maka pada saat itu juga esensi
sastra menjadi hilang karena sastra harus bersifal polivalensi secara politik
sehingga sastra tidak direduksi menjadi propaganda.
Karya sastra adalah sebuah ruang
yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas” kemanusiaan penulis.
Ruang itu sendiri bukan alat dan akan berubah menjadi alat ketika terjadi
pemaknaan sedangkan pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan penulis
melainkan pembaca, entah itu pembaca secara individu, kelompok maupun penguasa.
Sebagai sebuah wadah atas gagasan-gagasan yang memang harus dikomunikasikan dan
dibagikan pada manusia yang lain, ideologi membutuhkan sebuah media dalam
melakukan proses komunikasi ini, sastra salah satunya dan dari sinilah kemudian
ruang berubah menjadi alat karena sastra dipahami sebagai praksis dan bukan
ontologis sebagaimana terjadi pada sastra yang beraliran Marxisme yang secara
tradisi berbicara mengenai bagaimana kebudayaan tersusun hingga mampu membawa
kelompok tertentu memiliki kontrol yang maksimal dengan potensi konflik
minimal.
Ideologi ini sendiri tidak bermaksud
untuk menekan kelompok lain (meskipun potensi itu ada) melainkan lebih kepada
persoalan bagaimana institusi yang dominan dalam masyarakat mampu bekerja
melalui nilai-nilai, konsepsi dunia, dan sistem simbol dalam rangka
melegitimasi kekuasaan. Dalam gagasan Marx ideologi adalah suprastruktur
(superstructure) sedangkan sistem sosioekonomi yang berjalan pararel adalah
base dan sastra merupakan bagian dari suprastruktur.
Dalam konteks kesusastraan
Indonesia, ideologi dalam sastra seyogyanya memiliki makna bagi kepentingan
sastra Indonesia dengan tujuan akhir menempatkan manusia Indonesia sebagai
obyek sekaligus subyek sastra dalam rangka memaknai zaman. Sebagai contoh,
bagaimana ideologi diajarkan dalam sastra dan bagaimana menghadapi beragam
pemikiran dalam dunia global yang bergerak dengan begitu cepat. Pengalaman dan
kesejarahan sosial, politik dan sastra bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa
lain, sehingga pengajaran dan pemaknaan sastra juga harus berbeda termasuk
bagaimana relasi sastra dan ideologi.
Misalnya, pengalaman Amerika yang
kesusastraannnya dimulai dari buku harian serta oleh orang Eropa, tidak bisa
dijadikan acuan begitu saja karena banyak perbedaan mendasar yang terjadi dalam
kesejarahan sastra kedua bangsa. Tradisi sastra Amerika sangat kuat dengan
gagasan puritanisme dan bahkan pemikiran teolog Martin Lutherg mempengaruhi
agama dan lembaga-lembaga masyarakat dalam demokrasi di Amerika, satu hal yang
tidak terjadi di Indonesia.
Di Indonesia ideologi diambil begitu
saja dan dipakai untuk kepentingan pragmatis dengan memperalat sastra, misalnya
aliran realisme sosial ala Maxim Gorky yang sempat menghuni tubuh Lekra dan
menghantui lawan-lawan ideologinya. Jagad sastra memang selalu menarik, meriah
dan “edan” apabila dikaitkan dengan ideologi hingga terjadi polemik terus
menerus. Dengan cara semacam ini sastra menjadi berkembang,, hanya saja warna
dan kualitas polemik itu tidak terlepas dari watak dan ideologi bangsa yang
membentuknya, dan memang begitulah realitas yang terjadi dalam sastra.
D. Sosiologi Sastra dan Politik
Sosiologi
sastra sebagai pendekatan dalam menganalisis karya sastra, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut
pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan,
sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini
mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya
sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah,
pendekatan
sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan
landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena
sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret,
terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana
baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi,
imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Ariel melakukan
studi mengenai kesusastraan Indonesia mutakhir atas dasar teori hegemoni gramscian terutama dengan model yang
digunakan oleh Williams. Dalam studi ini,
sastra dianggap sebagai praktek atau aktifitas politik. Sesuai dengan konsep
teori hegemoni, yaitu meliputi dua level yaitu politik kesusastraan itu sendiri
dan level politik general yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Ariel membagi kajiannya
menjadi tiga, yaitu hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir, politik bersastra
dan sastra yang berpolitik.
Sastra
Indonesia menurut Ariel dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu. Bentuk
itu dapat dilihat dari dominasinya dalam berbagai sektor kehidupan yang bersangkutan.
Sebagai misal keberadaan kanon sastra yang berkembang dengan definisi
konseptual, studi, dan penulisan sejarahnya. Bentuk kesusastraan yang hegemonik
tersebut disebut Ariel sebagai kesusastraan yang “diresmikan atau diabsahkan”.
Selain itu terdapat beberapa bentuk kesastraan yang subordinat yang dibagi tiga
oleh Ariel, yaitu kesusastraan yang terlarang, yang diremehkan, dan dipisahkan.
Sastra yang terlarang sebagai contoh adalah karya
Pramoedya Ananta Toer, yang diremehkan adalah novel
remaja,
dan yang dipisahkan, yaitu non-sastra
Indonesia dan non-sastra, sebagai contoh yang non-sastra Indonesia adalah
sastra daerah dan yang kedua adalah sejumlah karya jurnalistik, essai, dll.
Politik
memainkan peranan utama dan latar belakang politik merupakan latar belakang
utama, seperti yang ada dalam novel-novel politik dalam bentuknya yang paling
ideal, novel politik adalah novel yang berisi ketegangan internal. Untuk
menilai novel politik tidaklah jauh berbeda novel lain, yaitu berapa banyak
pandangan moral yang disarankannya, dan lain-lain. Howe menyatakan bahwa
novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik,
tanpa hal itu karyanya akan mentah.
Hal
ini ditekankan lagi oleh Max Adereth (1975: 445-485) yang salah satu karangannya
membicarakan literature engagee (sastra yang terlibat). Didalamnya
Adereth mencoba menampilkan, dan sekaligus mempertahankan, gagasan
tentang keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi. Ada dua
macam keberatan atau serangan terhadap gagasan keterlibatan ini :
1)
Literature Engagee terlalu berbau politik sehingga tak sehat lagi.
2)
Lebih mendasar dan oleh
karenanya lebih sulit dijawab, menyatakan bahwa keadaan masyarakat modern kita
ini telah menyebabkan segala macam keterlibatan menjadi kuno.
Pengarang memunyai hak penuh untuk
mengharapkan kebebasan dari masyarakatnya, namun masyarakat juga mempunyai
alasan untuk mengharapkan rasa tanggung jawab sosial dari pengarang. Rasa
tanggung jawab ini berupa rasa kritik, tidak untuk membuat ilusi, tetapi untuk
menghancurkannya.
BAB III
SIMPULAN
Sosiologi
karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam
hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam masyarakat.
Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang menganggap sastra
sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya
sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat
dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek
dan Warren, 1994). Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra
mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya
sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat
dalam masyarakat.
Telaah sosiologis itu mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan
Werren dalam Atar Semi: 53), yaitu:
1. Sosiologi pengarang: yakni yang
mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang
menyangkut status pengarang.
2. Sosiologi karya sastra: yakni
mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya
Sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan tentang
pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat
Bagikan
SOSIOLOGI SASTRA: SASTRA MASYARAKAT, IDEOLOGI, POLITIK, DAN KEKUASAAN
4/
5
Oleh
ATLET.COM