Friday, 7 October 2016

PROBLEMATIKA KEBERADAAN PANTUN DAN UPAYA PELESTARIANNYA DALAM MASYARAKAT



 

 


PROBLEMATIKA KEBERADAAN PANTUN DAN UPAYA PELESTARIANNYA DALAM MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Karya sastra adalah suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya refleksi sosial melainkan merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang atau gagasan atas realitas sosiologis yang melampaui waktunya. 
Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru  alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Selain itu sastra berfungsi sebagai  kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Jobrahim, ed, (1994: 221) bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Secara historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru (modern). Sastra lama juga disebut sastra  daerah (regional), menggunakan bahasa (bahasa) daerah, terbesar diseluruh Nusantara. Sebaliknya, sastra modern juga disebut sastra Indonesia (nasional), menggunakan bahasa Indonesia, penyebarannya pada umumnya terbesar pada kota-kota (besar). Sebagai objek kajian, kedudukan sastra lama dan sastra modern sama, relevansinya tergantung dari sudut pandang dan kepentingan suatu penelitian.
Secara teknis sastra lama ada dua macam, yaitu sastra lisan (oral) dan sastra tulis. Melihat kondisi-kondisi geografis ekologis, dan keragaman bentuknya, sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling kaya. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sastra sebagai institusi sosial, dalam penyebarannya tentu menggunakan medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma dalam masyarkat. Lagipula sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia ( Tomars dalam Fitriah Hasy, 19 : 2009 ). Sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat selaku subjek meter untuk menciptakan suatu karya sastra. Realitas yang ada dalam masyarakat tentunya, akan dituangkan baik dalam bentuk cerita,puisi maupun bentuk karya sastra yang lainnya. Bagaimanapun juga, sastra tidak terlepas dari masyarakat, seperti semboyannya “ Sastra oleh Masyarakat, Sastra dari masyarakat, Sastra untuk Masyarakat “.
Sebagai cerminan dan gejolak sosial dalam masyarakat, pendidikan sastra dalam masyarakat, tentunya memegang peranan penting dalam mengubah pola pikir masyarakat serta mengarahkan individu untuk mengkonsumsi bacaan-bacaan sastra. Akan tetapi, pendidikan sastra tidak pernah dijadikan acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Serta keberadaan sastra dalam pendidikan selalu dikesampingan dan dianggap tidak penting dalam kurikulum, terlebih dalam masyarakat.
Bagaimanapun juga masyarakat juga merupakan faktor utama keberadaan sastra itu sendiri. Ketiadaan masyarakat dalam kehidupan sastra tidak akan memunculkan karya. Keberhasilan sastra tidak dilihat dari sejauhmana karya itu dicetak,dibaca oleh masyarakat. Namun sejauhmana sastra itu, merefleksi zamannya. Kita melihat bahwa sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Sehingga kita harus mempertahanankan keberadaan sastra.
Salah satu karya sastra yang harus kita pertahankan keberadaannya adalah pantun. Pantun merupakan karya sastra asli Indonesia. Dahulu, masyarakat mengungkapkan perasaan, hasrat, atau kata hatinya melalui pantun. Kepandaian seseorang dalam berpantun mencerminkan tingkat intelektualitasnya. Dengan demikian, selain saran berekspresi, pantun pun mewakili tingkat dan derajat keilmuan seseorang. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas keberadaan pantun dan akan dikemukakan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk melestarikan pantun agar pantun tidak hanya digunakan sebagai pelengkap atau hiburan belaka.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1.      Apa hakikat pantun sebagai karya sastra?
2.      Bagaimana pantun dalam masyarakat?
3.      Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan pantun?


 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pantun sebagai Karya Sastra
Sastra lama Indonesia yang akrab dengan tradisi lisan zaman dahulu merupakan warisan nenek moyang yang harus mendapat perhatian. Jangan sampai hiruk pikuk kemajuan zaman menenggelamkan warisan yang sangat berharga ini. Salah satu karya sastra yang harus kita pertahankan keberadaannya adalah pantun. Pantun merupakan karya sastra asli Indonesia. Dahulu, masyarakat mengungkapkan perasaan, hasrat, atau kata hatinya melalui pantun. Kepandaian seseorang dalam berpantun mencerminkan tingkat intelektualitasnya. Dengan demikian, selain saran berekspresi, pantun pun mewakili tingkat dan derajat keilmuan seseorang.
Pantun merupakan jenis puisi melayu lama. Adapun dalam pantun, pikiran atau perasaan itu dituangkan dalam tiga hal, yaitu: irama, bunyi, dan isi. Namun, ketiga hal ini (irama, bunyi, dan isi) tidak selalu hadir bersama-sama dalam sebuah pantun. Hanya irama yang selalu ada dalam setiap pantun. Ciri-ciri pantun pada umumnya adalah sebagai berikut.
1.      Satu bait pantun berisi atas empat baris.
2.      Satu baris pantun terdiri atas 8-12 suku kata.
3.      Bersajak a-b-a-b.
4.      Baris pertama dan kedua merupakan sampiran.
5.      Baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Jika kita ingin membuat pantun, sebaiknya kita buat dahulu isinya, kemudian menyusul sampirannya. Menurut Sugiarto ( 2015:5), bagi orang Timur yang sangat menghargai lawan bicara, keberadaan sampiran dinilai sangat penting karena dapat berfungsi sebagai “bumbu” pembicaraan supaya pesan yang disampaikan tidak terkesan menggurui.
Pantun termasuk jenis puisi tradisional di Indonesia. Selain pantun yang termasuk puisi lama, puisi lama yang lain antara lain syair, gurindam, mantra, teka-teki, peribahasa dan ungkapan. Pantun mengandung nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan agama, budaya dan norma sosial yang dianut oleh masyarakat. Nilai-nilai luhur itu dapat berupa petuah, petunjuk, nasihat, amanat dan keteladanan. Nilai-nilai itu digunakan oleh manusia dalam hubungan dengan manusia lain, manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan.
2.2  Pantun dalam Masyarakat
Menurut Sugiarto (2015:7) berdasarkan maksud / isi / temanya, pantun dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pantun anak-anak, pantun remaja/dewasa, dan pantun orang tua. Masing-masing kelompok menunjukan kekhasan tema sesuai dengan perilaku pemiliknya. Pantun anak-anak menggambarkan dunia anak-anak yang biasanya berisi rasa senang dan sedih. Oleh karena itu, jenis pantun anak dibagi dua yaitu pantun suka cita dan pantun duka cita. Pantun remaja atau dewasa berisi kehidupan remaja/dewasa. H.C Klinkert dalam Sugiarto (2015:8) menyebut pantun sebagai minnezangen (lagu cinta kasih). Pantun remaja/dewasa dibagi berberapa jenis, yaitu pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan/percintaan, dan pantun perceraian / perpisahan.
Berbeda dengan pantun anak dan remaja, pantun orang tua berisi pendidikan dan ajaran agama. Pantun jenis ini dibagi menjadi beberapa macam, di antaranya pantun nasihat, pantun adat, pantun agama, pantun budi pekerti, pantun kepahlawanan, dan pantun pribahasa. Berdasarkan pengelompokan dan tema-tema tersebut, pantun digunakan sesuai dengan kebutuhan atau posisi masing-masing kelompok masyarakat.
Menurut Agni (2009:7) sebagai alat pemeliharaan bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata biasa memiliki kaitan denga kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Dikalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunujukan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali   bercampur   dengan   bahasa - bahasa   lain.   Berikut   contoh   pantun (sebelumnya adalah karmina ) dari kalangan pemuda.
Mawar merah tumbuh di dinding

Jangan marah just kidding
Namun demikian secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat peguat penyampaian pesan.
Pantun digunakan oleh semua lapisan masyarakat untuk mengungkapkan hasrat hati dan pikirannya, maka pantun merupakan teks sejarah yang menggambarkan realitas sosial-kultural bangsa. Pantun juga digunakan dalam berbagai tempat dan dalam berbagai kondisi sosial, pantun merupakan media untuk berkomunikasi,  melakukan pengajaran, dan membentuk jati diri.
Dalam kehidupan keseharian masyarakat, pantun selalu diperdengarkan. Keberadaan pantun ibarat garam dalam makanan. Betapapun makanan diolah dengan canggih tetapi jika tidak ditambah dengan garam makanan tersebut tidak akan ketahuan enaknya. Pentingnya pantun dalam kehidupan keseharian masyarakat dapat disimak dalam ungkapan-ungkapan berikut ini.
Jikalau gepal orang bertenun
Bukalah tingkap lebar-lebar
Jikalau lenyap tukang pantun
Sunyi senyap Bandar yang besar
Lebih lanjut IR Poedjawiyatna dalam blog gemasastranusantara.com, menyatakan rasa kasih sayang, benci atau tidak suka itu tidaklah mudah apalagi jika harus disampaikan secara langsung, tetapi jika menggunakan pantun, mengucapkan, mengungkapkan rasa dan menyampaikan sindiran akan lebih mudah karena pantun dapat mencubit tanpa menimbulkan rasa sakit”.
Menurut Achmad dalam MelayuOnline.com, pantun merefleksikan kehidupan  masyarakat Melayu, baik dari segi pemikiran maupun nilai-nilai moralnya. Pantun menjadi sumber untuk menimba dan menambah ilmu, mengetahui dan menjadi adat istiadat,  mengingatkan  dan  menyampaikan  petuah  amanah,  mengangkat  tuah melayu, mengajar hukum dan syarak, memperbaiki laku dan perangai, mengisi mana yang kurang, dan tempat mencar suluh. Selain itu pantun dalam masyarakat Melayu  merupakan  suatu  ajang  dalam  mengemukakan  suatu  pendapat.  Kalau pendapat dikiasi dengan pantun, maka orang tidak akan menanggapinya dengan emosional. Karena orang akan berfikir bunyi pantunnya bagus, dan imbauan yang dikandungnya juga bagus, sehingga tidak akan ada argumen yang terlalu emosional.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Haji Saleh dalam blog gemasastranusantara.com, bahwa pantun hadir sebagai  sebuah taman bahasa terindah. Bunga-bunganya berwarna-warni, dan wangiannya tanpa bandingan. Bunga-bunga ini disimpan dibibir, dalam ingatan, dalam tulisan dan ucapan harian. Tanpa pantun manusia Nusantara ini menjadi lebih miskin, lebih kakuk dan bisu. Dengannya dia meningkat menjadi ahli falsafah, perenung alam raya, penggubah hukum, ahli agama dan kekasih yang sedang asyik bercumbu, penyanyi yang menarik nasib dan anak yang sedang bermain di padang.
Bangsa Melayu sangat dekat dan menghargai alam, ini dapat terlihat jelas pada sampiran yang terdapat dalam pantun. Pada sampiran yang terdapat dalam  pantun. Pada sampiran pantun, biasanya digunakan alam dan benda-benda kongkrit  lainnya. Apa yang mereka amati, kemudian mereka pelajari, dan dijadikan landasan  (perilaku,  moral,  dan  etika)  untuk  hidup  secara  baik  dan  benar  sebagaimana  tercantum dalam dua baris terakhir dari pantun (isi). Dengan memperhatikan bagian  sampiran dan isi pantun, maka kita akan dapat melihat simbolisasi alam dalam  pemikiran masyarakat.
Tenas Effendi dalam gemanusantara.com, mengemukakan bahwa hakikat atau isi dari pantun adalah tunjuk ajar di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma yang dianut masyarakat yang disampaikan melalui bentuk kelakar, sindiran, nyanyian, dan sebagainya. Namun apapun wujud pantunnya, didalamnya memuat nilai-nilai luhur budaya untuk menyindir, membujuk dan mendidik manusia. Walaupun tentu saja kekentalan isinya  berbeda-beda, tergantung  pada  kekentalan  isinya berbeda-beda, tergantung pada pemahaman dan kecerdasan orang dalam mengubah dan menyampaikan pantun.
Berpantun  harus  berdasarkan etika dan norma-norma  sosial  masyarakat.  Oleh  karena  itu,  isi  pantun  haruslah  bersifat mengingatkan,  tunjuk  ajar  dan  nasehat, tidak boleh memfitnah, merendahkan martabat orang lain, dan lain sebagainya yang bersifat negatif. Isi pantun harus menjadi penuntun sebagaimana disebutkan dalam sebuah ungkapan. Lebih lanjut  dikatakan bahwa pantun harus berperan untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang penuh berisi nilai-nilai luhur agama, budaya  dan  norma-norma  sosial masyarakat. Melalui pantun, nilai-nilai tersebut disebarluaskan kepada masyarakat dan diwariskan  kepada  anak cucunya.  Selain  itu pantun juga berperan untuk mewujudkan pergaulan yang serasi, hiburan serta menyampaikan aspirasi masyarakat.
Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat
Pantun di atas menunjukkan pantun berperan sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Melalui pantun, tunjuk ajar disebarluaskan, diwariskan dan dikembangkan. Melalui pantun pula nilai-nilai luhur dikekalkan dan disampaikan kepada anggota masyarakat. Setiap pantun pada hakekatnya mengandung nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya pantun kelakar atau pantun sindiran.
Pantun merupakan tradisi lisan yang masih bertahan di beberapa daerah di Indonesia. Pantun masih menempati posisi penting dalam masyarakat. Namun seiring berkembangnya zaman yang dipengaruhi oleh perubahan dalam era globalisasi kebiasaan berpantun dalam masyarakat mulai hilang. Saat ini, keberadaan pantun terkesan dipinggirkan. Sudah sangat jarang orang ataupun para sastrawan menulis pantun (Mafrukhi, 2007: 92). Keberadaan pantun sudah mulai tergusur oleh jenis-jenis karya seni yang lain. Kalaupun pantun masih digunakan, pembacaan pantun hanyalah sebagai pelengkap acara, bukan sebagai sebuah proses.
Fenomen tersebut, merupakan realitas yang cukup memprihatinkan karena pantun hanya menjadi sekedar permainan kata-kata dan hiburan penyemarak suasana. Oleh karena itu, walaupun pantun  masih  sering  dibacakan  dalam  berbagai  upacara  adat,  pidato  resmi pemerintah,  pementasan  budaya,  dan  kegiatan-kegiatan  kesehariannya,  tetapi pembacaan pantun hanyalah sebagai prasyarat (pelengkap) acara bukan sebuah proses pewarisan nilai-nilai. Pantun secara fisik hadir dalam masyarakat, tetapi tidak demikian dengan niai-nilai.
Menurut Tenas Effendi dalam blog gemasastranusantara.com, dalam kehidupan masa kini, walaupun pantun masih dikenal dan dipakai orang, tetapi isinya tidak lagi berpuncak kepada nilai-nilai luhur budaya asalnya, misalnya isinya bersifat senda gurau atau merayu antara pemuda  dengan  pujaannya.  Akibatnya,  pantun  sudah  menjadi  barang  mainan, sudah kehilangan fungsi dan maknanya yang hakiki, yakni sebagai media untuk memberikan “ujuk ajar” serta pewarisan nilai-nilai luhur budaya bangsa inilah kondisi pantun saat ini. Walaupun pengguna pantun hingga kini masih marak. Tetapi penggunaannya tidak lebih sekedar formalitas belaka.
Pantun telah kehilangan fungsi pembelajaran dan pewarisan nilai-nilai sehingga meskipun pantun masih dibaca dalam berbagai kesempatan pantun hanya sebagai pelengkap dan hiburan belaka. Ketika  pantun telah kehilangan   roh untuk menghidupkan kata, maka pantun bukan lagi berfungsi sebagai penuntun dan petunjuk untuk mengarungi kehidupan melainkan sekedar hibuan belaka.Pantun sebagai warisan budaya leluhur yang sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat perlu adanya pelestarian, sebab pantun merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia.
2.3 Upaya-upaya dalam Melestarikan Pantun
       Berikut ini akan diuraikan berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan keberadaan pantun.
2.3.1   Pengenalan Pantun Sejak Dini
          Sejak  dulu  pantun  menjadi  teman  bermain  dan  teman  tidur  anak-anak, menjadi penyemangat dan penasehat para kaum muda, dan menjadi adat para orang tua mengekspresikan kearifannya. Agar peranan pantun tetap lestari perlu pengenalan terhadap pantun yang dimulai sejak anak-anak. Pantun diperkenalkan oleh para orang tua dengan cara bercerita ketika anak-anaknya sedang bermain atau hendak tidur. Dengan cara inilah penanaman nilai-nilai luhur pantun dilakukan.
          Proses selanjutnya  adalah  pembelajaran. Pembelajaran di sini bukan sekedar pembelajaran tentang pantun yang berjumlah empat baris dan berirama a-b-a-b tetapi lebih dari itu, yaitu pembelajaran kandungaan nilai-nilai luhur pantun. Memang perkembangan zaman yang ditandai dengan pencapaian manusia yang sangat luar biasa   dalam   bidang   teknologi, ternayata   berdampak cukup besar terhadap keberadaan pantun.
          Hilangnya kebiasaan bercerita para orang tua kepada anaknya ketika hendak tidur sehingga digantikan oleh TV, semakin mahalnya waktu yang menentukan waktu apa saja dilakukan secara simple sehingga kegiatan berpantun dianggap   pekerjaan  yang   kurang   efektif, dan keserakahan   manusia   untuk mengeksploitasi  alam sehingga  alam  tidak  lagi  menjadi  tempat  berguru (alam terkembang menjadi guru) tetapi sebagai pemuas hawa nafsu, telah menggiring pantun ke sudut-sudut sempit ruang pertunjukan. Jika ini terjadi, bukan mustahil pantun, sebagai sebuah pencapaian karya sastra, beberapa dekade ke depan hanyatinggal kenangan.
2.3.2     Pembiasaan Berpantun
          Dahulu   orang   Melayu   dilatih   agar   terbiasa   berpantun   dalam   setiap kesempatan. Pantun dilakukan oleh siapa saja dan dalam kesempatam apa saja. Oleh karena itu, pada generasi tua, kita akan cukup mudah menemukan orang yang sedang berpantun, ketika bertemu, saat bermusyawarah, dan bahkan saat menyampaikan dakwah agama, karena telah menjadi kebiasaan, maka kehidupan bangsa akan lenyap ketika pantun tidak diperdengarkan, pantun memberikan jiwa pada kata yang terucap. Bila kebiasaan berpantun seperti yang dilakukan orang Melayu juga kita lakukan,  bukan  tidak  mungkin  pantun  akan  kembali  memberikan  warna  bagi kehidupan masyarakat saat ini.
2.3.3. Melestarikan Pantun Melalui Pendidikan
          Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali ruh pantun adalah melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Di sekolah-sekolah harus ada muatan lokal yang mengajarkan pantun. Sebab jika diajarkan di sekolah, maka  ketika  anak-anak tersebut  pulang  ke rumah  mereka akan mengenalkan pantun pada keluarganya. Jadilah keluarga tersebut keluarga yang mengenal pantun.
          Materi mengenai pantun sudah diberikan kepada siswa di sekolah tetapi masih  sangat  minim  karena  materi  tersebut  terintergrasi  dalam  pembelajaran bahasa Indonesia dan pantun mempunyai porsi yang sangat sedikit. Tidak hanya itu, dalam pembelajaran di kelas sebaiknya guru tidak hanya terpaku dengan buku-buku pelajaran, alangkahbaiknya bila menoba menyelinginya dengan pantun.  Ketika  anak-anak  sudah  lelah belajar, khususnya ketika siang hari tidak ada salahnya jika guru berpantun untuk membangkitkan semangat dan gairah anak-anak tersebut. Oleh sebab itu seorang guru diharapkan untuk bisa berpantun.
2.3.4. Memberikan Definisi Baru tentang Pantun
          Ketika pantun didefinisikan sebagai karya sastra asli melayu yang terdiri dari empat baris dan berirama a-b-a-b, maka jangan heran apabila pantun dianggap sebagai karya sastra masa lalu yang telah mati. Hal tersebut terjadi karena definisi yang  diberikan  tidak  mencerminkan  keluhuran  nilai-nilai,  fungsi,  dan  keluasan penggunanya. Agar mampu memberikan pendefinisian yang akurat, maka kita harus melihat konteks sosial kultural masyarakat. Oleh sebab itu pantun tidak hanya diartikan dari bentu fisiknya tetapi harus lebih melihat kepada nilai-nilainya, fungsinya dan keluasan penggunanya.
2.3.5. Keberpihakan Politik
          Semakin seringnya pimpinan daerah, atas nama otonomi daerah, mengutip pantun dalam upacara-upacara resmi tentu merupakan kabar baik. Hal ini seperti yang dilakukan Pak SBY dan Pak Wiranto dalam liputan umum kompasiana.com menyatakan bahwa selain memiliki pengetahuan di bidang ekonomi dan militer, Pak SBY dan Pak Wiranto mempunyai keahlian lain. Menjelang  masa  kampanye,  mereka  menampilkan keahlian khusus yaitu berpuisi dan berpantun ria. Saat menghadiri acara debat capres bertema “Kebudayaan dan Presiden” di Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta Kamis (28/5), pasangan SBY-Boediono dengan kemampuannya menjawab semua pertanyaan panelis, pada sesi terakhir panelis mempersilahkan SBY membacakan puisi karyanya, SBY maju ketengah panggung, dengan membawa buku kecil  yang berisi 31 puisi karyanya. Mengaku sejak kecil senang menulis puisi dan mengarang lagu. Kemudian SBY membacakan puisi yang dibuat tanggal 26 Januari 2004 dengan judul “Palagan Terakhir”.
          Inilah sebagian isi puisi yang dibacakan: Kutatap bukit menoreh pewaris tahta. Guratan sejarah ketika raja berebut tahta. Di sepanjang pelana, di kolong awan Jingga. Ksatria berlaa untuk sebuah nama. Meski menoreh tak terbakar karena  ilalangnya.  Tapi  api  amarah  tetap  menyala.  Dan  tak  pernah  padam membakar jiwa yang haus kuasa dalam kemarau panjang. Dan tak pernah padam membakar   jiwa   yang   haus   kuasa   dalam   kemarau   panjang.   Dan   bencana persaudaraan di tanah air Jawa.”
          Di samping SBY, pada Rabu, (27/5/2004) saat acara pelantikan Tim sukses JK-Win di Tugu Joang 45, Jambi, Wiranto cawapres pasangan capres JK sebelum menyampaikan  orasinya  menyampaikan  pantun.  Pantun  pertama  berupa  pantun titipan dari JK “Ikan Sepat Ikan Gabus, semakin cepat semakin bagus”. Setelah itu Wiranto menyampaikan orasinya, mengatakan bahwa menjadi cawapres juga mulia, karena  tujuannya  untuk  bekerja  demi kemajuan  bangsa. Duetnya dengan JK dinilainya paling tepat, karena inilah kombinasi pasangan yang mewakili nusantara.
          Selanjutnya Wiranto menyampaikan pantunnya sendiri, “Burung yang paling indah  adalah  burung  merpati,  jauh-jauh  datang  hanya  hanya  untuk  bertemu pendukung sejati.” Jadi itulah gaya kedua mantan militer tadi dalam mengambil hati rakyat, mereka menunjukkan bahwa puisi, pantun adalah bahasa yang jauh lebih enak dan mudah dicrna oleh rakyat dibandingkan dengan bahasa politik.
          Kondisi ini berbeda seperti langit dan bumi ada saat penulis menyaksikan debat TIM sukses ketiga capres yaitu Ruhut Sitompul, Fuad Bawazir dan Permadi di sebuah  stasiun  televisi.  Mereka  menggunakan  bahasa  politik  kasar,  saling mengejek,  menjatuhkan  satu  sama  lain.  Penonton  pun  menjadi  tidak  suka, penampilan mereka bisa-bisa mempengaruhi grass root dan membenarkan stigma negatif bahwa politik  itu ya memang kasar begitu.
          Namun  perlu  disadari  bahwa  melestarikan  pantun  tidak  cukup  hanya mengutip pantun dalam pidato-pidato resmi, perlu tindakan nyata agar pantun kembali  menjadi  bagian  masyarakat. Pemerintah  harus  mensponsori  program-program   yang   memungkinkan nilai-nilai pantun   tersosialisasi   dan   menjadi kebanggaan masyarakat. Harus disadari bahwa tercabutnya pantun dari masyarakat  karena salah satunya, hilangya kebanggaan masyarakat terhadap pantun.
2.3.6. Pemanfaatan Teknologi
          Sebagai sebuah karya sastra yang dihasilkan dari tradisi oral, pantun agar dapat bertahan harus ikut memanfaatkan teknologi. Banyak yang dapat digunakan untuk merevitalisasi pantun, misalnya yang dilakukan oleh  www.melayuonline.com dengan proyek pengumpulan selaksa pantunnya dan www.malayeivilization.com dengan proyek sejuta pantunnya.
          Ketika para orang tua tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menemani anak-anak bercerita,   maka   keberadaan   teknologi   dapat   memberikan   solusi. Menghadirkan pantun dalam dunia visual atau online merupakan langkah strategis untuk melakukan pengenalan, pengajaran, dan pembiasaan berpantun masyarakat.
2.3.7. Menggalakkan Pantun dalam Even Budaya
          Dengan dipilihnya pantun sebagai even budaya, ini bertujuan untuk mengembalikan perhatian masyarakat terhadap tradisi berpantun, yang akhir-akhir ini nyaris dilupakan. Sehingga menyebabkan orang cenderung tidak santun, mudah marah, rasa belas kasih sudah tercabut dari akar nurani. Masing-masing orang sangat mudah memaksakan kehendak sendiri. “Ini dikhawatirkan akan mengancam keutuhan bangsa, jati diri bangsa yang santun akan berubah menjadi liar dan kasar, ”Tegas Asrizal Nur.” Seperti yang diunduh dari kutipan berita arsip.pontianalpost.com.
          Selain itu dengan melaksanakan festival pantun. Seperti festival pantun Melayu di Taman Ismail Marzuki 25-29 April 2008 juga festival pantun serumpun se-Asia Tenggara yang dihelat di Jakarta selama sepekan. Festival pantun sangat penting artinya, sebab pantun merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa ini.
          Saat ini pantun keberadaannya sangat memprihatinkan, dalam arti, fungsi-fungsi yang ada padanya seperti edukasi dan lain sebagainya telah tereduksi. Dengan demikian, esensi pantun yang sarat dengan nilai-nilai luhur saat ini telah tergerus menjadi hanya sekedar  permainan yang menghibur. Selain itu, pengguna pantun saat ini pun jumlahnya sangat terbatas. Kemampuan berpantun hanya dimiliki segelintir orang.


 

BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Pantun merupakan satra lisan Indonesia yang sebenarnya merupakan jati diri bangsa Indonesia, keberadaannya saat ini mati suri. Pantun hanya dipakai sekedar permainan dan sebagai bahan hiburan belaka. Agar pantun tetap menjadi jati diri bangsa yang berbudaya, maka perlu dilakukan berbagai upaya dalam pelestariannya, seperti pengenalan pantun sejak dini, pembiasaan untuk berpantun, melestarikan pantun melalui pendidikan, memberi definisi baru tentang pantun, keberpihakan politik, pemanfaatan teknologi, dan menggalakkan pantun dalam even budaya.
Bila ini telah dilakukan kemungkinan keberadaan pantun saat ini dapat mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa yang beradab. Kita dapat bernostalgia dengan isi pantun di dalamnya kearifan bangsa tercurahkan. Hanya saja kita harus tetap sadar bahwa nostalgia yang kita lakukan bukan menghadirkan masa lalu ke masa kini, tetapi menggunakan nilai-nilai yang terkandung untuk melihat masa kini dan membentuk masa depan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agni, Binar.2009. Sastra Indonesia Lengkap Pantun, Puisi, Majas, Pribahasa,
Kata Mutiara. Jakarta: PT Buku Kita.
Hasy, Fitryah. 2009. Diktat Pengantar Teori Sastra.
Sugiarto, Eko. 2015. Mengenal Sastra Lama. Yogyakarta. C.V. Andi.
http://arsip.pontianakpost.com


Bagikan

Jangan lewatkan

PROBLEMATIKA KEBERADAAN PANTUN DAN UPAYA PELESTARIANNYA DALAM MASYARAKAT
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.