1.1
Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan karya
imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Pradopo (2002:3)
puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam
aspeknya, salah stunya adalah dari aspek bentuk dan makna. Bentuk dan makna bahasa
sastra sebagai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memeroleh nilai seni
karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan bentuk style ‘gaya
bahasa’ sebagai sarana sastra. Hal ini bertujuan agar bahasa menjadi kebutuhan
dalam bahasa sastra sebagai fungsi estetis yang dominan. Bentuk bahasa sastra
berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem
semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan
sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Abrams, 1981:
172). Sebagai medium karya sastra, bahasa berkedudukan sebagai semiotik tingkat
kedua dengan konvensi sastra. Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa adalah cara
penuturan yang bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984:
131).
Sebagai sebuah media ekspresi
sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bentuk dan makna bahasa
sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat
konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang
rasional dan denotatif.
Secara rinci, bentuk dan makna
bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional artinya bentuk dan
makna bahasa sastra megandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim,
manasuka atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi
peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosisasi-asosiasi, konotatif
artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat
referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25), bergaya (berjiwa)
merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk
menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis
(Pradopo, 1997: 40), dan ketidaklangsungan
ekspresi.
Menurut Riffaterre (1978: 1)
menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori
Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa
atau fiksi. Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan
oleh tiga hal, yakni: penggantian
arti (displacing of
meaning) dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia, penyimpangan arti (distorting
of meaning) disebabkan oleh adanya pemakaian: ambiguitas, kontradiksi, dan
nonsense, dan penciptaan arti
(creating of meaning) yaitu
pengorganisasian teks.
Penggunaan medium bentuk dan makna bahasa
sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh seluruh kehidupan manusia. Karya
sastra dalam bentuknya memuat berbagai aspek dimensi kehidupan manusia. Ia
tidak hanya mencakup satu unsur peradaban dan kebudayaan, tetapi seluruh unsur
yang menyertai peran manusia di dunia sebagai pelaku dalam peradaban tersebut.
2.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini adalah bentuk dan makna terhadap bahasa dan sastra.
2.3. METODE
PENULISAN
Penulis menggunakan metode studi pustaka dalam
penyusunan makalah. Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan
dengan penulisan makalah. Selain itu, sumber lain seperti internet juga dipakai
penulis untuk memperkuat sumber yang sudah ada.
2.4. SISTEMATIKA
PENULISAN
Adapun sistematika penulisan makalah ini dibagi
dalam tiga bab, yaitu BAB I PENDAHULUAN yang berisi: Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Metode Penulisan, serta Sistematika Penulisan, Tujuan Penulisan, BAB
II PEMBAHASAN yang berisi: dan BAB III PENUTUP yang berisi: Iktisar.
2.5
TUJUAN PENULISAN
2.1
Tinjauan Bentuk dan Makna dari Ranah Bahasa
Menurut Wijana (1998:1) secara garis besar elemen bahasa terdiri
dari dua macam, pertama,elemen bentuk
dan kedua, elemen makna atau untuk
ringkasnya disebut bentuk dan makna. Bentuk adalah elemen fisik tuturan.
Elemen fisik ini terdiri dari tataran terendah sampai tataran tertinggi bentuk
yang diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat,
paragraf, dan wacana. Bunyi merupakan satuan bahasa terkecil, sedangkan wacana
merupakan satuan bahasa terbesar. Didalam hirarki gramatikal satuan kebahasaan
yang disebut wacana, menduduki tataran tertinggi yang perwujudannya dapat
berupa karangan yang utuh seperti novel,
buku, seri ensiklopedia.
Di
dalam pertuturan tindak bahasa, beberapa bentuk kebahasaan, seperti bunyi dan
suku kata hadir tidak berdiri sendiri, melainkan selalu bersama bunyi atau suku
kata yang lainnya. Hannya saja, untuk kepentingan analisis bahasa didalam studi
fonetik atau fonologi unsur-unsur ini dipisahkan dari lingkungan atau unsur
yang berbeda didekatnya.
Bentuk-bentuk
kebahasaan yang berwujud bunyi, suku kata, morfem, kata, frase, klausa,
kalimat, paragraf, dan wacana adalah unsur kebahasaan yang dipisah-pisahkan
atau disegmentasikan. Oleh karenanya, unsur-unsur ini disebut unsur segmental.
Selain unsur ini terdapat juga unsur yang tak dapat dipisahkan, yakni unsur
suprasegmental. Unsur-unsur suprasegmental terdiri dari keras lemahnya suara
(tekanan), tinggi rendahnya suara (nada), panjang pendeknya ucapan (durasi),
dan jarak waktu pengucapan (jeda). Variasi keempat unsur suprasegmental didalam
tuturan seseorang disebut intonasi. Di
dalam bahasa tulis unsur-unsur suprasegmental dikenal dengan tanda baca,
seperti koma (,), titik(.), dsb. Bagaimanapun lengkapnya kaidah tata tulis
sebuah bahasa, kaidah-kaidah itu tidak akan mampu menggambarkan keseluruhan
variasi unsur-unsur segmental bahasa lisan.
Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan makna yang
dinyatakannya. Menurut ayah ilmu bahasa moderen Ferdinand de Saussure
mengemukakan bahwa, hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbiter dan
konvnsional. Sifat arbiter mengandung pengertian tidak ada hubungan kausal,
logis, alamiah, ataupun historis antara bentuk dan makna itu. Sementara itu,
sifat konvensional menyarnkan bahwa hubungan antara bentuk kebahasaan dan
maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama.
2.2 Tinjauan Struktur
Bentuk Fisik Puisi
Puisi sebagai sebuah karya seni
sastra yang dapat dikaji dari bermacam-macam aspek bentuknya. Puisi dapat
dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur
yang terbentuk dari bermacam-macam unsur bentuk dan makna kepuitisan. Adapun
struktur bentuk fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
a. Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti
halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya,
hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap
puisi.
b. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam
puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat
mengungkapkan banyak hal, maka bentuk kata-katanya harus dipilih secermat
mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69)
menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis,
penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu
oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata
kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
c. Imaji, yaitu bentuk kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa
yang dialami penyair. Dalam menulis sebuah puisi, biasanya penyair tidak hanya
menggunakan kata-kata yang bermakna lugas atau denotatif, tatapi menggunakan
kata-kata yang bermakna atau mengandung arti lain atau konotatif. Dalam
hubungannya dengan arti konotatif, imaji dan simbol mempunyai hubungan.
Persamaanya adalah bahwa baik citra maupun simbol bermakna konotatif. Adapun
perbedaannya adalah terletak pada cara pengungkapannya.
d. Kata kongkret, yaitu bentuk kata yang dapat ditangkap dengan
indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan
kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta,
kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan
tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
e. Bahasa figuratif, yaitu bentuk bahasa berkias yang dapat
menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito,
1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya
memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa
figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora,
simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora,
pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto,
totem pro parte, hingga paradoks.
f. Versifikasi, yaitu menyangkut
rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bentuk bunyi pada puisi, baik di
awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan
terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.),
(2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan
awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan
sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat
menonjol dalam pembacaan puisi.
2.3 Tinjauan Struktur Makna Puisi
Menurut Pateda (2010:79) istilah
makna (meaning)merupakan kata dan
istilah yang membingungkan. Memahami makna puisi atau sajak tidaklah mudah,
lebih-lebih pada waktu sekarang puisi makin kompleks dan aneh, Pradopo
(2002:278). Jenis sastra puisi lain dengan jenis strata prosa. Prosa lebih
mudah dipahami tampaknya dari pada puisi. Hal ini disebabkan oleh bahasa prosa
itu merupakan ucapan biasa, sedangkan puisi merupakan ucapan yang tidak biasa. Biasa
atau tidak biasa itu bila keduanya dihubungkan dengan tata bahasa normatif.
Pemaknaan puisi atau pemberian makna
puisi ini berhubungan dengan teori sastra masa kini yang lebih memberikan
perhatiannya kepada pembaca dari lainnya. Puisi itu merupakan suatu artefak
yang baru akan mempubyai makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi,
pemerian makna tersebut tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan
kerangka semiotik (ilmu/sistem tanda). Puisi harus dipahami sebagai sistem
tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Medium puisi adalah bahasa
yang memiliki arti di dalam puisi. Oleh karena itu, bhasa disebut sebagai
sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna bahasa disebut arti yang
ditentukan oleh masyarakat pengguna bahasa. Oleh karena itu, untuk memberikan
makna puisi haruslah diketahui konvensi puisi tersebut. Kemusian, untuk
memahami secara utuh sebuah puisi, di samping harus memahami lapis bentuk/struktur,
kita perlu juga pahami lapis makna puisi serta unsur ekstrinsik yang turut mendukung;
seperti biografi pengarang, latar sosial, budaya, politik saat puisi dibuat,
dan sebagainya. Yang termasuk lapis makna dalam puisi adalah:
a. Tema/sense adalah gagasan pokok
yang diciptakan/dilukiskan oleh penyair melalui puisinya.
b. Perasaan/feeling adalah sikap
penyair terhadap tema yang dikemukakan dalam puisinya.
c. Nada dan suasana/tone adalah
sikap penyair terhadap pembaca/ penikmat puisi.
d. Amanat adalah pesan yang hendak
disampaikan oleh penyair. Amanat seringkali tersirat di balik kata-kata yang
disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Seringkali
amanat ini tidak disadari penyair.
Bagikan
Tinjauan Bentuk dan Makna Dari Ranah Bahasa, Tinjauan Struktur Bentuk Fisik Puisi, Tinjauan Makna struktur puisi.
4/
5
Oleh
ATLET.COM