PROBLEMATIKA
KEBERADAAN PANTUN DAN UPAYA PELESTARIANNYA DALAM MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra
adalah suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan
gambaran-gambaran pengalaman. Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami
pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya
refleksi sosial melainkan merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang
atau gagasan atas realitas sosiologis yang melampaui waktunya.
Karya sastra yang
baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat
dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru alam dan
dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Selain itu sastra berfungsi sebagai kontrol
sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat.
Hal ini diungkapkan oleh Jobrahim, ed, (1994: 221) bahwa sastra menampilkan
gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Secara
historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru
(modern). Sastra lama juga disebut sastra daerah (regional),
menggunakan bahasa (bahasa) daerah, terbesar diseluruh Nusantara. Sebaliknya,
sastra modern juga disebut sastra Indonesia (nasional), menggunakan bahasa
Indonesia, penyebarannya pada umumnya terbesar pada kota-kota (besar). Sebagai
objek kajian, kedudukan sastra lama dan sastra modern sama, relevansinya
tergantung dari sudut pandang dan kepentingan suatu penelitian.
Secara teknis
sastra lama ada dua macam, yaitu sastra lisan (oral) dan sastra tulis.
Melihat kondisi-kondisi geografis ekologis, dan keragaman bentuknya, sastra
lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling kaya. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya
sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi
masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir
tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sastra sebagai
institusi sosial, dalam penyebarannya tentu menggunakan medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti
simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma dalam
masyarkat. Lagipula sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial,walaupun karya sastra juga meniru alam dan
subjektif manusia ( Tomars dalam Fitriah Hasy, 19 : 2009 ). Sastra tidak
terlepas dari kehidupan masyarakat selaku subjek meter untuk menciptakan suatu
karya sastra. Realitas yang ada dalam masyarakat tentunya, akan dituangkan baik
dalam bentuk cerita,puisi maupun bentuk karya sastra yang lainnya. Bagaimanapun
juga, sastra tidak terlepas dari masyarakat, seperti semboyannya “ Sastra oleh
Masyarakat, Sastra dari masyarakat, Sastra untuk Masyarakat “.
Sebagai cerminan dan
gejolak sosial dalam masyarakat, pendidikan sastra dalam masyarakat, tentunya
memegang peranan penting dalam mengubah pola pikir masyarakat serta mengarahkan individu untuk
mengkonsumsi bacaan-bacaan sastra. Akan tetapi, pendidikan sastra tidak pernah
dijadikan acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Serta keberadaan sastra dalam pendidikan selalu dikesampingan dan dianggap
tidak penting dalam kurikulum, terlebih dalam masyarakat.
Bagaimanapun juga
masyarakat juga merupakan faktor utama keberadaan sastra itu sendiri. Ketiadaan
masyarakat dalam kehidupan sastra tidak akan memunculkan karya. Keberhasilan
sastra tidak dilihat dari sejauhmana karya itu dicetak,dibaca oleh masyarakat.
Namun sejauhmana sastra itu, merefleksi zamannya. Kita melihat bahwa sastra
adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya.
Sehingga kita harus mempertahanankan keberadaan sastra.
Salah satu karya sastra
yang harus kita pertahankan keberadaannya adalah pantun. Pantun merupakan karya
sastra asli Indonesia. Dahulu, masyarakat mengungkapkan perasaan, hasrat, atau
kata hatinya melalui pantun. Kepandaian seseorang dalam berpantun mencerminkan
tingkat intelektualitasnya. Dengan demikian, selain saran berekspresi, pantun
pun mewakili tingkat dan derajat keilmuan seseorang. Berdasarkan uraian di
atas, penulis tertarik untuk membahas keberadaan pantun dan akan
dikemukakan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk melestarikan pantun agar pantun tidak hanya digunakan sebagai
pelengkap atau hiburan belaka.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa
hakikat pantun sebagai karya
sastra?
2. Bagaimana
pantun dalam masyarakat?
3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan pantun?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pantun
sebagai Karya Sastra
Sastra
lama Indonesia yang akrab dengan tradisi lisan zaman dahulu merupakan warisan
nenek moyang yang harus mendapat perhatian. Jangan sampai hiruk pikuk kemajuan
zaman menenggelamkan warisan yang sangat berharga ini. Salah
satu karya sastra yang harus kita pertahankan keberadaannya adalah pantun.
Pantun merupakan karya sastra asli Indonesia. Dahulu, masyarakat mengungkapkan
perasaan, hasrat, atau kata hatinya melalui pantun. Kepandaian seseorang dalam
berpantun mencerminkan tingkat intelektualitasnya. Dengan demikian, selain
saran berekspresi, pantun pun mewakili tingkat dan derajat keilmuan seseorang.
Pantun merupakan jenis puisi melayu lama.
Adapun dalam pantun, pikiran
atau perasaan itu dituangkan dalam tiga hal, yaitu: irama, bunyi, dan isi.
Namun, ketiga hal ini (irama, bunyi, dan isi) tidak selalu hadir bersama-sama
dalam sebuah pantun. Hanya irama yang selalu ada dalam setiap pantun. Ciri-ciri pantun pada umumnya adalah sebagai berikut.
1.
Satu
bait pantun berisi atas empat baris.
2.
Satu
baris pantun terdiri atas 8-12 suku kata.
3.
Bersajak a-b-a-b.
4.
Baris pertama dan kedua merupakan
sampiran.
5.
Baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Jika
kita ingin membuat pantun, sebaiknya kita buat dahulu isinya, kemudian menyusul
sampirannya. Menurut Sugiarto
( 2015:5), bagi orang Timur yang sangat menghargai lawan bicara, keberadaan
sampiran dinilai sangat penting karena dapat berfungsi sebagai “bumbu”
pembicaraan supaya pesan yang disampaikan tidak terkesan menggurui.
Pantun
termasuk jenis puisi tradisional di Indonesia. Selain pantun yang termasuk
puisi lama, puisi lama yang lain antara lain syair, gurindam, mantra,
teka-teki, peribahasa dan ungkapan. Pantun mengandung nilai-nilai luhur yang
berkaitan dengan agama, budaya dan norma sosial yang dianut oleh masyarakat. Nilai-nilai
luhur itu dapat berupa petuah, petunjuk, nasihat, amanat dan keteladanan.
Nilai-nilai itu digunakan oleh manusia dalam hubungan dengan manusia lain,
manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan.
2.2 Pantun
dalam Masyarakat
Menurut Sugiarto (2015:7)
berdasarkan maksud / isi / temanya, pantun dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
pantun anak-anak, pantun remaja/dewasa, dan pantun orang tua. Masing-masing
kelompok menunjukan kekhasan tema sesuai dengan perilaku pemiliknya. Pantun
anak-anak menggambarkan dunia anak-anak yang biasanya berisi rasa senang dan
sedih. Oleh karena itu, jenis pantun anak dibagi dua yaitu pantun suka cita dan
pantun duka cita. Pantun remaja atau dewasa berisi kehidupan remaja/dewasa. H.C
Klinkert dalam Sugiarto (2015:8) menyebut pantun sebagai minnezangen (lagu cinta kasih). Pantun remaja/dewasa dibagi
berberapa jenis, yaitu pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan/percintaan,
dan pantun perceraian / perpisahan.
Berbeda dengan pantun anak
dan remaja, pantun orang tua berisi pendidikan dan ajaran agama. Pantun jenis
ini dibagi menjadi beberapa macam, di antaranya pantun nasihat, pantun adat,
pantun agama, pantun budi pekerti, pantun kepahlawanan, dan pantun pribahasa.
Berdasarkan pengelompokan dan tema-tema tersebut, pantun digunakan sesuai
dengan kebutuhan atau posisi masing-masing kelompok masyarakat.
Menurut Agni (2009:7) sebagai alat pemeliharaan bahasa,
pantun berperan sebagai penjaga
fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang
makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata biasa memiliki kaitan denga kata yang
lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat,
bahkan hingga sekarang. Dikalangan pemuda
sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunujukan kecepatan
seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali bercampur
dengan bahasa - bahasa lain. Berikut
contoh pantun (sebelumnya
adalah karmina ) dari kalangan pemuda.
Mawar merah
tumbuh di dinding
Jangan marah
just kidding
Namun demikian secara umum peran sosial pantun adalah
sebagai alat peguat penyampaian pesan.
Pantun digunakan oleh
semua lapisan masyarakat untuk mengungkapkan hasrat hati dan pikirannya, maka pantun merupakan teks sejarah yang
menggambarkan realitas sosial-kultural
bangsa. Pantun juga digunakan dalam berbagai tempat dan dalam berbagai kondisi sosial, pantun merupakan media
untuk berkomunikasi,
melakukan pengajaran, dan membentuk jati diri.
Dalam kehidupan
keseharian masyarakat, pantun selalu diperdengarkan. Keberadaan pantun ibarat garam dalam makanan. Betapapun
makanan diolah dengan canggih
tetapi jika tidak ditambah dengan garam makanan tersebut tidak akan ketahuan enaknya. Pentingnya pantun dalam kehidupan
keseharian masyarakat dapat disimak dalam ungkapan-ungkapan
berikut ini.
Jikalau
gepal orang bertenun
Bukalah
tingkap lebar-lebar
Jikalau
lenyap tukang pantun
Sunyi
senyap Bandar yang besar
Lebih lanjut IR Poedjawiyatna dalam blog gemasastranusantara.com,
menyatakan rasa kasih sayang, benci atau tidak suka itu tidaklah mudah apalagi jika harus disampaikan secara
langsung, tetapi jika menggunakan pantun, mengucapkan, mengungkapkan rasa dan
menyampaikan sindiran akan lebih mudah karena
pantun dapat “mencubit tanpa menimbulkan rasa sakit”.
Menurut Achmad dalam MelayuOnline.com, pantun
merefleksikan kehidupan masyarakat Melayu, baik dari segi pemikiran maupun
nilai-nilai moralnya. Pantun menjadi sumber
untuk menimba dan menambah ilmu, mengetahui dan menjadi adat istiadat,
mengingatkan dan menyampaikan
petuah amanah, mengangkat
tuah melayu, mengajar hukum dan
syarak, memperbaiki laku dan perangai, mengisi mana yang kurang, dan tempat mencar suluh. Selain itu pantun dalam
masyarakat Melayu merupakan
suatu ajang dalam
mengemukakan suatu pendapat.
Kalau pendapat dikiasi dengan pantun,
maka orang tidak akan menanggapinya dengan emosional.
Karena orang akan berfikir bunyi pantunnya bagus, dan imbauan yang dikandungnya
juga bagus, sehingga tidak akan ada argumen yang terlalu emosional.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Haji Saleh dalam blog gemasastranusantara.com, bahwa pantun hadir sebagai sebuah taman bahasa terindah. Bunga-bunganya
berwarna-warni, dan wangiannya tanpa
bandingan. Bunga-bunga ini disimpan dibibir, dalam ingatan, dalam tulisan dan ucapan harian. Tanpa pantun manusia
Nusantara ini menjadi lebih miskin, lebih
kakuk dan bisu. Dengannya dia meningkat menjadi ahli falsafah, perenung alam raya, penggubah hukum, ahli agama dan
kekasih yang sedang asyik bercumbu, penyanyi yang menarik
nasib dan anak yang sedang bermain di padang.
Bangsa Melayu sangat dekat dan menghargai alam, ini dapat
terlihat jelas pada sampiran yang
terdapat dalam pantun. Pada sampiran yang terdapat dalam pantun. Pada sampiran
pantun, biasanya digunakan alam dan benda-benda kongkrit lainnya.
Apa yang mereka amati, kemudian mereka pelajari, dan dijadikan landasan (perilaku,
moral, dan etika)
untuk hidup secara
baik dan benar
sebagaimana tercantum dalam dua baris terakhir dari pantun
(isi). Dengan memperhatikan bagian sampiran dan isi pantun, maka kita akan dapat
melihat simbolisasi alam dalam pemikiran
masyarakat.
Tenas Effendi dalam gemanusantara.com,
mengemukakan bahwa hakikat atau isi dari pantun adalah tunjuk
ajar di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma yang
dianut masyarakat yang disampaikan melalui bentuk kelakar, sindiran, nyanyian, dan sebagainya. Namun apapun wujud pantunnya,
didalamnya memuat nilai-nilai luhur budaya untuk
menyindir, membujuk dan mendidik manusia. Walaupun tentu saja kekentalan isinya
berbeda-beda, tergantung
pada kekentalan isinya berbeda-beda, tergantung pada pemahaman dan kecerdasan
orang dalam mengubah dan menyampaikan pantun.
Berpantun harus berdasarkan etika dan norma-norma sosial
masyarakat. Oleh karena
itu, isi pantun
haruslah bersifat mengingatkan, tunjuk ajar
dan nasehat, tidak boleh memfitnah, merendahkan martabat
orang lain, dan lain sebagainya yang bersifat negatif. Isi pantun harus menjadi penuntun sebagaimana
disebutkan dalam sebuah ungkapan. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pantun harus berperan untuk menyampaikan pesan-pesan
moral yang penuh berisi nilai-nilai luhur agama, budaya dan
norma-norma sosial masyarakat. Melalui pantun, nilai-nilai tersebut
disebarluaskan kepada masyarakat dan diwariskan
kepada anak cucunya. Selain
itu pantun juga berperan untuk mewujudkan
pergaulan yang serasi, hiburan serta menyampaikan aspirasi masyarakat.
Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat
Pantun di atas menunjukkan pantun berperan sangat vital
dalam kehidupan masyarakat. Melalui
pantun, tunjuk ajar disebarluaskan, diwariskan dan dikembangkan. Melalui pantun pula nilai-nilai luhur dikekalkan dan
disampaikan kepada anggota masyarakat.
Setiap pantun pada hakekatnya mengandung nilai-nilai luhur, termasuk
di dalamnya pantun kelakar atau pantun sindiran.
Pantun
merupakan tradisi lisan yang masih bertahan di beberapa daerah di Indonesia.
Pantun masih menempati posisi penting dalam masyarakat. Namun seiring
berkembangnya zaman yang dipengaruhi oleh perubahan dalam era globalisasi
kebiasaan berpantun dalam masyarakat mulai hilang. Saat ini, keberadaan pantun
terkesan dipinggirkan. Sudah sangat jarang orang ataupun para sastrawan menulis
pantun (Mafrukhi, 2007: 92). Keberadaan pantun sudah mulai tergusur oleh
jenis-jenis karya seni yang lain. Kalaupun pantun masih digunakan, pembacaan
pantun hanyalah sebagai pelengkap acara, bukan sebagai sebuah proses.
Fenomen tersebut, merupakan realitas yang cukup memprihatinkan karena pantun hanya menjadi sekedar permainan kata-kata dan hiburan penyemarak suasana. Oleh
karena itu, walaupun pantun masih sering
dibacakan dalam berbagai
upacara adat, pidato
resmi pemerintah, pementasan
budaya, dan kegiatan-kegiatan kesehariannya, tetapi pembacaan
pantun hanyalah sebagai prasyarat (pelengkap)
acara bukan sebuah proses
pewarisan nilai-nilai. Pantun secara fisik hadir dalam masyarakat, tetapi tidak
demikian dengan niai-nilai.
Menurut Tenas Effendi dalam blog gemasastranusantara.com,
dalam kehidupan masa kini, walaupun pantun masih dikenal dan dipakai orang, tetapi isinya tidak lagi berpuncak kepada
nilai-nilai luhur budaya asalnya,
misalnya isinya bersifat senda gurau atau merayu antara pemuda dengan pujaannya.
Akibatnya, pantun sudah
menjadi barang mainan, sudah
kehilangan fungsi dan maknanya yang hakiki, yakni sebagai media untuk memberikan
“ujuk ajar” serta pewarisan nilai-nilai luhur budaya bangsa inilah kondisi pantun saat ini. Walaupun pengguna pantun
hingga kini masih marak. Tetapi penggunaannya tidak lebih sekedar formalitas
belaka.
Pantun telah kehilangan
fungsi pembelajaran dan pewarisan nilai-nilai sehingga meskipun pantun masih
dibaca dalam berbagai kesempatan pantun hanya sebagai pelengkap dan hiburan belaka. Ketika pantun telah kehilangan roh untuk menghidupkan kata, maka pantun bukan lagi berfungsi sebagai penuntun dan petunjuk
untuk mengarungi kehidupan melainkan sekedar hibuan belaka.Pantun sebagai warisan budaya leluhur yang sampai saat ini
masih tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat perlu adanya
pelestarian, sebab pantun merupakan salah satu kebudayaan
asli Indonesia.
2.3 Upaya-upaya dalam
Melestarikan Pantun
Berikut ini akan diuraikan berbagai upaya yang dapat dilakukan
dalam melestarikan keberadaan pantun.
2.3.1 Pengenalan Pantun Sejak Dini
Sejak dulu pantun
menjadi teman bermain
dan teman tidur
anak-anak, menjadi penyemangat dan penasehat para
kaum muda, dan menjadi adat para
orang tua mengekspresikan kearifannya. Agar peranan pantun
tetap lestari perlu pengenalan terhadap
pantun yang dimulai sejak anak-anak. Pantun diperkenalkan oleh para orang tua dengan cara bercerita ketika
anak-anaknya sedang bermain atau hendak
tidur. Dengan cara inilah penanaman nilai-nilai luhur pantun dilakukan.
Proses selanjutnya
adalah pembelajaran. Pembelajaran
di sini bukan sekedar pembelajaran
tentang pantun yang berjumlah empat baris dan berirama a-b-a-b tetapi lebih dari itu, yaitu pembelajaran kandungaan
nilai-nilai luhur pantun. Memang perkembangan
zaman yang ditandai dengan pencapaian manusia yang sangat luar biasa dalam bidang
teknologi, ternayata berdampak
cukup besar terhadap keberadaan pantun.
Hilangnya kebiasaan bercerita para orang tua kepada
anaknya ketika hendak tidur sehingga digantikan oleh TV, semakin
mahalnya waktu yang menentukan waktu
apa saja dilakukan secara simple sehingga kegiatan berpantun dianggap
pekerjaan yang kurang
efektif, dan keserakahan
manusia untuk mengeksploitasi
alam sehingga alam tidak
lagi menjadi tempat
berguru (alam terkembang
menjadi guru) tetapi sebagai pemuas hawa nafsu, telah menggiring pantun ke
sudut-sudut sempit ruang pertunjukan. Jika ini terjadi, bukan mustahil pantun, sebagai sebuah pencapaian karya sastra,
beberapa dekade ke depan hanyatinggal kenangan.
2.3.2 Pembiasaan Berpantun
Dahulu orang Melayu
dilatih agar terbiasa
berpantun dalam setiap kesempatan.
Pantun dilakukan oleh siapa saja dan dalam kesempatam apa saja. Oleh karena itu, pada generasi tua, kita akan cukup mudah
menemukan orang yang sedang berpantun, ketika bertemu, saat bermusyawarah,
dan bahkan saat menyampaikan dakwah agama,
karena telah menjadi kebiasaan, maka kehidupan bangsa akan lenyap ketika pantun tidak diperdengarkan, pantun memberikan jiwa
pada kata yang terucap. Bila kebiasaan
berpantun seperti yang dilakukan orang Melayu juga kita lakukan,
bukan tidak mungkin
pantun akan kembali
memberikan warna bagi kehidupan masyarakat saat ini.
2.3.3. Melestarikan
Pantun Melalui Pendidikan
Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali ruh pantun adalah
melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Di sekolah-sekolah harus ada muatan lokal yang mengajarkan pantun.
Sebab jika diajarkan di sekolah, maka ketika
anak-anak tersebut pulang ke rumah mereka akan mengenalkan pantun pada keluarganya. Jadilah keluarga tersebut
keluarga yang mengenal pantun.
Materi
mengenai pantun sudah diberikan kepada siswa di sekolah tetapi masih sangat minim
karena materi tersebut
terintergrasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia
dan pantun mempunyai porsi yang sangat sedikit. Tidak hanya itu, dalam pembelajaran di kelas sebaiknya guru tidak
hanya terpaku dengan buku-buku
pelajaran, alangkahbaiknya bila menoba menyelinginya dengan pantun. Ketika anak-anak
sudah lelah belajar, khususnya
ketika siang hari tidak ada salahnya jika guru berpantun untuk
membangkitkan semangat dan gairah anak-anak tersebut. Oleh sebab itu seorang
guru diharapkan untuk bisa berpantun.
2.3.4. Memberikan
Definisi Baru tentang Pantun
Ketika pantun didefinisikan sebagai karya sastra asli
melayu yang terdiri dari empat baris dan
berirama a-b-a-b, maka jangan heran apabila pantun dianggap sebagai karya
sastra masa lalu yang telah mati. Hal tersebut terjadi karena definisi yang diberikan tidak
mencerminkan keluhuran nilai-nilai,
fungsi, dan keluasan penggunanya. Agar mampu
memberikan pendefinisian yang akurat, maka kita harus melihat konteks sosial kultural masyarakat. Oleh sebab itu pantun tidak hanya diartikan dari bentu
fisiknya tetapi harus lebih melihat kepada nilai-nilainya,
fungsinya dan keluasan penggunanya.
2.3.5. Keberpihakan
Politik
Semakin seringnya pimpinan daerah, atas nama otonomi
daerah, mengutip pantun dalam
upacara-upacara resmi tentu merupakan kabar baik. Hal ini seperti yang dilakukan Pak SBY dan Pak Wiranto dalam liputan umum kompasiana.com
menyatakan bahwa selain memiliki
pengetahuan di bidang ekonomi dan militer, Pak SBY dan Pak
Wiranto mempunyai keahlian lain. Menjelang masa
kampanye, mereka menampilkan keahlian khusus yaitu berpuisi dan berpantun ria. Saat
menghadiri acara debat capres bertema
“Kebudayaan dan Presiden” di Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta Kamis (28/5), pasangan SBY-Boediono dengan kemampuannya
menjawab semua pertanyaan panelis,
pada sesi terakhir panelis mempersilahkan SBY membacakan puisi karyanya, SBY maju ketengah panggung, dengan
membawa buku kecil yang berisi 31 puisi karyanya. Mengaku sejak kecil
senang menulis puisi dan mengarang lagu.
Kemudian SBY membacakan puisi yang dibuat tanggal 26 Januari 2004 dengan
judul “Palagan Terakhir”.
Inilah
sebagian isi puisi yang dibacakan: Kutatap bukit menoreh pewaris tahta. Guratan sejarah ketika raja berebut tahta. Di
sepanjang pelana, di kolong awan
Jingga. Ksatria berlaa untuk sebuah nama. Meski menoreh tak terbakar karena
ilalangnya. Tapi api
amarah tetap menyala.
Dan tak pernah
padam membakar jiwa yang
haus kuasa dalam kemarau panjang. Dan tak pernah padam membakar
jiwa yang haus
kuasa dalam kemarau
panjang. Dan bencana persaudaraan
di tanah air Jawa.”
Di samping SBY, pada
Rabu, (27/5/2004) saat acara pelantikan Tim sukses JK-Win di Tugu Joang 45, Jambi, Wiranto cawapres pasangan capres JK
sebelum menyampaikan orasinya
menyampaikan pantun. Pantun
pertama berupa pantun titipan dari JK “Ikan Sepat Ikan Gabus, semakin cepat semakin bagus”.
Setelah itu Wiranto menyampaikan
orasinya, mengatakan bahwa menjadi cawapres juga mulia, karena
tujuannya untuk bekerja
demi kemajuan bangsa. Duetnya
dengan JK dinilainya paling tepat, karena inilah kombinasi pasangan yang
mewakili nusantara.
Selanjutnya
Wiranto menyampaikan pantunnya sendiri, “Burung yang paling indah adalah burung
merpati, jauh-jauh datang
hanya hanya untuk
bertemu pendukung sejati.”
Jadi itulah gaya kedua mantan militer tadi dalam mengambil hati rakyat, mereka menunjukkan bahwa puisi, pantun adalah
bahasa yang jauh lebih enak dan mudah dicrna oleh rakyat
dibandingkan dengan bahasa politik.
Kondisi
ini berbeda seperti langit dan bumi ada saat penulis menyaksikan debat TIM sukses ketiga capres yaitu Ruhut Sitompul, Fuad
Bawazir dan Permadi di sebuah stasiun
televisi. Mereka menggunakan
bahasa politik kasar,
saling mengejek, menjatuhkan satu
sama lain. Penonton
pun menjadi tidak
suka, penampilan mereka bisa-bisa
mempengaruhi grass root dan membenarkan stigma negatif bahwa
politik itu ya memang kasar begitu.
Namun perlu
disadari bahwa melestarikan
pantun tidak cukup
hanya mengutip pantun dalam
pidato-pidato resmi, perlu tindakan nyata agar pantun kembali
menjadi bagian masyarakat. Pemerintah harus
mensponsori program-program yang memungkinkan nilai-nilai pantun tersosialisasi dan
menjadi kebanggaan masyarakat. Harus disadari
bahwa tercabutnya pantun dari masyarakat
karena salah satunya, hilangya kebanggaan masyarakat terhadap pantun.
2.3.6. Pemanfaatan
Teknologi
Sebagai sebuah karya sastra yang dihasilkan dari tradisi
oral, pantun agar dapat bertahan harus ikut memanfaatkan teknologi. Banyak yang
dapat digunakan untuk
merevitalisasi pantun, misalnya yang dilakukan oleh www.melayuonline.com dengan
proyek pengumpulan selaksa pantunnya dan www.malayeivilization.com dengan proyek sejuta
pantunnya.
Ketika para orang
tua tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menemani anak-anak bercerita,
maka keberadaan teknologi dapat
memberikan solusi. Menghadirkan
pantun dalam dunia visual atau online merupakan langkah strategis untuk
melakukan pengenalan, pengajaran, dan pembiasaan berpantun masyarakat.
2.3.7. Menggalakkan
Pantun dalam Even Budaya
Dengan dipilihnya pantun sebagai even budaya, ini
bertujuan untuk mengembalikan perhatian masyarakat terhadap tradisi berpantun,
yang akhir-akhir ini nyaris
dilupakan. Sehingga menyebabkan orang cenderung tidak santun, mudah marah, rasa belas kasih sudah tercabut dari akar nurani.
Masing-masing orang sangat mudah memaksakan kehendak sendiri. “Ini
dikhawatirkan akan mengancam keutuhan bangsa, jati diri bangsa yang santun akan
berubah menjadi liar dan kasar, ”Tegas Asrizal Nur.” Seperti yang diunduh dari kutipan berita arsip.pontianalpost.com.
Selain
itu dengan melaksanakan festival pantun. Seperti festival pantun Melayu di Taman Ismail Marzuki 25-29 April 2008 juga festival pantun serumpun
se-Asia Tenggara yang dihelat di Jakarta selama sepekan. Festival pantun sangat
penting artinya, sebab pantun merupakan salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki bangsa ini.
Saat
ini pantun keberadaannya sangat memprihatinkan, dalam arti, fungsi-fungsi yang ada padanya seperti edukasi dan lain sebagainya telah
tereduksi. Dengan demikian, esensi
pantun yang sarat dengan nilai-nilai luhur saat ini telah tergerus menjadi hanya sekedar
permainan yang menghibur. Selain itu, pengguna pantun saat ini pun jumlahnya sangat terbatas. Kemampuan
berpantun hanya dimiliki segelintir orang.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Pantun merupakan satra lisan Indonesia
yang sebenarnya merupakan jati diri bangsa Indonesia, keberadaannya saat ini
mati suri. Pantun hanya dipakai sekedar permainan dan sebagai bahan hiburan
belaka. Agar pantun tetap menjadi jati diri bangsa yang berbudaya, maka perlu
dilakukan berbagai upaya dalam pelestariannya, seperti pengenalan pantun sejak
dini, pembiasaan untuk berpantun, melestarikan pantun melalui pendidikan,
memberi definisi baru tentang pantun, keberpihakan politik, pemanfaatan
teknologi, dan menggalakkan pantun dalam even budaya.
Bila ini telah dilakukan kemungkinan
keberadaan pantun saat ini dapat mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa
yang beradab. Kita dapat bernostalgia dengan isi pantun di dalamnya kearifan
bangsa tercurahkan. Hanya saja kita harus tetap sadar bahwa nostalgia yang kita
lakukan bukan menghadirkan masa lalu ke masa kini, tetapi menggunakan
nilai-nilai yang terkandung untuk melihat masa kini dan membentuk masa depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agni, Binar.2009. Sastra Indonesia Lengkap Pantun, Puisi, Majas, Pribahasa,
Kata
Mutiara. Jakarta: PT Buku Kita.
Hasy, Fitryah. 2009. Diktat Pengantar Teori Sastra.
Sugiarto, Eko.
2015. Mengenal Sastra Lama. Yogyakarta. C.V. Andi.
http://arsip.pontianakpost.com
Bagikan
PROBLEMATIKA KEBERADAAN PANTUN DAN UPAYA PELESTARIANNYA DALAM MASYARAKAT
4/
5
Oleh
ATLET.COM